“Perjuangan
Sang Bidadari”

Senja yang
begitu memaksa menggantikan sinar mentari yang menerangi bumi fana ini.
menggantikan dengan sinar merah aurora yang begitu anggunnya dipojok langit
itu. Menerpa setiap insan dibumi ini dan menjatuhkan warna merah yang
mempesonakan bentuknya. Memberikan warna bumi ini dengan berani.
Seorang anak
kecil seumuran setahun masih belajar berdiri dengan merangkak pada
tembok-tembok rumahnya sebagai pegangan. Dan seorang ibu yang dengan setia
menunggui anaknya dan menjaga anaknya jika terjatuh dari belajarnya untuk
mencoba berdiri dan berjalan dengan tegap. Anak pertama dari pasangan suami
istri yag berbeda suku. Lucu, manis nan imut wajah baby kecil ini membuat gemas
tetangga sekitar rumahnya yang melihatnya, tak sedikit juga yang ingin menciumi
pipi tembemnya dan menggendong tubuh mungilnya.
“valen, makan
bubur dulu yah nak, biar cepet besar”, ibunya menimang nimang putri kecilnya
sambil selalu dengan sabar menyuapkan sesendok demi sesendok bubur ke mulut
bayi kecilnya, tak jarang pula sang anak memuntahkan dan tak menelan bubur yang
disuapkan ibunya. Namun ketelatenan ibunya tak perlu diragukan lagi akan
mengurus anaknya. Tak ingin sampai melihat putri semata wayangnya menangis
karena kelaparan, dia berfikir seorang bayi belum bisa mengerti apa yang dirasanya,
entah lapar, entah tak nyaman, entah sakit, dan tak mengetahui sedang sakit apa
yang dirasanya. Jadi ibunya begitu telaten memasukkan berbagai protein,
karbohidrat, kalsium ke tubuh mungil anaknya itu. Agar tak sampai sakit dan
menderita sang anak.
Brukkkkkk …
terdengar suara pecahan gelas didalam. Ibunya hanya diam dan senantiasa
menyuapkan sendok itu, dan menyuapkan lagi dan lagi. Lalu menyerbeti mulut
anaknya yang berantakan karena bubur yang keluar sampai ke bajunya sehingga
menjadikannya kotor. Dan disiapkannya bedak agar anaknya tak merasakan tak
nyaman saat sedang menelan makanannya.
Bruukkk … pyarrrrrr…… suara itu memecah keharmonisan
antara ibu dan buah hatinya. Sudah cukup dia terdiam lalu dia masuk dan
meninggalkan putrinya di kereta bayi. Sambil memberinya mainan agar tak jenuh
putrinya saat sendiri.
“kenapa kamu
ini?”
Didorongnya ia
saat melontarkan pertanyaan itu kepada suaminya.
“kenapa yang
kau masak makanan kuli semua. Gak ada gizi, gak enak dimakan. Amis”. Bentaknya
“kamu itu,
makan kalau suka, jangan makan kalau gak suka”
“aku gak
suka, mangkanya aku buang saja”
Brakkk……..
meluncurlah berbagai lauk yang tersedia di meja makan ke bak sampah dengan
kasarnya dengan seringai menantang. Sedang sang istri setia dan bersabar
menunggu amarah suaminya mereda.
“apa kau
lihat-lihat? Nantang aku yah…???”
“kenapa kau
buang makanan itu? Kalau gak suka biar aku saja yang makan”
“itu kan
maumu. Kau masak makanan yang gak aku suka biar aku gak makan”
Istrinya
terdiam dan tendangan demi tendangan menerpa tubuhnya, sampai terhempas
ketembok belakang. Dia terdiam dan dan terdiam, menahan sakit tendangan suami
yang begitu kencangnya.
“bangun kau,
bangun, kenapa gak mau bangun??? Ayo bangun. Sini lawan aku”
Diam, masih
saja istrinya tak mampu berbuat apa-apa. Sekarang hantaman yang meluncur di
pinggir kepalanya, tepat di telinganya, dan mengucurkan darah segar merah.
Berkali - kali dia pukul dengan genggaman kuat kepalan seorang pria. Tak hanya
tangan yang iya sodorkan kakinya juga menendang perut bagian bawah istrinya.
Berkali-kali diinjaknya dengan begitu ganasnya. Bagai seorang pembunuh berdarah
dingin tak berperasaan yang sangat ingin menewaskan segala didepannya. Tak
berdaya istrinya, membuka mata saja tak mampu ia lakukan. Menggerakkan tangan
begitu sulit. Kesakitan dimana-mana. Perih dimana-mana, darah mengucur dari
telinga membasahi baju yang dikenakannya. Lebam hitam sudah menempel dengan
paksa ditubuhnya. Istrinya tak mampu bergerak lagi. Tak ada lagi gerak, tak ada
mata yang terbuka, tak ada hembusan nafas, tak ada…. Tak ada…
Setelah
penganiayaan berakhir dan tak melihat tanda-tanda kehidupan dalam dirinya lagi.
Sang nenek datang atas laporan tetangga.
“nek anakmu
nek, dijadikan bola suaminya. Ditendang tending dimangsa kayak hewan. Mati itu
nek mati sudah anakmu”.
Begitu cepat
langkah nenek menuju rumah anaknya dengan tergesa. Mendapati cucunya bermain
sendiri di kereta bayi diluar dengan bubur yang tumpah dimana-mana. Nenek itu
menyerahkan bayi itu kepada anaknya satunya lagi.
“sana, bawa
kerumahku, sana cepat bawa pergi!!!!!”
Nenek itu nyelonong
memasuki rumah anaknya. Mendapati anak wanitanya tergeletak tak berdaya dengan
darah di telinganya yang mengucur kebawah, kelantai dan lebam dihampir sekujur
tubuhnya. Mendatangi anaknya dan memanggil-manggil anaknya, deraian airmata
menetes dengan derasnya.
“bangun nak,
bangun anakku, bangun!!”
Sia-sia saja
nenek itu. Memangku tubuh anaknya, dan
akhirnya datanglah anak lelakinya, segera saja digendong adiknya yang
tergelatak dibawah. Dibawanya menuju rumah sakit dengan segera. Masih tak ada
gerak, tak ada hembusan nafas. Akankah dia melihat putrinya lagi, akankan mata
itu mampu memandang anaknya yang masih bayi, masihkan ia menyuapi anaknya
dengan telaten lagi masihkah….. dan masihkan bertahan hati menghadapi dan menerima
sebuah suratan takdir hina ini….

Tiga jam
lamanya masih tertutup juga mata itu, nenek dan anak lelakinya menungguinya
dirumah sakit. Suami itu datang menanyakan keadaan istrinya tanpa rasa berdosa
sedikitpun, tanpa rasa bersalah sedikitpun, tak menyesal sekalipun melihat
istrinya yang telah melahirkan putrinya tergeletak tak berdaya di ruang UGD.
Melihat menantunya datang sedimikian tenangnya, dan tanpa rasa bersalah membuat
hati nenek geram. Yang membuat anak wanitanya terkapar dengan luka lebab
dimana-mana. Tak lain tak bukan akibat ulah suami anaknya sendiri. Seorang
lelaki yang dipasrahkan tanggung jawab dan dipasrahkan untuk melindungi malah
menganiaya dengan kejam. Dengan tonjokan, pukulan dan tendangan tak ubahnya menghajar
musuhnya. Namun didepannya ia ialah istri dan seorang wanita lemah yang perlu
dikasihi.
“pergi kau
biadab, hewan liar macam apa kamu ini? mampu membunuh istrimu sendiri? Apa yang
ada didalam otakmu, SETAN!!!”, ucapan demi ucapan keluar mulut sang nenek.
Sambil menahan tangis dan membuat bibirnya bergetar, berharap tak menangis dan
menangis lagi. Namun usahanya sia-sia. Nenek itu tetap mengeluarkan air matanya
tak ubahnya air terjun yang begitu derasnya. Sambil mengumpat dan mengusir
menantunya itu dengan caci maki. Anak lelakinya memegangi tubuh yang renta itu,
“sudah buk,
sudah ayo masuk”, anak lelakinya berusaha mengelakkan pandangan dari
menantunya.
Mata itu
perlahan membuka. Sedikit demi sedikit, seakan berusaha melihat dunia ini yang
beberapa saat ditinggalkannya. Wajah malaikat kecil itu terngiang dikepalanya,
membuatnya memaksa hidup, seakan mampu mengusir sang pencabut nyawa untuk menunda kematiannya. Dan benar
saja, energi sang anakn lah dan doa seorang ibu kepadanya membuatnya bangun dari
tidur sementaranya. Yah… mata itu telah terbuka, terbuka dan kembali akan
melihat sekitarnya, ibu, anak dan dunia fana’.

Sesudah
matanya terbuka dipagi yang masih buta, masih terdengar suara adzan shubuh kala
itu memecah kesunyian. Nenek yang tak tidur semalaman menunggui anaknya,
ditemani anak lelakinya yang tidur dirumah nenek dan meninggalkan istri yang
sedang hamil muda dirumahnya, untuk menunggui dan menjaga adiknya yang
terkapar. Dia memegang tangan ibunya.
“buk, mana
Valen? Aku ingin melihatnya”. Pintanya dengan suara payau. Linangan airmata
membasahi pipi mulusnya.
“ibuk sudah
titipkan pada kakak iparmu, jangan dikuatirkan”
Kakak
iparnya, istri dari kakak lelakinya yang sedang hamil muda masih menyempatkan
merawat ponakannya yang masih bayi dan membutuhkan perhatian extra. Kakak
lelakinya izin pulang karena tak tega meninggalkan istrinya dengan segala
kerepotan. Ibunya mengizinkan dan membuatkan bubur untuk dibawa kerumahnya
untuk dimakan sang cucu yang dicintainya.
Nenek
kembali kedapur dengan segala aktifitasnya. Setelah selesai dengan masakannya,
hangat-hangat iya membawakan semangkuk bubur kepada anak wanitanya. Nenek
menyuapi anaknya yang bahkan tak mampu memegang sendoknya sendiri. Mengunyahnya
dengan perlahan dan menikmatinya. Teringat 22tahun lalu saat tangan itu masih
lebih kuat untuk menyuapinya, saat wajah itu masih belum ada keriputnyam saat
wajah itu tersungging senyum lebar bersenda gurau dengannya. Dan masih saja ia
disuapinya dengan sabar ketika sudah berumah tangga, sudah mempunyai anak pula.
Malu dirasakannya, namun tetap saja ia telan bubur itu agar tak membuatnya
semakin sedih dengan keadaannya. Melumatnya dan segera mendoronganya menuju
kerongkongan agar segera diproses ususnya, dan segera membuangnya, agar
terbuang pula kesakitan yang sekarang menimpa dirinya. Untuk yang pertama,
setelah pernikahannya masih berumur setahun setengah.

Ketika dia
bekerja di sebuah perusahaan swasta, kepenatan membuatnya begitu jenuh menerpa.
Tak tahan dengan deadline yang menjadi tanggung jawabnya. Dia keluar sebentar
menghirup udara segar, mencari kedamaian yang akan merefresh fikirannya. Dan
akan kembali siap bekerja. Duduk sendiri ia dipojok café. Memesan segelas
cappuccino dan sandwich untuk mengenyangkan perut yang sedari tadi meminta
jatah. Beberapa menit pesanan itu datang dibawakan oleh waitress yang begitu
ramah padanya. Segera dia menyantap sandwich didepannya. Seakan itu makanan
pertama yang dilihatnya setelah sekian lama menahan laparnya. Lelaki bertubuh
kurus datang menghampirinya, mengajak berkenalan dengannya. Menemaninya
menghabiskan sandwich dan segelas cappuccino yang dipesannya.
“mau nambah?
Biar aku yang traktir?”
“tidak,
terimakasih”
“Oh ya, aku
Ardi. Nama kamu siapa?”
“namaku Ana”
Sambil
menjabat tangan dan bersenyum tanda pertemuan yang begitu indahnya.
Lelaki
chineese itu mampu menggetarkan hati Ana. Ada apa gerangan ini, aku merasa
begitu nyaman dan ingin menjadi sebagian diri itu. Istirahat tak berlangsung
selamanya, sebuah kewajiban harus segera ditunaikan oleh Ana. Perpisahannya
dengan Ardi tak terelakkan lagi. Namun setelah pertemuan berakhir mereka berdua
bertukar nomor ponsel. Dan keesokan harinya janjian disebuah restoran untuk
dinner. Sebuah pertemun yang begitu singkatnya oleh sepasang muda mudi yang
dimabuk asmara. Dan menganggap cinta adalah segalanya. Pertemuan ketiganya Ana
mengajaknya kerumah untuk dikenalkan kepada orang tuanya. Ibuk dan ayahnya
masih ada dirumah. Menunggui toko depan rumah yang berjualan aneka kebutuhan
rumahan. Kakek yang terbatuk batuk karena sudah senja dan rapuhnya, kaget
melihat anaknya pulang membawa seorang lelaki. Sambil diperkenalkannya kepada
kedua orang tuanya itu.
“kamu yakin
sama pilihanmu nak?” Tanya nenek
“iya buk,
saya sudah merasa cocok dengan lelaki itu”
“sudah
berapa lama kalian saling mengenal?”
“ehmmmm baru
buk tapi Ana sudah cocok dengannya buk. Mohon restuilah”
“berapa lama
kalian mengenal”, tanyanya berulang
Dengan
terbata-bata, “3 hari buk . . .”
Setelah lelaki
itu meninggalkan rumah ayahnya marah-marah. Entah apa yang membuatnya tak
menyukai lelaki tampan itu.
“pokoknya
aku gak setuju, terserah kalau menikah, tapi tanpa restu dariku”
Ana menuju
kamarnya dan mencoba menghubungi Ardi, mengatakan tentang pendapat orang
tuanya. Yang menentang keras hubungan mereka berdua. Ana menanyakan keseriusan
Ardi. Dan Ardi menyanggupinya. Ardi mengajaknya bertemu pada sebuah tempat yang
tak biasa. Di suatu malam yang dingin, mereka berdua akan bertemu disebuah
tempat karaoke yang tak biasanya mereka datangi sebelumnya. Ketika Ana tiba. Ardi
sudah menunggunya didepan tempat karaoke tersebut.
“kenapa
bertemu disini?”
“ayo, masuk.
Aku jelasin didalam”
Mereka
berdua memasuki tempat karaoke berdampingan. Menuju lounge yang begitu
nyamannya. Dan sangat enak untuk dibuat ngobrol. Ana masih saja terdiam.
Memikirkan pertentangan orang tuanya kepada Ardi yang baru saja dikenalnya hari itu dan merasakan cinta seketika.

Esok begitu
cepatnya, hari dimana Ana tak ingin sekali menemui hari itu. Untuk kali
pertamanya Ana takut menemui Ardi, setelah memperbincangkan rencana Ardi agar
diterima orang tuanya. Ana pergi ke tempat kerjanya dengan gundah. Tak seperti
hari biasanya yang begitu bersemangat. Lolita teman Ana semenjak mereka berdua
bekerja dikantor yang sama. Dan menjadi partner yang begitu kompak. Melihat
kegundahan di raut wajah Ana.
“An, kamu
kenapa? PMS yah?”
“enggak kok
Lit”
“murung gitu
wajahmu gak biasanya”
Ana tak
berbicara lagi. Dan memilih diam. Menunggu waktu yang tepat untuk bercerita kepada
Lolita, sahabatnya.
Hari-hari
begitu cepatnya, pukul 5 sore kantor tutup dan semua karyawan meninggalkan
kertas yang tertumpuk dimeja kerjanya. Lolita menawarkan kepada Ana untuk
berjalan - jalan ke mall mengurangi kesuntukan yang dideritanya hari itu. Namun
Ana menolaknya dan beralih mengajaknya pada sebuah café. Café dimana tempat
pertama Ana dan Ardi saling berkenalan dan bertukar nomor ponsel.
“disini
teptnya kami pertama bertemu”
“bertemu
siapa An?”
“dia lelaki
yang ditentang orang tuaku”
“kamu bertemu
lelaki?, siapa dia An?”
“Ardi”
jawabnya singkat
“dia kerja
dimana?”
“dia punya
tempat karaoke di daerah bugenfil, aku sudah diajaknya kesana”
“tapi kamu
bukan type orang doyan karaoke”
Ana kembali
terdiam.
“aku gak
tahu apa Cuma perasaanku, soalnya aku tak mengenal juga lelakimu. Namun aku
cuma khawatir dia lelaki nakal dan akan menyakitimu An. Orang tua selalu benar,
karena mereka bahkan lebih mengerti dan memahami daripada dirimu sendiri.
Merekalah yang sudah mengenalmu selama 22tahun. Jauh lebih mengenalmu bahkan
melebihi dirimu mengenal dirimu sendiri” jelas Lolita panjang lebar. Tak kuasa
Ana berkata lagi dan hanya mampu melinangkan air matanya. Dan segera ia hapus
agar tak terlihat oleh Lolita. Namun sahabat tetaplah sahabat. Bahkan ketika
kau merasa berhasil menyembunyikan sesuatu darinya justru dialah yang
menyembunyikan telah mengetahui sesuatu itu darimu. Hebat dan ajaibnya sebuah
perkawanan. Mampu membuat dunia yang terlihat fana’ ini terlihat lebih indah
dan cinta dengan perhatian dan kasih sayang yang saling diberikan.
Beberapa
menit terdiam, tak ada suara dan air mata lagi. Lolita merangkul sahabatnya
dengan tiba-tiba. Memberikan kenyamanan kepada sahabatnya itu. Dan mengatakan
secara tersirat, ‘hey kau tidak sendirian. Masih ada aku yang siap menemani dan
membantu dikala kesulitan’
Ana tak
berani bercerita mengenai rencananya kepada sahabatya itu, takut dia akan menolaknya
dan dilarangnya menemui Ardi. Seperti halnya kedua orang tuanya. Malem menyapa
juga. Ana pulang lalu mandi dan berdandan bersiap untuk pergi.
“kemana nak
malam-malam begini”
“mau keluar
sama Lolita buk”
Dia segera
melajukan mobilnya sesegera mungkin, agar tak perlu lagi harus berbohong lagi
dan lebih lagi kepada ibunya. Dan segera mengatahui kesiapan malam itu. Apakah
berhasil apakah gagal dengan segala rasa bersalahnya kepada orang tuanya dan
kepada sahabatnya.
Ana telah
menunggu didepan tempat karaoke milik Ardi dan dia sudah bersiap menunggunya
didepan. Langsung saja Ardi memasuki mobil Ana dan melaju kencang menuju hotel
resort dekat kawasan perbukitan.
Sampailah
mereka berdua, dan segera turun. Sedang langkah Ana yang tiba-tiba terhenti
ketika memorinya ke flash back. Saat bersama-sama orang tuanya menghabiskan
waktu bersama dirumah, entah hanya duduk-duduk bersama atau membuat sesuatu
bersama didapur sebagai seorang wanita. Ingat saat diikatkan rambut oleh ibu
nya, dipakaikannya baju seragam dan diantarkannya menuju sekolah. semua
kenangan masa lampau seakan menyeruak masuk kedalam memori saat itu juga.
“kenapa
sayang?” Tanya Ardi ketika mendapati Ana sedang berada dalam masa lalunya
“apa kamu
benar-benar yakin?”
“kamu bilang
aku harus meyakinkanmu, dan aku sudah melakukannya demi kita bisa menikah”
Tak berubah
mimik wajah Ana, seakan masih tenggelam dalam memori masa dulu dan tak kuasa
menghianati kedua orang tuanya. Tiba-tiba Ardi memegang punggung tangan Ana.
Tanpa kata, tanpa bersura. Namun menyiratkan banyak hal. Meyakinkan lebih dalam
tentang keseriusannya yang mampu melelehkan segala kegundahan dihati Ana.
Seakan mengusir dengan paksa segala memori yang sedang terngiang dalam benak
Ana. Dan mengiyakan semua segala permintaan dan kemauan Ardi. Masuklah mereka
berdua di dihotel itu. Ana menunggu di lobby ketika Ardi ke meja receptionist
untuk reservasi. Tak lama kemudia Ardi datang kembali dengan membawa kunci.
Langkah semakin berat rasanya, namun genggaman Ardi pun makin erat pula. Pintu
kamar terbuka mereka berdua segera masuk dalam kamar. Hening sesaat, tanpa
fikiran lagi. Hanya setan yang mempengaruhi mereka saat ini, nafsu yang
menguasai saat ini. tangan itu mulai menggerayai tubuh Ana. hanya diam Ana tak
mampu harus berbuat apa. Kancing itu mulai dibuka oleh Ardi sambil mengecup
mesrah kening Ana. setelah itu sudah tak terbayangkan lagi apa-apa yang telah
terjadi dan terlakukan mereka berdua. Sadar telah pagi Ana sudah tanpa busana
dan hanya diselimuti selimut bersama lelaki disampingnya yang masih terlelap.
Ana memandangi seluruh lekuk wajah itu. Benarkah yang ia lakukan semalam?
Benarkah keputusannya yang diambil? Benarkah ia lelaki yang kan membuatnya
bahagia sampai nanti? Benarkan apa yang dilakukannya keseluruhan atas dasar
cinta? Dan benarkah ia tak berdosa menghianati kedua orang tuanya atas dasar
cinta yang begitu rekat. Kepada seorang lelaki yang baru dikenlnya di café.
Yang menemninya makan siang kala itu. Yang beberapa saat saja sudah mampu
meneduhkan hati Ana. yang membuatnya langsung mengiyakan mengambil keperawanannya
hanya demi cinta 3 hari saja. Namun semuanya masih belum terlihat. Hanya samar,
dan fikiran hanya dipenuhi opini sendiri, yang menguatkan dan sesekali melemahkan
harapannya sendiri.

Seminggu
setelahnya Ana semakin gusar. Dia selalu melihat tanggal dikalendernya yang
sudah diberi spidol merah. Seharusnya ia sudah berhalangan sekarang. ‘ah
mungkin nanti atau besok ataukah lusa’, ia coba menenangkan dirinya sendiri.
Besok tetap saja tak sesuai perkiraannya. Ia semakin gundah. Tak berani ia
ceritakan kegundahannya lagi kepada Lolita. Ana menunggu hingga esok sampai
belum juga mendapatkan bulanannya ia akan menceritakannya kepada Ardi. Benar
saja dia masih belum mengeluarkan darah menstruasi. Ia mengirim pesan singkat
kepada Ardi untuk menemuinya di tempat kerja. Saat pulang kantor nanti. Ardi
sudah bersiap menjemputnya ketika jam sudah menunjukan pukul 5 sore. Mereka
berdua terdiam dimobil. Sepertinya Ardi sudah mengetahui apa yang hendak
diceritakan kepadanya. Selang beberapa menit Ana membuka percakapannya.
“sayang…? Aku hamil”, katanya tanpa berbasa basi.
Ardi malah
tersenyum gembira, seakan dia sudah sukses mencapai keinginannya.
Berkata lagi
Ana, “kita akan segera menikah kan?”
“tentu saja,
itu memang tujuan utama kita sayang, kamu jangan kuatirkan masalah itu”
Setelah
pertemuannya dengan Ardi sore itu malamnya Ana berniat untuk memberitahukan
kepada orang tuanya. Dia sengaja meluangakan waktunya untuk berbicara dengan
kepala dingin.
“buk, ayah.
Besok Ardi mau melamar”
“kenapa
mendadak sekali nak?” Tanya ibunya
Ayahnya yang
sedari tadi tak menghiraukan ketika nama Ardi disebut. Sedang abangnya yang
ketika itu berada disitu juga diam, tak ikut berbicara. Takut akan memperkeruh
suasana.
“ayah, mohon
direstui” pintanya sambil berwajah tulus memohon restu ayahnya yang lebih keras
hati. Sedang ibunya yang mengelus pundak Ana mengatakan untuk menundanya hingga
ayahnya tenang dan bisa dengan ikhlas menerima Ardi sebagai menantunya. Tak
tahan dengan acuh tak acuh ayahnya lalu Ana bersimpuh di kaki ayahnya dan
mengatakan bahwa dirinya telah hamil dengan Ardi sehingga harus segera dinikahi
oleh Ardi. Ayahnya yang kaget mendengar pernyataan anak perempuan itu mendadak
kejang dan tak mampu berdiri. Lalu pingsan. Tangis keluarga memecah kesunyian.
Dibawanya menuju rumah sakit, ibu Ana dan abangnya menunggu diluar. Ardi
menyusul mereka ketika Ana mengabari ayahnya shock ketika diberitahu dirinya
hamil. Entah bagaimana harus menyambut calon mantunya itu yang sama sekali tak
disukai oleh ayahnya. 3 jam setelah pingsan ayahnya memanggil Ana. ibu beserta
abangnya menunggu diluar. Terlihat ayah sedang ingin berbicara berdua dengan
anak wanitanya dan menyampaikan pesan terakhirnya.
“ayah telah
gagal mendidikmu, sedari dulu sudah ayah wanti-wanti. Merawat anak perempuan
seperti berjalan diatas duri. Sungguh menakutkan, dan ini yang selama ini ayah
maksudkan. Mungkin setelah ini ayah akan menerima hukuman yang setimpal, akibat
ketidakberdayaan ayah mendidik anak perempuan satu-satunya ayah. Jika memang
sudah ada janin dalam perutmu segeralah menikah dengan lelaki pilihanmu
sendiri. Jika sudah tak lagi ada ayah disampingmu. Cobalah tegar dengan segala
apa yang terjadi, nanti…”. Sudah setelah itu tertutuplah mata yang damai itu.
Sekarang
semua wanti-wantinya hanya tinggal kenangan. Asbak dan kopi dimeja makan
sekarang hanya tinggal bekasnya. Semua keluarga tertunduk mengheningkan doa.
Kepada sang ayah, yang pergi sambil meratapi kegagalannya

Valen sudah
menginjak kelas TK, sudah mengenakan seragam, sepatu dan tas yang lebih besar
daripada dirinya. Ibunya mengantarnya kesekolah sambil membawakan bekal untuk
ia makan saat istirahat. Mengantarnya menuju kamar kecil ketika dalam kelas
tiba-tiba saja Valen ingin buang air. Selalu begitu, menemani putri kecilnya,
dan mendampingi menuju dewasa. Setelah itu kembali kekelasnya dengan berlari
kecil, menandakan bahagianya masa kecil bagi Valen. Menemui dan bermain dengan
teman-teman sebayanya. Masa-masa kecil memang moment yang tepat untuk bertanya
kepada anak kecil mengenai hal apapun itu. Karena bagi mereka adalah semuanya
masih murni, tanpa dusta dan maksud apapun. Mereka hanya menjawab dan
memperumakannya dengan hal yang mereka pikir itu sesuai. Datang bu Lely, guru
kelas TK yang juga mengajar Valen. Semuanya diminta maju sambil menyampaikan
terimakasih kepada ibu, dan semua murid ditanya mengenai cita-cita mereka
dimasa depan. Tibalah giliran Valen untuk maju. Dia sangat antusias
menyambutnya.
“nah Valen
sekarang Valen bisa mengucapkan terimakasih kepada ibunda”, pinta Bu Lely
“terimakasih
bunda”, dengan nada dan pancaran mata yang begitu ikhlasnya dan mencerminkan
kehidupan surga.
“bagus
sekali, sekarang Valen bercerita, Valen pengen jadi apa nanti kalau udah
besar?” lanjut lagi pertanyaan bu Lely
Valen diam
sejenak sambil memikirkan sesuatu, untuk anak sekecil itu berfikir adalah hal
yang luar biasa, kebanyakan dari mereka segera saja menceploskan apa saja yang
ada dalam benak mereka. Ingin jadi dokter, guru, , pilot dan sebagainya. Impian
masa kecil yang masih sangat awam.
“aku ingin
jadi suami ibu, karena aku ingin membahagiakan ibuku dan membuat senyum di
pipinya bukan air mata”
Semua yang
ada di ruangan itu terharu mendengarnya tak terkecuali ibu Valen, sambil
menitikkan air matanya dan memeluk anak semata wayangnya.

Sudah
semakin sering suaminyanya pergi pagi dan pulang pagi harinya lagi. Sampai Ana
hilang kesabaran dan menanyakan kepada suaminya itu. Pada suatu pagi ketika baru
saja Ardi pulang. Ana tak langsung menghapirinya dia membuatkan segelas kopi
untuk mencairkan suasana.
“ini mas
kopinya”
Ardi tak
serta merta membalasnya dengan ucapan terimakasih, bahkan sesungging senyum
saja enggan ia lontarkan kepada istrinya sendiri. Lalu Ana membuka
percakapannya. Duduk disebelah suaminya. Ketika pagi masih buta, ketika Valen
masih dalam alam mimpinya.
“mas kenapa
selalu pulang pagi? Tak baikkah aku untukmu sehingga tak ingin kamu melihat dan
bercanda bersama-sama kita. Aku dan Valen. Anakmu”
Tak langsung
menjawab Ardi, malah melengos tak menggubris Ana, istrinya. Ana tetap saja
mendekati suaminya, agar suaminya mau dan berbalik memeluknya. Memberikan
ketenangan lagi seperti pertama bertemu, seperti cinta 3 hari itu. Namun semua
hanya angan kosong belaka tak senyuman dan pelukan yang didapatnya. Namun
tamparan yang melayang keras dipipinya yang justru menjadi santapan paginya.
Tak hanya itu saja yang didapat oleh Ana, namun bonus datang padanya.
Diguyurkan kopi panas dimeja tepat di muka. Panas tak tertahan sehingga Ana
langsung saja menuju kamar mandi. Utuk membasuh mukanya dengan air dingin.
Valen yang melihatnya sambil mengintip segera saja digendong ayahnya dan
diajaknya keluar tanpa berkata apa-apa pada ibunya.
Ana yang
keluar dari kamar mandi dan tak mendapatinya putrinya dikamar tidur merasa
panik, mencari kesana kemari namun tak kunjung menemukannya. Akhirnya ketika
dia memutuskan keluar rumah barangkali valen keluar bermain lalu dia diberitahu
tetangganya bahwa Valen digendong ayahnya keluar menaiki mobil. Dalam hati ia
bertanya. Kemana hendak diajak Valen pagi - pagi buta begini, terbesit fikiranya
yang macam-macam dan semakin membuatnya takut sendiri. Akankah valen dijualnya
keluar negeri? akankah Valen dibunuh ditengah jalan? Akankah Valen dijatuhkan
kejurang? Dan berbagai mungkin yang semakin membuatkan menangis dalam
kesendirian pagi. Tak mandi, tak masak dan tak melakukan apapun lagi kecuali
berkutat dalam fikirannya. Sampai siang hari Ana mondar - mandir karena tak
tahu harus mencari kemana. Tiba-tiba saja suara mobil itu samar terdengar.
Senang mendengar derit langkah kaki yang sangat dikenalnya. Valen. Putri semata
wayangnya yang sedari pagi dinantinya. Langsung dipeluk dan dikecupnya anak
kecilnya itu. Sedang Ardi yang telah membawanya tanpa sepengetahuan Ana tak
merasa bersalah sedikitpun bahkan wajahnya terlihat merona dan bahagia. Entah
apa yang telah dilakukannya bersama putri kecilnya. Yang jarang diajaknya
keluar untuk berjalan-jalan. Malam tiba, pertanyaan Ana masih terngiang
dikepalanya dan mengharap untuk segera dikeluarkannya. Dia menemui suaminya
yang akan bersiap keluar.
“mas kamu
ajak Valen kemana pagi tadi?”
“mau tahu
urusan orang aja”
“Valen
anakku mas, dia darah dagingku. Tak apa tak kau anggap aku ini istri sah mu dan
memilih istri simpananmu tapi jangan harap kau bisa menyakiti valen sepertiku”
“tahu apa
kau soal simpananku?”
“berarti
benar kan kau punya simpanan?”
“kalau iya
kenapa? Toh aku tak merepotkanmu”
“tapi tolong
hargai aku walaupun sedikit mas. Aku ini masih istrimu”
“aku sudah
muak denganmu”
“kenapa kau
begitu tak adil padaku mas”
“yah seperti
tak adilnya ayahmu yang selalu membenciku tanpa sebab. Dasar tua bangka. Untung
sudah di neraka”
Tiba-tiba
layangan tamparan keras menuju pipi Ardi.
“sudah
semakin kelewatan kamu mas, sudah tak patut kau kusebut suami lagi. Sudah. Kita
akhiri saja. Jika selama ini aku masih berdiam dan selalu setia, namun setia
pada akar yang salah. Kau ceraikan saja aku”
“kau pikir
semudah itu. Aku akan membuatnya lebih sulit bagimu”
Lalu Ardi
pergi meninggalkan Ana yang bersimpuh dengan kekesalannya.
Ana
menelepon sahabatnya Lolita dan meminta bertemu disebuah restoran di ujung
kota. Setelah menunggu beberapa saat Lolita telah terlihat batang hidungnya.
Perutnya membuncit karena 7 bulan lalu setelah pernikahannya bersama teman
sekantornya.
“maaf lama
An, aku tadi nyiapin makan malam buat suami dulu”
“kenapa
suamimu gak ikut?”
“dia dirumah
ada yang harus dikerjakan, dan katanya ingin membiarkan kita berdua lebih intim
bercerita saja”
“makasih Lit
udah mau nemenin aku”
“ngak papa,
oh ya ada apa sama Ardi An? Dan anakmu dirumah sama siapa?”
“anakku udah
tidur mangkanya aku berani tinggal”
Ana
menceritakan semua kejadian dari awal, dari segala hal mengenai pertentangan
orang tuanya mengenai hubungan mereka dan melakukan hubungan suami istri
sebelum nikah. Tak terasa sudah 2 jam lamanya Ana bercerita dan semakin membuat
sahabatnya itu tercengang. Tak tahu apa yang harus dikata dan disarankan.
Karena semua sudah terlambat dan nasi pun sudah menjadi basi. Tak dapat dimakan
lagi, diolah lagi dan diperbaiki lagi. Benar - benar sudah basi hingga berbau
busuk pula. Tak ada lagi percakapan seketika itu selain pelukan hangat yang
biasanya diberikan oleh seorang sahabat.

Masih dengan
pagi yang sama, suasana yang sama dan sarapan yang sama. Perlakuan suami
terhadap istri tak ubahnya bagai seorang pembenci dan musuh dalam satu atap.
Namun pagi ini berbeda. Suaminya lebih diam dan tak lebih kasar. Namun hanya
bertahan beberapa menit saja lalu berubah menjadi serigala liar lagi. Ana
dipanggilnya dan didudukkannya dia dipangkuannya. Aneh dan tak biasa. Pertanda
apakah ini bagi Ana. namun dia tetap memberikan sesungging senyum manisnya.
Berharap pagi ini ada dan seterusnya tetap ada. Tak berkata dan hanya merasa.
Keintiman mereka berdua yang sudah lama diidamkannya. Lalu Ardi membuka
percakapannya. “gantikan aku dan bekerjalah”
Bagai
tersambar petir Ana mendengarnya.
“maksud kamu
apa mas?”
“karaokeku
ditutup dan aku sudah tak berpenghasilan lagi”
Ana tak
memberikan jawabannya dan bingung tak menentu. Dan ekspresi seperti itu yang
semakin membuat suaminya kesal padanya. Langsung dibantingnya Ana ke lantai dan
ditendang perut bagian bawahnya. Ana menangis kesakitan dan tak tahu lagi. Baru
saja dia merasakan keharmonisan dan berharap selamanya namun sudah dipatahkan
dengan tendangan itu lagi. Lalu suami meninggalkan dia. Kembali ke pagi-pagi
sebelumnya.
Ana pulang
kerumahnya dan berharap mendapat pinjaman dari ibunya. Ia berbohong kepada
ibunya, dia berkata pinjaman uang itu untuk modal membuka toko. Agar dia
berpenghasilan sendiri dan mempunyai rutinitas sendiri. Setelah ia mendapat
uang dari ibunya dia segera pulang. Didepan rumah Ardi sudah menantinya dan
mengambil semua uang ditas Ana. Entah tak tahu buat apa uang itu digunakan. Ana
hanya berfikir itu untuk modal suaminya lagi agar memulai bisnis barunya. Namun
seminggu setelah itu Ardi menyuruhnya untuk meminjam uang lagi kepada ibunya.
“bukankah
uang kemarin sudah kau gunakan mas? Memang kau buat apa uang itu?”
“aku buat
seneng-seneng aja” jawabnya enteng
“tega sekali
kau mas, aku sudah berbohong kepada ibuku namun kau buat foya-foya saja uang
itu”
Tamparan
keras menghampiri pipinya, “kau pikir aku enggak stress? Aku perlu sesuatu
penyegaran sebelum memulai lagi bisnis baru. Tolol, idiot”
Cacian dan
perlakuan yang begitu panasnya. Semakin membuat Ana kalut dengan semua masalah
keluarga yang kalut dan tanpa arah.
Kebangkrutan
suaminya yang masih bertahan hingga setahun terakhir ini. dan setahun ini Ana
berusaha sendiri memenuhi kebutuhan dapurnya. Dengan ikut kerja di laundry
milik temannya. Sedang suami yang hanya mengambili uang gaji Ana hanya untuk
berfoya-foya. Suatu pagi Valen yang sudah menginjak SD meminta ibunya untuk membayar
uang sekolahnya. Dia pun menjual semua perhiasannya untuk melunasi uang sekolah
Valen setahun kedepan agar tak terlihat sedikit beban yang menghimpitnya. Namun
sesampainya dirumah uang itu sudah dirampas suaminya sendiri. Berkali –kali ia
jelaskan uang itu untuk sekolah Valen namun percuma saja. Bagai mengomel pada
tembok yang begitu tebalnya tak akan mendengar apalagi mencerna kata-kata itu.
Entah dimana letak nuraninya seakan sudah terkubur dan hanya nafsu tersisa.

Hari-hari
yang begitu mendung. Berharap sang mentari datang menyapa. Berharap sang
pelangi datang menghibur. Berharap sang aurora datang menenangkan. Namun yang
datang justru petir yang begitu dahsyatnya. Sesuatu yang berat dirasanya. Sudah
menjadi yatim piatu sekarang seorang Ana. seorang istri yang masih berusaha
setia pada suami yang menindasnya. Suami yang memperlakukannya tak ubahnya
binatang tercela. Sehari setelah pemakaman ibunya dia bersimpuh duduk di
rumahnya. Masuk kamar dan mengenang ibunya. Ibu yang telah dibohongi dan belum
sempat ia meminta maaf atasnya. Setahun berlalu begitu beratnya dengan suami
yang semakin tercelanya. Datang mabuk. Datang minta uang. Datang marah-marah.
Dan datang sambil memukul. Sudah dua tahun tak terpenuhi kebutuhan seorang
istri. Kebutuhan lahir batin. Bahkan batin yang hanya tersiksa disepanjang
hari. Hubungan yang digantungnya selama dua tahun terakhir akhirnya dia meminta
perolongan Lolita, sahabatnya. Agar membantu menggugat cerai suaminya. Dan
benar saja. Banyak kendala dan liku hingga palu benar-benar diketok.
Telah
menjadi orang tua tunggal ia sekarang. Diusir dari rumahnya dan sama sekali tak
membawa apa-apa. Rumah yang dulu ditempati ibunya sekarang sudah beralih tangan
ke orang lain. Harus kemana ia pergi. Ana ingin menemui abangnya yang setahun
terakhir dilihatnya. Merasa malu jika ia bersandar padanya. Abangnya pun sudah
memiliki keluarga sendiri. Istri beserta seorang anak.
Dia terus
berjalan dan menyusuri tempat dimana ia bisa tinggal bersama seorang Valen yang
digandengnya. Dan tak banyak tanya seakan Valen sudah sangat paham akan keadaan
seperti ini. malam begitu dinginnya dengan perut keroncongan yang melilitnya.
Ana mengajak anaknya tidur disebuah pos yang tidak ada orangnya. Dipangkunya
Valen dan terlelaplah mereka berdua karena saking capeknya berjalan. Malam itu
begitu kerasnya. Tak ada kasur, bantal bahkan selimut. Kehiduan yang 180%
berbalik arah menyerangnya. Namun untung saja masih tersisa harta paling
berharga didunia. Yang menyemangati dan membuatnya bertahan. Anaknya
Malam itu
dia bermimpi, bertemu ayah ibunya disebuah taman yang begitu indahnya, ditemani
pelangi, dan cahaya menyejukkan. Cahaya yang tak ia dapatnya dikehidupan
nyatanya. Tak berkata apa-apa kedua orang tuanya. Hanya membiarkan Ana
tersimpuh dipangkuan ibunya dan terlelap dengan tenangnya.
Kehidupan
masih menunjukan kekejamannya. Seharian penuh tak kunjung mendapat pekerjaan
yang layak dan bahkan tempat tinggal. Akhirnya dia menghubungi abangnya.
Berharap pertolongan dari abangnya. Merasa iba akhirnya abangnya memberikan
rumah kontrakannya untuk ditinggali Ana bersama putrinya, yang juga
keponakannya itu. Sambil berjualan nasi uduk didepan rumahnya. Agar
keperluannya bisa ia tanggung sendiri dan juga bisa melanjutkan sekolah bagi
anaknya. Kehidupannya berjalan begitu hambarnya. Bangun pagi-pagi buta sudah
bersiap dengan toko kecilnya didepan rumah. Yang dibantu anaknya. Dan sepulang
sekolah Valen sudah membantu ibunya tanpa melupakan tugasnya sebagai seorang
pelajar. Hingga Valen lulus sekolah dasar semua masih sama. Sama merasakan
tersiksanya. Sama dengan kehidupan pahitnya. Dan sama dengan harapan baru yang
akan datang menyapa.

Valen sudah
tumbuh mnjadi wanita dewasa. Dan ibunya sudah pula mengalami perubahannya.
Rambut yang memutih dan kerut di pipi yang semakin terlihat dengan jelasnya.
Masih setia dengan toko depan rumahnya untuk keperluan sehari-harinya. Ana
sudah akan mendaftar perguruan tinggi. Namun ia sama sekali tak mengutarakan
hal itu pada ibunya. Dia mencari sendiri peluangnya agar tetap bisa melanjutkan
pendidikannya dan membuat ibunya bangga. Dia masih membantu ibunya berjualan
nasi uduk setelah pulang sekolah. tak ada yang indah dimasa SMA Valen selain
hanya berkutat pada buku dan buku. Tak herang ranking pertama masih saja
menjadi langganannya. Pada suatu pagi Valen bersiap hendak keluar, dia bilang
pada ibunya dia akan melamar kerja. Benar saja valen memang melamar kerja pada
sebuah perusahaan swasta sebagai marketing. Dan ia tetap berusaha agar tetap
bisa masuk perguruan tinggi yang diidam-idamkannya. Setelah pekerjaan ia dapat
dia sudah mulai bekerja seminggu setelahnya.
Pagi masih
membantu ibunya siang ia berkerja dan malamnya dia pergi kekampusnya. Ia jalani
hingga lulus S1 psikologi. Setelah diharuskan kuliah lagi setahun bidang yang
sama agar bisa membuka praktek sendiri ia tak ambil. Karena ia sudah memutuskan
untuk mencari pekerjaan dengan ijazah S1 nya. Yudisium sudah ia lewati. Wisuda
sudah menanti didepan matanya. Ia mengatakan kepada ibunya agar segera berganti
pakaian rapi dan diajaknya disuatu tempat. Terkaget ibunya setelah anaknya
mengajaknya pada acara wisuda anaknya. Karena ia sama sekali tak tahu menahu
bahwa anaknya diam diam telah kuliah
selama ini, ia hanya berfikir anakya bekerja. Bahagia bercampur tangis haru
menyelimuti keduanya. Inillah harapan yang selama ini ditunggunya, harapan yang
menjadi nyata di detik-detik penghujung kehidupannya. Sehari setelah itu Ana
pergi dengan tenangnya. Dan belum sempat ia melihat putrinya dipelaminan
bersama lelakinya. Tentunya lelaki yang bukan seperti ayahnya. Lelaki tekun dan
berbudi luhur dengan tanggung jawab besar kepada Valen.

Valen sudah
mendapat pekerjaan yang mapan, dan bertemu seorang pria yang akan meminangnya.
Hingga cincin yang melingkar dijari manis Valen akhirnya Valen mengajak calon
suaminya ke makam ibunya. Membawa satu keranjang bunga dan mengirim doa untuk
ketenangan ibunya dialam sana.
Seorang ibu
yang begitu berartinya bagi seorang Valen, yang kuat dan tahan banting terhadap
apapun ujian didunia ini. Mencoba menghadapi bukan mengeluh. Mencoba bertahan
meski rapuh. Mencoba mencari - cari harapan dikala pilu. Setahun setelah kedatangannya
dimakam itu Valen datang lagi ke makam ibunya. Namun sekarang ia tak sendirian.
Digandeng seorang anak yang lucu di sisi kirinya.
“lihatlah
bu, cucumu begitu ingin mengenalmu. Dia sangat manis bukan? Dia begitu suka
mengompol bu. Sayang ibu tak sempat menggantikan popoknya untukku. Suamiku
sedang bekerja bu. Kita akan pergi berlibur lusa. Aku harap ibu bisa pergi
bersama kami. Aku bahagia bu. Terimakasih sudah menghadirkanku didunia ini.
terimakasih telah bertahan membesarkanku dengan segala rintangan bu.
Terimakasih sudah pernah ada dikehidupanku. Dan mebuatku sekuat ini.
terimakasih bu”
Setelah membacakan
surat yasin dan putri kecilnya hanya melihat apa yang ibunya lakukan datang
seorang wanita bersama seorang lelaki. Menghampiri dan berpelukan sambil
melinangkan air matanya. Sahabatnya, Lolita pun turut mengirim doa untuknya.
Sang wanita pejuang yang telah tiada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar