Rabu, 05 November 2014

“Perjuangan Sang Bidadari”

*    Malaikat kecilku
Senja yang begitu memaksa menggantikan sinar mentari yang menerangi bumi fana ini. menggantikan dengan sinar merah aurora yang begitu anggunnya dipojok langit itu. Menerpa setiap insan dibumi ini dan menjatuhkan warna merah yang mempesonakan bentuknya. Memberikan warna bumi ini dengan berani.
Seorang anak kecil seumuran setahun masih belajar berdiri dengan merangkak pada tembok-tembok rumahnya sebagai pegangan. Dan seorang ibu yang dengan setia menunggui anaknya dan menjaga anaknya jika terjatuh dari belajarnya untuk mencoba berdiri dan berjalan dengan tegap. Anak pertama dari pasangan suami istri yag berbeda suku. Lucu, manis nan imut wajah baby kecil ini membuat gemas tetangga sekitar rumahnya yang melihatnya, tak sedikit juga yang ingin menciumi pipi tembemnya dan menggendong tubuh mungilnya.
“valen, makan bubur dulu yah nak, biar cepet besar”, ibunya menimang nimang putri kecilnya sambil selalu dengan sabar menyuapkan sesendok demi sesendok bubur ke mulut bayi kecilnya, tak jarang pula sang anak memuntahkan dan tak menelan bubur yang disuapkan ibunya. Namun ketelatenan ibunya tak perlu diragukan lagi akan mengurus anaknya. Tak ingin sampai melihat putri semata wayangnya menangis karena kelaparan, dia berfikir seorang bayi belum bisa mengerti apa yang dirasanya, entah lapar, entah tak nyaman, entah sakit, dan tak mengetahui sedang sakit apa yang dirasanya. Jadi ibunya begitu telaten memasukkan berbagai protein, karbohidrat, kalsium ke tubuh mungil anaknya itu. Agar tak sampai sakit dan menderita sang anak.
Brukkkkkk … terdengar suara pecahan gelas didalam. Ibunya hanya diam dan senantiasa menyuapkan sendok itu, dan menyuapkan lagi dan lagi. Lalu menyerbeti mulut anaknya yang berantakan karena bubur yang keluar sampai ke bajunya sehingga menjadikannya kotor. Dan disiapkannya bedak agar anaknya tak merasakan tak nyaman saat sedang menelan makanannya.
Bruukkk  … pyarrrrrr…… suara itu memecah keharmonisan antara ibu dan buah hatinya. Sudah cukup dia terdiam lalu dia masuk dan meninggalkan putrinya di kereta bayi. Sambil memberinya mainan agar tak jenuh putrinya saat sendiri.
“kenapa kamu ini?”
Didorongnya ia saat melontarkan pertanyaan itu kepada suaminya.
“kenapa yang kau masak makanan kuli semua. Gak ada gizi, gak enak dimakan. Amis”. Bentaknya
“kamu itu, makan kalau suka, jangan makan kalau gak suka”
“aku gak suka, mangkanya aku buang saja”
Brakkk…….. meluncurlah berbagai lauk yang tersedia di meja makan ke bak sampah dengan kasarnya dengan seringai menantang. Sedang sang istri setia dan bersabar menunggu amarah suaminya mereda.
“apa kau lihat-lihat? Nantang aku yah…???”
“kenapa kau buang makanan itu? Kalau gak suka biar aku saja yang makan”
“itu kan maumu. Kau masak makanan yang gak aku suka biar aku gak makan”
Istrinya terdiam dan tendangan demi tendangan menerpa tubuhnya, sampai terhempas ketembok belakang. Dia terdiam dan dan terdiam, menahan sakit tendangan suami yang begitu kencangnya.
“bangun kau, bangun, kenapa gak mau bangun??? Ayo bangun. Sini lawan aku”
Diam, masih saja istrinya tak mampu berbuat apa-apa. Sekarang hantaman yang meluncur di pinggir kepalanya, tepat di telinganya, dan mengucurkan darah segar merah. Berkali - kali dia pukul dengan genggaman kuat kepalan seorang pria. Tak hanya tangan yang iya sodorkan kakinya juga menendang perut bagian bawah istrinya. Berkali-kali diinjaknya dengan begitu ganasnya. Bagai seorang pembunuh berdarah dingin tak berperasaan yang sangat ingin menewaskan segala didepannya. Tak berdaya istrinya, membuka mata saja tak mampu ia lakukan. Menggerakkan tangan begitu sulit. Kesakitan dimana-mana. Perih dimana-mana, darah mengucur dari telinga membasahi baju yang dikenakannya. Lebam hitam sudah menempel dengan paksa ditubuhnya. Istrinya tak mampu bergerak lagi. Tak ada lagi gerak, tak ada mata yang terbuka, tak ada hembusan nafas, tak ada…. Tak ada…
Setelah penganiayaan berakhir dan tak melihat tanda-tanda kehidupan dalam dirinya lagi. Sang nenek datang atas laporan tetangga.
“nek anakmu nek, dijadikan bola suaminya. Ditendang tending dimangsa kayak hewan. Mati itu nek mati sudah anakmu”.
Begitu cepat langkah nenek menuju rumah anaknya dengan tergesa. Mendapati cucunya bermain sendiri di kereta bayi diluar dengan bubur yang tumpah dimana-mana. Nenek itu menyerahkan bayi itu kepada anaknya satunya lagi.
“sana, bawa kerumahku, sana cepat bawa pergi!!!!!”
Nenek itu nyelonong memasuki rumah anaknya. Mendapati anak wanitanya tergeletak tak berdaya dengan darah di telinganya yang mengucur kebawah, kelantai dan lebam dihampir sekujur tubuhnya. Mendatangi anaknya dan memanggil-manggil anaknya, deraian airmata menetes dengan derasnya.
“bangun nak, bangun anakku, bangun!!”
Sia-sia saja nenek itu.  Memangku tubuh anaknya, dan akhirnya datanglah anak lelakinya, segera saja digendong adiknya yang tergelatak dibawah. Dibawanya menuju rumah sakit dengan segera. Masih tak ada gerak, tak ada hembusan nafas. Akankah dia melihat putrinya lagi, akankan mata itu mampu memandang anaknya yang masih bayi, masihkan ia menyuapi anaknya dengan telaten lagi masihkah….. dan masihkan bertahan hati menghadapi dan menerima sebuah suratan takdir hina ini….

*    Terbuka mata itu
Tiga jam lamanya masih tertutup juga mata itu, nenek dan anak lelakinya menungguinya dirumah sakit. Suami itu datang menanyakan keadaan istrinya tanpa rasa berdosa sedikitpun, tanpa rasa bersalah sedikitpun, tak menyesal sekalipun melihat istrinya yang telah melahirkan putrinya tergeletak tak berdaya di ruang UGD. Melihat menantunya datang sedimikian tenangnya, dan tanpa rasa bersalah membuat hati nenek geram. Yang membuat anak wanitanya terkapar dengan luka lebab dimana-mana. Tak lain tak bukan akibat ulah suami anaknya sendiri. Seorang lelaki yang dipasrahkan tanggung jawab dan dipasrahkan untuk melindungi malah menganiaya dengan kejam. Dengan tonjokan, pukulan dan tendangan tak ubahnya menghajar musuhnya. Namun didepannya ia ialah istri dan seorang wanita lemah yang perlu dikasihi.
“pergi kau biadab, hewan liar macam apa kamu ini? mampu membunuh istrimu sendiri? Apa yang ada didalam otakmu, SETAN!!!”, ucapan demi ucapan keluar mulut sang nenek. Sambil menahan tangis dan membuat bibirnya bergetar, berharap tak menangis dan menangis lagi. Namun usahanya sia-sia. Nenek itu tetap mengeluarkan air matanya tak ubahnya air terjun yang begitu derasnya. Sambil mengumpat dan mengusir menantunya itu dengan caci maki. Anak lelakinya memegangi tubuh yang renta itu,
“sudah buk, sudah ayo masuk”, anak lelakinya berusaha mengelakkan pandangan dari menantunya.
Mata itu perlahan membuka. Sedikit demi sedikit, seakan berusaha melihat dunia ini yang beberapa saat ditinggalkannya. Wajah malaikat kecil itu terngiang dikepalanya, membuatnya memaksa hidup, seakan mampu mengusir sang pencabut  nyawa untuk menunda kematiannya. Dan benar saja, energi sang anakn lah dan doa seorang ibu kepadanya membuatnya bangun dari tidur sementaranya. Yah… mata itu telah terbuka, terbuka dan kembali akan melihat sekitarnya, ibu, anak dan dunia fana’.

*    Makanan pertama setelah kematian sementara
Sesudah matanya terbuka dipagi yang masih buta, masih terdengar suara adzan shubuh kala itu memecah kesunyian. Nenek yang tak tidur semalaman menunggui anaknya, ditemani anak lelakinya yang tidur dirumah nenek dan meninggalkan istri yang sedang hamil muda dirumahnya, untuk menunggui dan menjaga adiknya yang terkapar. Dia memegang tangan ibunya.
“buk, mana Valen? Aku ingin melihatnya”. Pintanya dengan suara payau. Linangan airmata membasahi pipi mulusnya.
“ibuk sudah titipkan pada kakak iparmu, jangan dikuatirkan”
Kakak iparnya, istri dari kakak lelakinya yang sedang hamil muda masih menyempatkan merawat ponakannya yang masih bayi dan membutuhkan perhatian extra. Kakak lelakinya izin pulang karena tak tega meninggalkan istrinya dengan segala kerepotan. Ibunya mengizinkan dan membuatkan bubur untuk dibawa kerumahnya untuk dimakan sang cucu yang dicintainya.
Nenek kembali kedapur dengan segala aktifitasnya. Setelah selesai dengan masakannya, hangat-hangat iya membawakan semangkuk bubur kepada anak wanitanya. Nenek menyuapi anaknya yang bahkan tak mampu memegang sendoknya sendiri. Mengunyahnya dengan perlahan dan menikmatinya. Teringat 22tahun lalu saat tangan itu masih lebih kuat untuk menyuapinya, saat wajah itu masih belum ada keriputnyam saat wajah itu tersungging senyum lebar bersenda gurau dengannya. Dan masih saja ia disuapinya dengan sabar ketika sudah berumah tangga, sudah mempunyai anak pula. Malu dirasakannya, namun tetap saja ia telan bubur itu agar tak membuatnya semakin sedih dengan keadaannya. Melumatnya dan segera mendoronganya menuju kerongkongan agar segera diproses ususnya, dan segera membuangnya, agar terbuang pula kesakitan yang sekarang menimpa dirinya. Untuk yang pertama, setelah pernikahannya masih berumur setahun setengah.

*    Cinta Seketika
Ketika dia bekerja di sebuah perusahaan swasta, kepenatan membuatnya begitu jenuh menerpa. Tak tahan dengan deadline yang menjadi tanggung jawabnya. Dia keluar sebentar menghirup udara segar, mencari kedamaian yang akan merefresh fikirannya. Dan akan kembali siap bekerja. Duduk sendiri ia dipojok café. Memesan segelas cappuccino dan sandwich untuk mengenyangkan perut yang sedari tadi meminta jatah. Beberapa menit pesanan itu datang dibawakan oleh waitress yang begitu ramah padanya. Segera dia menyantap sandwich didepannya. Seakan itu makanan pertama yang dilihatnya setelah sekian lama menahan laparnya. Lelaki bertubuh kurus datang menghampirinya, mengajak berkenalan dengannya. Menemaninya menghabiskan sandwich dan segelas cappuccino yang dipesannya.
“mau nambah? Biar aku yang traktir?”
“tidak, terimakasih”
“Oh ya, aku Ardi. Nama kamu siapa?”
“namaku Ana”
Sambil menjabat tangan dan bersenyum tanda pertemuan yang begitu indahnya.
Lelaki chineese itu mampu menggetarkan hati Ana. Ada apa gerangan ini, aku merasa begitu nyaman dan ingin menjadi sebagian diri itu. Istirahat tak berlangsung selamanya, sebuah kewajiban harus segera ditunaikan oleh Ana. Perpisahannya dengan Ardi tak terelakkan lagi. Namun setelah pertemuan berakhir mereka berdua bertukar nomor ponsel. Dan keesokan harinya janjian disebuah restoran untuk dinner. Sebuah pertemun yang begitu singkatnya oleh sepasang muda mudi yang dimabuk asmara. Dan menganggap cinta adalah segalanya. Pertemuan ketiganya Ana mengajaknya kerumah untuk dikenalkan kepada orang tuanya. Ibuk dan ayahnya masih ada dirumah. Menunggui toko depan rumah yang berjualan aneka kebutuhan rumahan. Kakek yang terbatuk batuk karena sudah senja dan rapuhnya, kaget melihat anaknya pulang membawa seorang lelaki. Sambil diperkenalkannya kepada kedua orang tuanya itu.
“kamu yakin sama pilihanmu nak?” Tanya nenek
“iya buk, saya sudah merasa cocok dengan lelaki itu”
“sudah berapa lama kalian saling mengenal?”
“ehmmmm baru buk tapi Ana sudah cocok dengannya buk. Mohon restuilah”
“berapa lama kalian mengenal”, tanyanya berulang
Dengan terbata-bata, “3 hari buk . . .”
Setelah lelaki itu meninggalkan rumah ayahnya marah-marah. Entah apa yang membuatnya tak menyukai lelaki tampan itu.
“pokoknya aku gak setuju, terserah kalau menikah, tapi tanpa restu dariku”
Ana menuju kamarnya dan mencoba menghubungi Ardi, mengatakan tentang pendapat orang tuanya. Yang menentang keras hubungan mereka berdua. Ana menanyakan keseriusan Ardi. Dan Ardi menyanggupinya. Ardi mengajaknya bertemu pada sebuah tempat yang tak biasa. Di suatu malam yang dingin, mereka berdua akan bertemu disebuah tempat karaoke yang tak biasanya mereka datangi sebelumnya. Ketika Ana tiba. Ardi sudah menunggunya didepan tempat karaoke tersebut.
“kenapa bertemu disini?”
“ayo, masuk. Aku jelasin didalam”
Mereka berdua memasuki tempat karaoke berdampingan. Menuju lounge yang begitu nyamannya. Dan sangat enak untuk dibuat ngobrol. Ana masih saja terdiam. Memikirkan pertentangan orang tuanya kepada Ardi yang baru saja dikenalnya  hari itu dan merasakan cinta seketika.

*    Kuserahkan Mahkotaku
Esok begitu cepatnya, hari dimana Ana tak ingin sekali menemui hari itu. Untuk kali pertamanya Ana takut menemui Ardi, setelah memperbincangkan rencana Ardi agar diterima orang tuanya. Ana pergi ke tempat kerjanya dengan gundah. Tak seperti hari biasanya yang begitu bersemangat. Lolita teman Ana semenjak mereka berdua bekerja dikantor yang sama. Dan menjadi partner yang begitu kompak. Melihat kegundahan di raut wajah Ana.
“An, kamu kenapa? PMS yah?”
“enggak kok Lit”
“murung gitu wajahmu gak biasanya”
Ana tak berbicara lagi. Dan memilih diam. Menunggu waktu yang tepat untuk bercerita kepada Lolita, sahabatnya.
Hari-hari begitu cepatnya, pukul 5 sore kantor tutup dan semua karyawan meninggalkan kertas yang tertumpuk dimeja kerjanya. Lolita menawarkan kepada Ana untuk berjalan - jalan ke mall mengurangi kesuntukan yang dideritanya hari itu. Namun Ana menolaknya dan beralih mengajaknya pada sebuah café. Café dimana tempat pertama Ana dan Ardi saling berkenalan dan bertukar nomor ponsel.
“disini teptnya kami pertama bertemu”
“bertemu siapa An?”
“dia lelaki yang ditentang orang tuaku”
“kamu bertemu lelaki?, siapa dia An?”
“Ardi” jawabnya singkat
“dia kerja dimana?”
“dia punya tempat karaoke di daerah bugenfil, aku sudah diajaknya kesana”
“tapi kamu bukan type orang doyan karaoke”
Ana kembali terdiam.
“aku gak tahu apa Cuma perasaanku, soalnya aku tak mengenal juga lelakimu. Namun aku cuma khawatir dia lelaki nakal dan akan menyakitimu An. Orang tua selalu benar, karena mereka bahkan lebih mengerti dan memahami daripada dirimu sendiri. Merekalah yang sudah mengenalmu selama 22tahun. Jauh lebih mengenalmu bahkan melebihi dirimu mengenal dirimu sendiri” jelas Lolita panjang lebar. Tak kuasa Ana berkata lagi dan hanya mampu melinangkan air matanya. Dan segera ia hapus agar tak terlihat oleh Lolita. Namun sahabat tetaplah sahabat. Bahkan ketika kau merasa berhasil menyembunyikan sesuatu darinya justru dialah yang menyembunyikan telah mengetahui sesuatu itu darimu. Hebat dan ajaibnya sebuah perkawanan. Mampu membuat dunia yang terlihat fana’ ini terlihat lebih indah dan cinta dengan perhatian dan kasih sayang yang saling diberikan.
Beberapa menit terdiam, tak ada suara dan air mata lagi. Lolita merangkul sahabatnya dengan tiba-tiba. Memberikan kenyamanan kepada sahabatnya itu. Dan mengatakan secara tersirat, ‘hey kau tidak sendirian. Masih ada aku yang siap menemani dan membantu dikala kesulitan’
Ana tak berani bercerita mengenai rencananya kepada sahabatya itu, takut dia akan menolaknya dan dilarangnya menemui Ardi. Seperti halnya kedua orang tuanya. Malem menyapa juga. Ana pulang lalu mandi dan berdandan bersiap untuk pergi.
“kemana nak malam-malam begini”
“mau keluar sama Lolita buk”
Dia segera melajukan mobilnya sesegera mungkin, agar tak perlu lagi harus berbohong lagi dan lebih lagi kepada ibunya. Dan segera mengatahui kesiapan malam itu. Apakah berhasil apakah gagal dengan segala rasa bersalahnya kepada orang tuanya dan kepada sahabatnya.
Ana telah menunggu didepan tempat karaoke milik Ardi dan dia sudah bersiap menunggunya didepan. Langsung saja Ardi memasuki mobil Ana dan melaju kencang menuju hotel resort dekat kawasan perbukitan.
Sampailah mereka berdua, dan segera turun. Sedang langkah Ana yang tiba-tiba terhenti ketika memorinya ke flash back. Saat bersama-sama orang tuanya menghabiskan waktu bersama dirumah, entah hanya duduk-duduk bersama atau membuat sesuatu bersama didapur sebagai seorang wanita. Ingat saat diikatkan rambut oleh ibu nya, dipakaikannya baju seragam dan diantarkannya menuju sekolah. semua kenangan masa lampau seakan menyeruak masuk kedalam memori saat itu juga.
“kenapa sayang?” Tanya Ardi ketika mendapati Ana sedang berada dalam masa lalunya
“apa kamu benar-benar yakin?”
“kamu bilang aku harus meyakinkanmu, dan aku sudah melakukannya demi kita bisa menikah”
Tak berubah mimik wajah Ana, seakan masih tenggelam dalam memori masa dulu dan tak kuasa menghianati kedua orang tuanya. Tiba-tiba Ardi memegang punggung tangan Ana. Tanpa kata, tanpa bersura. Namun menyiratkan banyak hal. Meyakinkan lebih dalam tentang keseriusannya yang mampu melelehkan segala kegundahan dihati Ana. Seakan mengusir dengan paksa segala memori yang sedang terngiang dalam benak Ana. Dan mengiyakan semua segala permintaan dan kemauan Ardi. Masuklah mereka berdua di dihotel itu. Ana menunggu di lobby ketika Ardi ke meja receptionist untuk reservasi. Tak lama kemudia Ardi datang kembali dengan membawa kunci. Langkah semakin berat rasanya, namun genggaman Ardi pun makin erat pula. Pintu kamar terbuka mereka berdua segera masuk dalam kamar. Hening sesaat, tanpa fikiran lagi. Hanya setan yang mempengaruhi mereka saat ini, nafsu yang menguasai saat ini. tangan itu mulai menggerayai tubuh Ana. hanya diam Ana tak mampu harus berbuat apa. Kancing itu mulai dibuka oleh Ardi sambil mengecup mesrah kening Ana. setelah itu sudah tak terbayangkan lagi apa-apa yang telah terjadi dan terlakukan mereka berdua. Sadar telah pagi Ana sudah tanpa busana dan hanya diselimuti selimut bersama lelaki disampingnya yang masih terlelap. Ana memandangi seluruh lekuk wajah itu. Benarkah yang ia lakukan semalam? Benarkah keputusannya yang diambil? Benarkah ia lelaki yang kan membuatnya bahagia sampai nanti? Benarkan apa yang dilakukannya keseluruhan atas dasar cinta? Dan benarkah ia tak berdosa menghianati kedua orang tuanya atas dasar cinta yang begitu rekat. Kepada seorang lelaki yang baru dikenlnya di café. Yang menemninya makan siang kala itu. Yang beberapa saat saja sudah mampu meneduhkan hati Ana. yang membuatnya langsung mengiyakan mengambil keperawanannya hanya demi cinta 3 hari saja. Namun semuanya masih belum terlihat. Hanya samar, dan fikiran hanya dipenuhi opini sendiri, yang menguatkan dan sesekali melemahkan harapannya sendiri.

*    Malaikat tanpa sayapku telah pergi
Seminggu setelahnya Ana semakin gusar. Dia selalu melihat tanggal dikalendernya yang sudah diberi spidol merah. Seharusnya ia sudah berhalangan sekarang. ‘ah mungkin nanti atau besok ataukah lusa’, ia coba menenangkan dirinya sendiri. Besok tetap saja tak sesuai perkiraannya. Ia semakin gundah. Tak berani ia ceritakan kegundahannya lagi kepada Lolita. Ana menunggu hingga esok sampai belum juga mendapatkan bulanannya ia akan menceritakannya kepada Ardi. Benar saja dia masih belum mengeluarkan darah menstruasi. Ia mengirim pesan singkat kepada Ardi untuk menemuinya di tempat kerja. Saat pulang kantor nanti. Ardi sudah bersiap menjemputnya ketika jam sudah menunjukan pukul 5 sore. Mereka berdua terdiam dimobil. Sepertinya Ardi sudah mengetahui apa yang hendak diceritakan kepadanya. Selang beberapa menit Ana membuka percakapannya. “sayang…? Aku hamil”, katanya tanpa berbasa basi.
Ardi malah tersenyum gembira, seakan dia sudah sukses mencapai keinginannya.
Berkata lagi Ana, “kita akan segera menikah kan?”
“tentu saja, itu memang tujuan utama kita sayang, kamu jangan kuatirkan masalah itu”
Setelah pertemuannya dengan Ardi sore itu malamnya Ana berniat untuk memberitahukan kepada orang tuanya. Dia sengaja meluangakan waktunya untuk berbicara dengan kepala dingin.
“buk, ayah. Besok Ardi mau melamar”
“kenapa mendadak sekali nak?” Tanya ibunya
Ayahnya yang sedari tadi tak menghiraukan ketika nama Ardi disebut. Sedang abangnya yang ketika itu berada disitu juga diam, tak ikut berbicara. Takut akan memperkeruh suasana.
“ayah, mohon direstui” pintanya sambil berwajah tulus memohon restu ayahnya yang lebih keras hati. Sedang ibunya yang mengelus pundak Ana mengatakan untuk menundanya hingga ayahnya tenang dan bisa dengan ikhlas menerima Ardi sebagai menantunya. Tak tahan dengan acuh tak acuh ayahnya lalu Ana bersimpuh di kaki ayahnya dan mengatakan bahwa dirinya telah hamil dengan Ardi sehingga harus segera dinikahi oleh Ardi. Ayahnya yang kaget mendengar pernyataan anak perempuan itu mendadak kejang dan tak mampu berdiri. Lalu pingsan. Tangis keluarga memecah kesunyian. Dibawanya menuju rumah sakit, ibu Ana dan abangnya menunggu diluar. Ardi menyusul mereka ketika Ana mengabari ayahnya shock ketika diberitahu dirinya hamil. Entah bagaimana harus menyambut calon mantunya itu yang sama sekali tak disukai oleh ayahnya. 3 jam setelah pingsan ayahnya memanggil Ana. ibu beserta abangnya menunggu diluar. Terlihat ayah sedang ingin berbicara berdua dengan anak wanitanya dan menyampaikan pesan terakhirnya.
“ayah telah gagal mendidikmu, sedari dulu sudah ayah wanti-wanti. Merawat anak perempuan seperti berjalan diatas duri. Sungguh menakutkan, dan ini yang selama ini ayah maksudkan. Mungkin setelah ini ayah akan menerima hukuman yang setimpal, akibat ketidakberdayaan ayah mendidik anak perempuan satu-satunya ayah. Jika memang sudah ada janin dalam perutmu segeralah menikah dengan lelaki pilihanmu sendiri. Jika sudah tak lagi ada ayah disampingmu. Cobalah tegar dengan segala apa yang terjadi, nanti…”. Sudah setelah itu tertutuplah mata yang damai itu.
Sekarang semua wanti-wantinya hanya tinggal kenangan. Asbak dan kopi dimeja makan sekarang hanya tinggal bekasnya. Semua keluarga tertunduk mengheningkan doa. Kepada sang ayah, yang pergi sambil meratapi kegagalannya



*    Impian Bidadari Kecilku
Valen sudah menginjak kelas TK, sudah mengenakan seragam, sepatu dan tas yang lebih besar daripada dirinya. Ibunya mengantarnya kesekolah sambil membawakan bekal untuk ia makan saat istirahat. Mengantarnya menuju kamar kecil ketika dalam kelas tiba-tiba saja Valen ingin buang air. Selalu begitu, menemani putri kecilnya, dan mendampingi menuju dewasa. Setelah itu kembali kekelasnya dengan berlari kecil, menandakan bahagianya masa kecil bagi Valen. Menemui dan bermain dengan teman-teman sebayanya. Masa-masa kecil memang moment yang tepat untuk bertanya kepada anak kecil mengenai hal apapun itu. Karena bagi mereka adalah semuanya masih murni, tanpa dusta dan maksud apapun. Mereka hanya menjawab dan memperumakannya dengan hal yang mereka pikir itu sesuai. Datang bu Lely, guru kelas TK yang juga mengajar Valen. Semuanya diminta maju sambil menyampaikan terimakasih kepada ibu, dan semua murid ditanya mengenai cita-cita mereka dimasa depan. Tibalah giliran Valen untuk maju. Dia sangat antusias menyambutnya.
“nah Valen sekarang Valen bisa mengucapkan terimakasih kepada ibunda”, pinta Bu Lely
“terimakasih bunda”, dengan nada dan pancaran mata yang begitu ikhlasnya dan mencerminkan kehidupan surga.
“bagus sekali, sekarang Valen bercerita, Valen pengen jadi apa nanti kalau udah besar?” lanjut lagi pertanyaan bu Lely
Valen diam sejenak sambil memikirkan sesuatu, untuk anak sekecil itu berfikir adalah hal yang luar biasa, kebanyakan dari mereka segera saja menceploskan apa saja yang ada dalam benak mereka. Ingin jadi dokter, guru, , pilot dan sebagainya. Impian masa kecil yang masih sangat awam.
“aku ingin jadi suami ibu, karena aku ingin membahagiakan ibuku dan membuat senyum di pipinya bukan air mata”
Semua yang ada di ruangan itu terharu mendengarnya tak terkecuali ibu Valen, sambil menitikkan air matanya dan memeluk anak semata wayangnya.


*    Dimana suamiku???
Sudah semakin sering suaminyanya pergi pagi dan pulang pagi harinya lagi. Sampai Ana hilang kesabaran dan menanyakan kepada suaminya itu. Pada suatu pagi ketika baru saja Ardi pulang. Ana tak langsung menghapirinya dia membuatkan segelas kopi untuk mencairkan suasana.
“ini mas kopinya”
Ardi tak serta merta membalasnya dengan ucapan terimakasih, bahkan sesungging senyum saja enggan ia lontarkan kepada istrinya sendiri. Lalu Ana membuka percakapannya. Duduk disebelah suaminya. Ketika pagi masih buta, ketika Valen masih dalam alam mimpinya.
“mas kenapa selalu pulang pagi? Tak baikkah aku untukmu sehingga tak ingin kamu melihat dan bercanda bersama-sama kita. Aku dan Valen. Anakmu”
Tak langsung menjawab Ardi, malah melengos tak menggubris Ana, istrinya. Ana tetap saja mendekati suaminya, agar suaminya mau dan berbalik memeluknya. Memberikan ketenangan lagi seperti pertama bertemu, seperti cinta 3 hari itu. Namun semua hanya angan kosong belaka tak senyuman dan pelukan yang didapatnya. Namun tamparan yang melayang keras dipipinya yang justru menjadi santapan paginya. Tak hanya itu saja yang didapat oleh Ana, namun bonus datang padanya. Diguyurkan kopi panas dimeja tepat di muka. Panas tak tertahan sehingga Ana langsung saja menuju kamar mandi. Utuk membasuh mukanya dengan air dingin. Valen yang melihatnya sambil mengintip segera saja digendong ayahnya dan diajaknya keluar tanpa berkata apa-apa pada ibunya.
Ana yang keluar dari kamar mandi dan tak mendapatinya putrinya dikamar tidur merasa panik, mencari kesana kemari namun tak kunjung menemukannya. Akhirnya ketika dia memutuskan keluar rumah barangkali valen keluar bermain lalu dia diberitahu tetangganya bahwa Valen digendong ayahnya keluar menaiki mobil. Dalam hati ia bertanya. Kemana hendak diajak Valen pagi - pagi buta begini, terbesit fikiranya yang macam-macam dan semakin membuatnya takut sendiri. Akankah valen dijualnya keluar negeri? akankah Valen dibunuh ditengah jalan? Akankah Valen dijatuhkan kejurang? Dan berbagai mungkin yang semakin membuatkan menangis dalam kesendirian pagi. Tak mandi, tak masak dan tak melakukan apapun lagi kecuali berkutat dalam fikirannya. Sampai siang hari Ana mondar - mandir karena tak tahu harus mencari kemana. Tiba-tiba saja suara mobil itu samar terdengar. Senang mendengar derit langkah kaki yang sangat dikenalnya. Valen. Putri semata wayangnya yang sedari pagi dinantinya. Langsung dipeluk dan dikecupnya anak kecilnya itu. Sedang Ardi yang telah membawanya tanpa sepengetahuan Ana tak merasa bersalah sedikitpun bahkan wajahnya terlihat merona dan bahagia. Entah apa yang telah dilakukannya bersama putri kecilnya. Yang jarang diajaknya keluar untuk berjalan-jalan. Malam tiba, pertanyaan Ana masih terngiang dikepalanya dan mengharap untuk segera dikeluarkannya. Dia menemui suaminya yang akan bersiap keluar.
“mas kamu ajak Valen kemana pagi tadi?”
“mau tahu urusan orang aja”
“Valen anakku mas, dia darah dagingku. Tak apa tak kau anggap aku ini istri sah mu dan memilih istri simpananmu tapi jangan harap kau bisa menyakiti valen sepertiku”
“tahu apa kau soal simpananku?”
“berarti benar kan kau punya simpanan?”
“kalau iya kenapa? Toh aku tak merepotkanmu”
“tapi tolong hargai aku walaupun sedikit mas. Aku ini masih istrimu”
“aku sudah muak denganmu”
“kenapa kau begitu tak adil padaku mas”
“yah seperti tak adilnya ayahmu yang selalu membenciku tanpa sebab. Dasar tua bangka. Untung sudah di neraka”
Tiba-tiba layangan tamparan keras menuju pipi Ardi.
“sudah semakin kelewatan kamu mas, sudah tak patut kau kusebut suami lagi. Sudah. Kita akhiri saja. Jika selama ini aku masih berdiam dan selalu setia, namun setia pada akar yang salah. Kau ceraikan saja aku”
“kau pikir semudah itu. Aku akan membuatnya lebih sulit bagimu”
Lalu Ardi pergi meninggalkan Ana yang bersimpuh dengan kekesalannya.
Ana menelepon sahabatnya Lolita dan meminta bertemu disebuah restoran di ujung kota. Setelah menunggu beberapa saat Lolita telah terlihat batang hidungnya. Perutnya membuncit karena 7 bulan lalu setelah pernikahannya bersama teman sekantornya.
“maaf lama An, aku tadi nyiapin makan malam buat suami dulu”
“kenapa suamimu gak ikut?”
“dia dirumah ada yang harus dikerjakan, dan katanya ingin membiarkan kita berdua lebih intim bercerita saja”
“makasih Lit udah mau nemenin aku”
“ngak papa, oh ya ada apa sama Ardi An? Dan anakmu dirumah sama siapa?”
“anakku udah tidur mangkanya aku berani tinggal”
Ana menceritakan semua kejadian dari awal, dari segala hal mengenai pertentangan orang tuanya mengenai hubungan mereka dan melakukan hubungan suami istri sebelum nikah. Tak terasa sudah 2 jam lamanya Ana bercerita dan semakin membuat sahabatnya itu tercengang. Tak tahu apa yang harus dikata dan disarankan. Karena semua sudah terlambat dan nasi pun sudah menjadi basi. Tak dapat dimakan lagi, diolah lagi dan diperbaiki lagi. Benar - benar sudah basi hingga berbau busuk pula. Tak ada lagi percakapan seketika itu selain pelukan hangat yang biasanya diberikan oleh seorang sahabat.

*    Jatuh Bangkrut
Masih dengan pagi yang sama, suasana yang sama dan sarapan yang sama. Perlakuan suami terhadap istri tak ubahnya bagai seorang pembenci dan musuh dalam satu atap. Namun pagi ini berbeda. Suaminya lebih diam dan tak lebih kasar. Namun hanya bertahan beberapa menit saja lalu berubah menjadi serigala liar lagi. Ana dipanggilnya dan didudukkannya dia dipangkuannya. Aneh dan tak biasa. Pertanda apakah ini bagi Ana. namun dia tetap memberikan sesungging senyum manisnya. Berharap pagi ini ada dan seterusnya tetap ada. Tak berkata dan hanya merasa. Keintiman mereka berdua yang sudah lama diidamkannya. Lalu Ardi membuka percakapannya. “gantikan aku dan bekerjalah”
Bagai tersambar petir Ana mendengarnya.
“maksud kamu apa mas?”
“karaokeku ditutup dan aku sudah tak berpenghasilan lagi”
Ana tak memberikan jawabannya dan bingung tak menentu. Dan ekspresi seperti itu yang semakin membuat suaminya kesal padanya. Langsung dibantingnya Ana ke lantai dan ditendang perut bagian bawahnya. Ana menangis kesakitan dan tak tahu lagi. Baru saja dia merasakan keharmonisan dan berharap selamanya namun sudah dipatahkan dengan tendangan itu lagi. Lalu suami meninggalkan dia. Kembali ke pagi-pagi sebelumnya.
Ana pulang kerumahnya dan berharap mendapat pinjaman dari ibunya. Ia berbohong kepada ibunya, dia berkata pinjaman uang itu untuk modal membuka toko. Agar dia berpenghasilan sendiri dan mempunyai rutinitas sendiri. Setelah ia mendapat uang dari ibunya dia segera pulang. Didepan rumah Ardi sudah menantinya dan mengambil semua uang ditas Ana. Entah tak tahu buat apa uang itu digunakan. Ana hanya berfikir itu untuk modal suaminya lagi agar memulai bisnis barunya. Namun seminggu setelah itu Ardi menyuruhnya untuk meminjam uang lagi kepada ibunya.
“bukankah uang kemarin sudah kau gunakan mas? Memang kau buat apa uang itu?”
“aku buat seneng-seneng aja” jawabnya enteng
“tega sekali kau mas, aku sudah berbohong kepada ibuku namun kau buat foya-foya saja uang itu”
Tamparan keras menghampiri pipinya, “kau pikir aku enggak stress? Aku perlu sesuatu penyegaran sebelum memulai lagi bisnis baru. Tolol, idiot”
Cacian dan perlakuan yang begitu panasnya. Semakin membuat Ana kalut dengan semua masalah keluarga yang kalut dan tanpa arah.
Kebangkrutan suaminya yang masih bertahan hingga setahun terakhir ini. dan setahun ini Ana berusaha sendiri memenuhi kebutuhan dapurnya. Dengan ikut kerja di laundry milik temannya. Sedang suami yang hanya mengambili uang gaji Ana hanya untuk berfoya-foya. Suatu pagi Valen yang sudah menginjak SD meminta ibunya untuk membayar uang sekolahnya. Dia pun menjual semua perhiasannya untuk melunasi uang sekolah Valen setahun kedepan agar tak terlihat sedikit beban yang menghimpitnya. Namun sesampainya dirumah uang itu sudah dirampas suaminya sendiri. Berkali –kali ia jelaskan uang itu untuk sekolah Valen namun percuma saja. Bagai mengomel pada tembok yang begitu tebalnya tak akan mendengar apalagi mencerna kata-kata itu. Entah dimana letak nuraninya seakan sudah terkubur dan hanya nafsu tersisa.

*    Kepergian ibuku
Hari-hari yang begitu mendung. Berharap sang mentari datang menyapa. Berharap sang pelangi datang menghibur. Berharap sang aurora datang menenangkan. Namun yang datang justru petir yang begitu dahsyatnya. Sesuatu yang berat dirasanya. Sudah menjadi yatim piatu sekarang seorang Ana. seorang istri yang masih berusaha setia pada suami yang menindasnya. Suami yang memperlakukannya tak ubahnya binatang tercela. Sehari setelah pemakaman ibunya dia bersimpuh duduk di rumahnya. Masuk kamar dan mengenang ibunya. Ibu yang telah dibohongi dan belum sempat ia meminta maaf atasnya. Setahun berlalu begitu beratnya dengan suami yang semakin tercelanya. Datang mabuk. Datang minta uang. Datang marah-marah. Dan datang sambil memukul. Sudah dua tahun tak terpenuhi kebutuhan seorang istri. Kebutuhan lahir batin. Bahkan batin yang hanya tersiksa disepanjang hari. Hubungan yang digantungnya selama dua tahun terakhir akhirnya dia meminta perolongan Lolita, sahabatnya. Agar membantu menggugat cerai suaminya. Dan benar saja. Banyak kendala dan liku hingga palu benar-benar diketok.
Telah menjadi orang tua tunggal ia sekarang. Diusir dari rumahnya dan sama sekali tak membawa apa-apa. Rumah yang dulu ditempati ibunya sekarang sudah beralih tangan ke orang lain. Harus kemana ia pergi. Ana ingin menemui abangnya yang setahun terakhir dilihatnya. Merasa malu jika ia bersandar padanya. Abangnya pun sudah memiliki keluarga sendiri. Istri beserta seorang anak.
Dia terus berjalan dan menyusuri tempat dimana ia bisa tinggal bersama seorang Valen yang digandengnya. Dan tak banyak tanya seakan Valen sudah sangat paham akan keadaan seperti ini. malam begitu dinginnya dengan perut keroncongan yang melilitnya. Ana mengajak anaknya tidur disebuah pos yang tidak ada orangnya. Dipangkunya Valen dan terlelaplah mereka berdua karena saking capeknya berjalan. Malam itu begitu kerasnya. Tak ada kasur, bantal bahkan selimut. Kehiduan yang 180% berbalik arah menyerangnya. Namun untung saja masih tersisa harta paling berharga didunia. Yang menyemangati dan membuatnya bertahan. Anaknya
Malam itu dia bermimpi, bertemu ayah ibunya disebuah taman yang begitu indahnya, ditemani pelangi, dan cahaya menyejukkan. Cahaya yang tak ia dapatnya dikehidupan nyatanya. Tak berkata apa-apa kedua orang tuanya. Hanya membiarkan Ana tersimpuh dipangkuan ibunya dan terlelap dengan tenangnya.
Kehidupan masih menunjukan kekejamannya. Seharian penuh tak kunjung mendapat pekerjaan yang layak dan bahkan tempat tinggal. Akhirnya dia menghubungi abangnya. Berharap pertolongan dari abangnya. Merasa iba akhirnya abangnya memberikan rumah kontrakannya untuk ditinggali Ana bersama putrinya, yang juga keponakannya itu. Sambil berjualan nasi uduk didepan rumahnya. Agar keperluannya bisa ia tanggung sendiri dan juga bisa melanjutkan sekolah bagi anaknya. Kehidupannya berjalan begitu hambarnya. Bangun pagi-pagi buta sudah bersiap dengan toko kecilnya didepan rumah. Yang dibantu anaknya. Dan sepulang sekolah Valen sudah membantu ibunya tanpa melupakan tugasnya sebagai seorang pelajar. Hingga Valen lulus sekolah dasar semua masih sama. Sama merasakan tersiksanya. Sama dengan kehidupan pahitnya. Dan sama dengan harapan baru yang akan datang menyapa.

*    1 hari, 1bulan, 1tahun, 1abad telah kulewati
Valen sudah tumbuh mnjadi wanita dewasa. Dan ibunya sudah pula mengalami perubahannya. Rambut yang memutih dan kerut di pipi yang semakin terlihat dengan jelasnya. Masih setia dengan toko depan rumahnya untuk keperluan sehari-harinya. Ana sudah akan mendaftar perguruan tinggi. Namun ia sama sekali tak mengutarakan hal itu pada ibunya. Dia mencari sendiri peluangnya agar tetap bisa melanjutkan pendidikannya dan membuat ibunya bangga. Dia masih membantu ibunya berjualan nasi uduk setelah pulang sekolah. tak ada yang indah dimasa SMA Valen selain hanya berkutat pada buku dan buku. Tak herang ranking pertama masih saja menjadi langganannya. Pada suatu pagi Valen bersiap hendak keluar, dia bilang pada ibunya dia akan melamar kerja. Benar saja valen memang melamar kerja pada sebuah perusahaan swasta sebagai marketing. Dan ia tetap berusaha agar tetap bisa masuk perguruan tinggi yang diidam-idamkannya. Setelah pekerjaan ia dapat dia sudah mulai bekerja seminggu setelahnya.
Pagi masih membantu ibunya siang ia berkerja dan malamnya dia pergi kekampusnya. Ia jalani hingga lulus S1 psikologi. Setelah diharuskan kuliah lagi setahun bidang yang sama agar bisa membuka praktek sendiri ia tak ambil. Karena ia sudah memutuskan untuk mencari pekerjaan dengan ijazah S1 nya. Yudisium sudah ia lewati. Wisuda sudah menanti didepan matanya. Ia mengatakan kepada ibunya agar segera berganti pakaian rapi dan diajaknya disuatu tempat. Terkaget ibunya setelah anaknya mengajaknya pada acara wisuda anaknya. Karena ia sama sekali tak tahu menahu bahwa anaknya diam  diam telah kuliah selama ini, ia hanya berfikir anakya bekerja. Bahagia bercampur tangis haru menyelimuti keduanya. Inillah harapan yang selama ini ditunggunya, harapan yang menjadi nyata di detik-detik penghujung kehidupannya. Sehari setelah itu Ana pergi dengan tenangnya. Dan belum sempat ia melihat putrinya dipelaminan bersama lelakinya. Tentunya lelaki yang bukan seperti ayahnya. Lelaki tekun dan berbudi luhur dengan tanggung jawab besar kepada Valen.

*    Valen,”ibuku .. meski kau t’lah tiada, hadirmu selalu dalam anganku..”
Valen sudah mendapat pekerjaan yang mapan, dan bertemu seorang pria yang akan meminangnya. Hingga cincin yang melingkar dijari manis Valen akhirnya Valen mengajak calon suaminya ke makam ibunya. Membawa satu keranjang bunga dan mengirim doa untuk ketenangan ibunya dialam sana.
Seorang ibu yang begitu berartinya bagi seorang Valen, yang kuat dan tahan banting terhadap apapun ujian didunia ini. Mencoba menghadapi bukan mengeluh. Mencoba bertahan meski rapuh. Mencoba mencari - cari harapan dikala pilu. Setahun setelah kedatangannya dimakam itu Valen datang lagi ke makam ibunya. Namun sekarang ia tak sendirian. Digandeng seorang anak yang lucu di sisi kirinya.
“lihatlah bu, cucumu begitu ingin mengenalmu. Dia sangat manis bukan? Dia begitu suka mengompol bu. Sayang ibu tak sempat menggantikan popoknya untukku. Suamiku sedang bekerja bu. Kita akan pergi berlibur lusa. Aku harap ibu bisa pergi bersama kami. Aku bahagia bu. Terimakasih sudah menghadirkanku didunia ini. terimakasih telah bertahan membesarkanku dengan segala rintangan bu. Terimakasih sudah pernah ada dikehidupanku. Dan mebuatku sekuat ini. terimakasih bu”
Setelah membacakan surat yasin dan putri kecilnya hanya melihat apa yang ibunya lakukan datang seorang wanita bersama seorang lelaki. Menghampiri dan berpelukan sambil melinangkan air matanya. Sahabatnya, Lolita pun turut mengirim doa untuknya. Sang wanita pejuang yang telah tiada







Tidak ada komentar:

Posting Komentar