My
real love
Seorang
gadis duduk sendiri ditaman sekolahnya. Murid lainnya sedang berlalu lalang
didepannya sambil membawa makanan dari kantin. Jam istirahat masih 10 menit
lagi, dia masih saja belum beranjak dari duduknya. Tiba-tiba temannya datang
menghampirinya. Tari namanya. Tari menjadi temannya semenjak dia memasuki
Sekolah Menengah Pertama .
“Sev,
kekantin yuk”, ajak Tari
“ayo”
dia langsung mengiyakan ajakan temannya itu.
Mereka berdua berjalan menuju kantin, dan langsung menghabiskan makanannya di
kantin. Setelah mereka menghabiskan makanannya bel masuk berbunyi, mereka
berdua segera masuk ke kelasnya.
Sevia
menjadi murid teladan di Sekolahnya tak jarang kebanyakan guru dekat dengannya,
sedang Tari dia agak cuek terhadap pelajarannya, kecuali mata pelajaran tata
boga, pelajaran memasak yang hanya diperhatikannya, namun rankingnya yang masih
masuk 10 besar tak menjadikannya kecewa.
Setelah
pelajaran ketiga semua guru rapat sehingga semua murid kegirangan dan langsung
berhamburan keluar kelas, tak terkecuali Sevia dan Tari.
“Tar, ke
perpus yuk”, ajak Sevi
“kamu itu
tipe-tipe murid rajin banget, kita harus manfaatin pelajaran kosong ini dong.
Jarang-jarang kan Sev”, elak Tari
“ini aku
lagi mencoba memanfaatkannya” jawabnya
“arrgghhh
kamu ini Sev, sekali – kali jangan ke perpus mulu dong mainnya…”
“yauda aku
sendirian aja deh”. Sevi langsung aja nyelonong meninggalkan Tari yang masih
mengomel dibelakangnya. Melihat Sevi meninggalkannya segera saja Tari
menyusulnya
“eh..eh
tunggu Sev, iya aku ikuuuttttt!!!”.
Akhirnya Tari membuntuti Sevi dibelakangnya
juga. Kelas mereka berdua berada dibelakang karena mereka masih kelas 2 SMP
sehingga menjadikan mereka harus berjalan sekitar 5 menit menuju ruang perpus
yang berada didepan bersebelahan dengan ruang guru. Sevi langsung memasuki
ruang perpus ketika sampai di depan, begitupun dengan Tari dia segera memasuki
ruang perpus. Meskipun Tari tidak terlalu suka membaca seperti Sevi tapi ada
yang membuatnya betah juga di perpus, yaitu membaca majalah memasak yang
tersedia di perpus.
“aku kesana
dulu yah Tar. Kamu mau ikut?” kata Sevi
“pasti mau
ke etalase buku – buku tebel itu kan?”
“ensiklopedia”,
Sevi membenarkan
“iya itu,
lihat bukunya aja udah pusing Sev”
“yauda aku
kesana dulu ya”
Lalu Tari
segera menghampiri rak buku yang berisi novel –novel, karena Tari
menyembunyikan majalah masak yang disukainya di jajaran novel, agar tak
ditemukan dan dipinjam siswa lain. Jika sudah memegang majalah memasak Tari
langsung asik dengan bacaannya sendiri, menghafalkan semua resep yang dibacanya.
Berbeda dengan Sevi yang doyan membaca buku – buku ensiklopedia juga bacaan
berat lainnya. Seperti novel karya Dan Brown dan penulis lainnya. Atau sekedar
membaca novel teenlite untuk merefresh fikirannya.
Setelah Sevi
sudah usai membaca ensiklopedia dia mengajak Tari untuk balik ke kelasnya.
Mereka berjalan sampai didepan ruang perpus tiba – tiba seorang cowok berjalan
berpapasan dengannya. Murid kelas 3 yang memiliki wajah yang tampan yang
menatapnya selama mereka berpapasan. Sevi sama sekali tak memperhatikan cowok
tadi.
“eh Sev, kamu dilihatin terus tuh sama kak
Iwan”, kata Tari
“hemm,
siapa?”
“cowok yang
tadi didepan perpus ituloh, dia ngeliatin kamu terus”. Sambil terenyum menggoda
“masak sih,
kamu kenal dia emangnya?”
“ dia cowok
cakep yang banyak disukai semua cewek loh disekolah ini”, jelasnya
“ohh”,
jawabnya singkat
Jam kosong
masih berlangsung hingga pulang sekolah, pukul 12 siang. Ketika staff kantor
sudah memencet bel 3 kali tanda pulang semua siswa berhamburan dan segera
pulang. Parkiran sudah ramai sejak sebelum bel berbunyi. Sevi dan Tari menuju
parkiran sekolah, mereka berdua menaiki sepeda ontel setiap harinya. Sampai
didepan gerbang sekolah, Sevi melihat lagi cowok yang ditemuinya didepan perpus
tadi. Tari berbisik pada Sevi memberitahukan cowok tadi,
“sssttt Sev,
itu cowok yang tadi”
“mana??? aku
gak lihat”, elaknya, padahal jelas – jelas cowok tadi tepat didepannya.
Sesampai
dirumahnya Sevi langsung berganti pakaiannya, mencuci kakinya lalu makan.
Ketika selesai makan dia menuju kamarnya dan sudah siap dengan lembaran –
lembaran matematika yang akan di kerjakannya. 10 menit dia masih menjawab 2
soal saja, karena penghitungannya membutuhkan berlembar-lembar kertas untuk
menghitung. Tiba –tiba Tari sudah berada di depan kamarnya dan mengetok
pintunya.
“Sev kamu
didalam, ibu kamu nyuruh aku langsung masuk aja”, teriaknya dari luar
“masuk aja
Tar”
“kamu
ngapain?” keluar yuk ke taman”, ajak Tari
“kamu itu
main - main aja, sekali-kali belajar napa”
“kamu yang
belajar terus, sesekali main- main napa”, balas Tari
Sevi tak
menggubrisnya dan masih terpaku pada soal didepannya
“oh ya soal kak
Iwan, apa kamu gak suka sama sekali sama dia?” Tanya tari penasaran
“emm gimana
ya…” Sevi masih memikirkan perkataan Tari
“dia kan
cowok ganteng mustahil kamu sama sekali gak meliriknya Sev”
“masih
gantengan juga Nicole Cage”, canda Sevi
“kamu
itu,serius dikit napa”
“kamu juga
Tar, belum pernah aku lihat kamu pacaran sampai detik ini”
“lho lho kok
jadi bahas aku sih”
“emang bener
kan, hahaha”, ledek Sevi
“kalau emang
aku ketemu cowok yang suka aku dan nyatain perasaannya ke aku yah aku terima aja
Sev”, jawabnya
“masih suka
sama Aldo?”
“kalau itu
gak usah ditanya Sev, sejak SD aku masih nungguin balesan suratnya”, lalu Tari
terdiam sesaat, mengenang masa SD nya,
Waktu itu
Tari masih di kelas 5 SD dan Aldo menjadi teman sekelasnya sekaligus teman
sebangkunya. Aldo cowok yang ditaksirnya adalah murid pindahan dan sejak saat
itu dia dekat dengan Aldo, karena Tari menjadi teman bertanyanya ketika Aldo
membutuhkan bantuannya. Sampai semester berakhir rasa suka mulai muncul antara
Tari dan Aldo, akhirnya Tari memutuskan untuk memberikan selembar surat cinta
kepada Aldo, karena waktu itu masih belum popular hp seperti sekarang ini. dia
menuliskan surat itu sudah sejak bertemu dan menjadi teman sebangkunya namun
Tari baru berani memberiknnya ketika
lulus SD, dan dia masih menunggu balasan surat itu sampai 2 tahun terakhir ini,
tragisnya ketika lulus SD dan masuk SMP Aldo sudah kembali lagi ke kota asalnya
menjadikan Tari susah untuk mencarinya apalagi menemuinya.
Tari masih
saja bernostalgia dengan cinta monyetnya di jaman SD
“HEYY! Kamu
ngelamun yah Tar”, Sevi mengagetkannya
“kalau kamu
yakin sama cinta monyetmu, kalian bakal ketemu kok. Percaya deh”, hibur Sevi
“mangkanya
biar aku gak sedih lagi temenin aku ke taman yah, nanti kita beli ice cream
disanaa, yah yah”, ajak Tari
“yauda deh
aku temenin, tapi nunggu aku selesaikan satu soal lagi yah, tanggung nih”
“yauda
buruan”
Tak sampai 5
menit Sevi usai mengerjakan satu soal lagi, dan mereka berdua menuju taman
dekat sekolah mereka sambil menaiki motor Tari. Hari itu mereka saling
menghibur satu sama lain, meskipun kebanyakan menghibur Tari yang masih terpaku
pada cinta monyetnya. Hari sudah semakin gelap mereka berdua memutuskan untuk
segera pulang.
Pagi hari
pukul setengah tujuh. Ibu Sevi sudah berusaha membangunkan Sevi dari jam 6 pagi
namun Sevi masih saja belum bangun, sedang kamarnya dikunci menjadikan ibunya
tak bisa masuk dan membangunkannya secara langsung.
Ketika dia
menyadari hari sudah semakin terang dia kaget dan segera beranjak bangun.
“ibu aku gak dibangunin, jadi telat nih?”
“udah ibu
ketok dari tadi nak, kamunya aja yang gak bangun – bangun”
Sevi masih
saja cemberut dan segera masuk kamar mandi, tak sampai lima menit dia sudah
keluar dan buru-buru memakai seragam biru putihnya.
“mangkanya
besok-besok kamarnya gak usah dikunci”, saran ibunya
“iya bu Sevi
berangkat dulu”, sambil mencium tangan ibunya dan meminta uang saku
“kamu gak
sarapan dulu?” ibunya juga sambil memberikan uang 10ribu kepada Sevi
“enggak bu
udah siang”
“setidaknya
minum dulu susu nya, udah ibu siapkan”
Lalu Sevi
segera menghabiskan susunya dan segera mengambil sepedanya dan mengayuhnya
dengan cepat. Ibunya hanya tersenyum melihat putrinya yang terburu- buru itu.
Dan melanjutkan lagi memasaknya.
Sesampainya
disekolahan telat sudah tak terelakkan lagi, dia berdiri bersama jajaran muid
yang telat hari itu. Salah satunya adalah Iwan. Ini adalah kali pertama bagi
Sevi berdiri dilapangan dan membersihkan seluruh sampah diarea sekolah sebagai
hukumannya. Ketika dia sedang membersihkan area kantor dan depan koperasi siswa,
Iwan membuntutinya.
“heh kamu?”
“aku??
Kenapa?” jawabnya jutek
“kamu gak
pernah telat yah sebelumnya?”
“ngapain
juga telat kalau bisa berangkat lebih awal”
“tapi kan
sekarang kamu telat juga”
“yah urusan
aku, sana bersihin yang disebelah sana”, perintah Sevi kepada Iwan sekaligus
mengusirnya
“besok telat
lagi yah”, goda Iwan
Sevi tak
menggubrisnya dan masih terus saja membersihkan sampah yang berserakan. 30
menit hukuman pun usai, mereka semua kembali kekelasnya masing-masing.
Tok tok
tokk..”maaf pak telat”, sambil terengah - engah karena Sevi berlari menuju
kelasnya
“iya Sevi
silahkan masuk, dari mana saja kamu?” Tanya Pak Rudi guru Geografinya
“tadi
terlambat pak, disuruh bersihin lapangan dulu”, jelasnya
“yauda buka
LKS kamu, kita bahas PR kemarin, kamu jawab nomor 3”, perintah pak Rudi kepada
Sevi.
Setelah 1
jam setengah, jam pelajaran geografi usai. Ketika dia ingin keluar dan menuju
kantin seorang cowok sudah menunggunya diluar sambil membawakan segelas botol
coca cola.
“nih, kamu
haus kan?” Iwan memberikan minumannya pada Sevi
“enggak kok,
aku Cuma laper aja”, bohongnya
“sudah aku
duga, ini aku bawa roti juga”, sambil cengar cengir kepada Sevi
Sevi yang
enggan menerimanya akhirnya menerima pemberian Iwan juga.
“makasih
ya”, lalu dia pergi meninggalkan Iwan menuju kantin sekolah. Dia bertemu dengan
Tari yang sudah dulu dikantin bersama Irma, teman sekelasnya juga
“eh roti
dari siapa tuh?” Tanya Irma
“kamu mau?”
“enak tuh”
jawab Irma
“nih buat
kamu”
Sevi
menyerahkan roti itu kepada temannya. Dia sendiri membeli makanan sendiri
dikantin sekolah, dan memesan 3 gelas sekaligus es jeruk karena saking hausnya.
Dia menghabiskan 2 gelas pertama bahkan tanpa jeda, sekaligus dia habiskan
dengan sekali sedot. Ketika dia sudah berada di gelas terakhirnya seorang cowok
mengagetkannya dari belakang.
“gak haus
tapi udah habis dua gelas sekaligus”
“kamu,
ganggu aja” jawabnya ketus
“nih….” Iwan
menyerahkan kembali coca cola yang tadi ditolaknya, namun dia tak lagi bertanya
pada Sevi dia langsung menaruh botol coca cola dimeja Sevi dan meninggalkannya.
Mau tak mau Sevi meminumnya meskipun dia sudah sangat kenyang dengan tiga gelas
minumannya sendiri.
Hari itu
sangat melelahkan buat Sevi, sesampainya dirumah dia langsung tertidur
dikamarnya.
Titt
tittt….. tittttt…. Hapenya berbunyi dari tadi, namun Sevi masih enggan
mengangkatnya
Titt..tittt.tittt…
nada dering berbunyi terus menerus, mebuat Sevi akhirnya melihat layar
handphone nya. ‘nomor siapa ini’? tanyanya dalam hati
Muncul nomor
tak dikenal dilayar hp nya, dia berfikir dua kali untuk mengangkatnya, namun
karena hp nya terus berbunyi dia memutuskan untuk mengangkatnya saja
“halo, ini
siapa?” sapanya
“kamu udah
sampai rumah?” Tanya seseorang dari ujung telepon
“kamu dapet
nomorku dari mana?” mendengar suaranya membuatnya langsung menebak siapa yang
telah meneleponnya.
“tahu aja,
kamu belum jawab pertanyaanku”
“kamu juga
belum jawab pertanyaanku”
“aku minta
sama Tari, giliran kamu yang jawab”
“udah”,
jawabnya singkat
“yaudah,
jangan lupa makan sama istirahat”, kata Iwan memberi perhatian
“makasih,
aku bisa urus hidupku sendiri” jawabnya masih saja jutek
“iya aku
tahu kamu gadis yang cerdas”, pujinya
“aku tutup
dulu, mau belajar”, Sevi mengakhiri pembicaraannya
“iya aku tau
kok”
Tutttttttttttt…..
berhentilah pembicaraan mereka melalui telepon selular.
Keesokan
paginya Iwan sudah menunggunya diparkiran sekolah sambil duduk diatas
sepedanya. Sevi yang melihatnya langsung saja menaro sepedanya dan nyelonong
kekelasnya.
“eh Sev,
kamu gak lihat ada orang disini ya, nyelonong aja kayak setan”, berkatalah iwan
“enggak tuh”
lalu Sevi segera melanjutkan jalannya menuju kelasnya
Sevi
langsung saja meletakkan tasnya di bangkunya dan meninggalkannya, karena dia
terburu-buru ingin buang air ke toilet, sedang kelas masih sepi dan belum
banyak anak. Ketika dia kembali lagi dan membuka buku pelajarannya untuk
membaca mata pelajarannya dia menemukan selembar kertas dan sebatang cokelat
yang dibungkus sangat rapi dengan pita berwarna pink yang melingkar di tubuh
cokelat batangan itu. ‘dari siapa ini’
batinnya
Perlahan dia
membuka secarik kertas yang terlipas rapi.
“dear
Sevia
Namamu
begitu indah
Namun tak
seindah parasmu
Kau bagai
metari dipagiku
Bagai
bunga ditamanku
Bagai
cahaya digelapku
Bagai
rembulan disedihku
Yang
mencerahkan hatiku
Menyinari
dengan keelokan dirimu
Kuingin
dekapmu
Dan
bersama mu
Sampai
nanti kita menyatu
Dalam
sebuah ikatan suci yang menunggu”
Begitu saja
bacaan yang tertera pada selembar kertas putih itu, yang ditulis tangan kurang
bagus, terlihat seorang cowok yang kurang rapi yang menuliskannya, tanpa nama
pula.
‘siapa sih
ini, buang-buang waktu saja’ kesalnya
Tiba-tiba
datanglah Tari dan Irma bersamaan,
“apa tuh
Sev?” Tanya Tari
“gak tau,
orang iseng naro didalam tasku, lancang sekali dia buka-buka tasku”, kesalnya
“kamu
harusnya bersyukur ada penggemar rahasia yang ngasih kamu cokelat” kata Irma
“sini
cokelatnya buat aku aja” kata Irma lagi
Sevi
langsung saja memberikan cokelat itu, tapi sebelum sampai ditangan Irma Tari
langsung menampisnya
“itu cokelat
buat kamu Sev jangan dikasihkan orang, kasihan yang udah beliin buat kamu”,
kata Tari
Setelah
berfikir - fikir Sevi membenarkan perkataan temannya itu, dia memasukkan lagi cokelat
itu bersama selembar surat kedalam tasnya.
Seluruh
murid kelas satu sampai dengan kelas tiga diharap untuk berkumpul dilapangan
sehubungan dengan perkemahan tersebut. Perkemahan ini akan diwakili
masing-masing kelas 2 orang. Dan ditunjuk langsung oleh wali kelas mereka,
setelah apel selesai semua murid kembali ke kelasnya. Dan kelas Sevi akan
diwakili oleh dirinya dan Rio, ketua kelasnya.
Setelah
penunjukan itu mereka berdua bersama siswa - siswi lainnya akan intens
mengikuti latihan pramuka, sebelum perkemahan berlangsung. Begitupun Sevi dia
semakin sibuk bolak balik kesekolahannya setiap sore untuk mengikuti latihan
pramuka tersebut, namun ia tetap saja membuka bukunya dan belajar saat malam
tiba, menjadikan Sevi kurang cukup untuk beristirahat.
Pagi tiba,
Sevi terbangun masih diatas kursi belajarnya dengan keadaan buku masih terbuka
dan pensil yang terserakan diatas meja. Ibunya mengetuk pintunya berkali – kali
sampai Sevi terbangun. Dia segera melihat alarm nya, ternyata sudah jam 7
kurang seperempat. Dia segera mandi dan beberapa detik saja langsung keluar.
“kamu sakit
nak?” Tanya ibunya
“enggak bu,
tadi malem kecapekkan aja mangkanya bangun telat”
Sevi
sesegera mungkin berganti seragamnya dan menyiapkan buku pelajarannya. Ibunya
membawakan segelas susu kekamarnya untuk Sevi. Sevi yang tak menghiraukannya
Karena mencari buku nya yang masih belum ditemukan. Beberama menit mencari
akhirnya bukunya ditemukan diatas meja belajarnya yang dijadikan bantal untuk
tidur semalam.
“minum dulu
nak susunya, ini masih hangat”, pinta ibunya
“enggak bu
Sevi udah telat banget ini, Sevi berangkat dulu bu”, pamit Sevi
Dia mengayuh
sepedanya dengan begitu tergesa, dia terjatuh dijalan saat menabrak batu yang
berserak ditengah jalan. Sevi dan sepedanya pun oleng, siku dan bajunya robek
seketika, sedang bajunya terkotori oleh darah dari sikunya, dia mencoba
berdiri. Tiba – tiba dibelakang lewat seorang cowok, ternyata cowok itu adalah
Iwan. Sevi kaget melihatnya.
“kamu ngapain
disini, ini kan udah telat jam masuk sekolah?”
“kamu juga
ngapain disini, pakek acara bobok cantik segala disini”
“hemm”, Sevi
tak menghiraukannya dia mencoba berdiri sendiri. Melihat Sevi sangat kesulitan
mencoba berdiri sendiri Iwan membopongnya untuk berdiri. Dia meletakkan sepeda
Sevi di bengkel karena sepedanya rusak akibat terjatuh dan oleng tadi.
“ayo naik
motor aja lebih cepet” ajak Iwan
Dengan
keadaan yang sangat payah Sevi mengiyakan saja ajakan Iwan untuk berboncengan
dengannya menuju sekolah. Iwan tak membelokkan motornya kesekolah, dia berjalan
terus menuju rumahnya
“eh kita mau
kemana? Sekolah kita kan udah lewat”
“kamu diem
aja dulu”
“kamu mau
ngapain, aku loncat nih”, ancam Sevi
Iwan
menghentikan motornya dan berbalik arah kearah Sevi .
“kita akan
kerumahku dulu, lihat bajumu robek gitu. Lukamu juga perlu diobati”, jelasnya
Mendengar
penjelasan Iwan meluluhkan hati Sevi yang sangat kaku selama ini, terutama
kepada Iwan, entah mengapa, dan dia lupa juga kapan dimulainya.
Sesampainya
dirumah Iwan segera Sevi turun dari motornya.
“ayo
masuk!”, ajak Iwan
Sevi
mengikuti langkah Iwan dari belakang.
“kamu tunggu
situ yah, aku kedalem dulu”, sambil menunjuk sofa di ruang tamunya
Iwan keluar
dengan membawa kotak obat dan satu bju seragam miliknya.
“sini tangan
kamu”, sambil menarik tangan Sevi yang terluka
Setelah
selesai memberikan obat merah diluka Sevi Iwan menyuruhnya segera berganti
seragam.
“kamu ganti
dikamarku” sambil mengantarkannya menuju kamarnya
Sevi masih
saja terbengong didepan kamar Iwan
“tenang aja,
gak bakal ngintip kok”
Sevi masuk
dan segera berganti seragamnya, lali dia keluar kamar menuju Iwan
“kegedean
banget yah?” kata Sevi
“lebih baik
daripada bajumu yang robek dan kotor tadi”, jawabnya
“udah yuk
balik kesekolah, ini udah telat banget” dengan mata yang ketakutan karena belum
pernah Sevi senekad ini.
“yaudah
ayo”.
Tak sampai
10 menit mereka berdua sudah didepan gerbang sekolah, guru BK sudah berjaga –
jaga didepan menanti para murid yang terlambat masuk, setelah guru BK itu
melihat kedatangan Sevi dan Iwan segeralah guru itu menghampiri mereka berdua.
“heh kalian
kenapa baru datang?” dengan muka merah marah
“kita habis
kecelakaan pak dijalan tadi mampir dulu ke puskesmas”, Iwan sambil membuka siku
Sevi dan memperlihatkan luka Sevi kepada gurunya tersebut. Setelah melihat
bukti bahwa perkataan Iwan benar guru itu pun mengizinkan masuk mereka berdua.
Iwan mengantar Sevi menuju kelasnya. Bel istirahat berbunyi, Iwan sudah didepan
menanti Sevi. Sevi keluar bersama temannya, si Tari.
“Sev ada
Iwan didepan” kata Tari kepada Sevi yang tak melihat kedatangan Iwan
“Sev ini
makan”, Iwan menyerahkan roti dan susu botol kepada Sevi.
“makasih ya”
Sevi menerimanya. Dan iwan segera pergi
“eh tumben
kamu ramah sama cowok?”, Tanya Irma yang nyelonong aja dari belakang
“kamu itu kayak
jelangkung aja, tiba-tiba nongol”, sewot Tari
“perhatian
banget sih sama kamu Sev dari kapan emangnya?? Apa jangan-jangan kalian udah
pacaran, hayoo?” desak Irma
“huusstttt…
kamu itu Ir usil aja, udah yuk ah kekantin” ajak Tari
“aku dikelas
aja ya, nih udah makanan sama minuman ditanganku”, kata Sevi
“iyauda deh,
kamu gak nitip apa-apa lagi?” tawar Tari
“enggak Tar,
makasih ya”
“beneran
Sev”
Sevi hanya
menganggukan kepala saja
“yauda kita
duluan yah, kita gak lama-lama kok habis ini langsung balik”
Sevi duduk
ditaman sekolah dengan memakan roti dari Iwan kepadanya. Dia melihat dilapangan
begitu ramai, para murid cowok sedang bermain futsal, terlintas Iwan juga ikut
main dilapangan.
‘dia lumayan keren juga, kenapa bisa
sebaik ini meski pun tetep aku cuekin?’ tanyanya dalam hati. Dia selalu memandang lapangan sambil
terus memperhatikan seorang cowok yang mengantarnya pagi ini. namun dia tak
menemukannya lagi. Tiba – tiba saja dibelakang dikagetkan dengan kehadiran Iwan
“kamu??
Bukannya kamu tadi dilapangan”
“kamu
merhatiin aku terus yah?” ledek Iwan
“enggak tadi
cuman lagi mandang kedepan aja daripada gak diliat mubazir” elaknya
“ohh gitu
yah, oh ya bentar yaa”
“mau kemana?”
“takut
banget yah aku tinggalin”
“enggak kok,
yauda kamu pergi sana” kata Sevi pada Iwan
“bener??”
goda Iwan lagi
“iyah tapi
nanti balik lagi kan?”
“iya, aku
balik kok”
Lama sekali
Iwan tak kembali, sampai bel masuk terdengar. Dia pun meninggalkan surat
dibangu taman yang ia duduki tadi
“udah bel
masuk, aku tinggal masuk kelas dulu”
Setelah bel
pulang berbunyi dia melihat Iwan telah menunggunya ditaman. Sevi segera
menghampirinya
“kamu dari
tadi disini?” Tanya Sevi
“kan aku
udah bilang bakal balik kesini”
“kamu gak
masuk kelas?”
“masih nunggu
kamu disini”, senyum Iwan diwajahnya yang membuat Sevi kesal
“emang kamu
dari mana aja?”
“dari
rumah”, jawab Iwan santai
“kamu pulang
kerumah dan gak masuk kelas nungguin aku disini” Sevi mengomel kepada Iwan
Iwan hanya
mengangguk saja menerima omelan Sevi
“cantik
banget sih kalau pas ngomel gitu”, puji Iwan yang membuat Sevi terdiam dan
memerah pipinya
“ini buat
kamu”, dia menyerahkan kotak yang dibungkus kertas kado yang sangat indah dan
juga sepucuk surat diatasnya
“ngapain
pakai surat kalau ngomong langsung aja bisa?” Tanya Sevi
“kesannya
lebih romantis aja”
“makasih
ya”, sambil memberikan senyum termanis kepada Iwan
“ayo aku
antar pulang”, ajak Iwan
Mereka
berdua bersama-sama menuju parkiran.
“pegangan
aja biar gampang naiknya”
“enggak ah”
tolak Sevi
Sevi
kesulitan menaiki motor Iwan akhinya dia memegang pundak Iwan juga. Iwan hanya
tersenyum saja menanggapinya
“sepedaku
gimana nanti?” Tanya Sevi
“gampang lah,
nanti aku yang antar kerumah kamu”
“jangan
menggampangkan sesuatu sebelum dilakukan”
“yes mom”
sambil mengoda Sevi
Ketika
sampai dirumah Sevi, ibunya melihat Sevi yang berjalan tertatih dengan pelan,
ibunya segera menghampirinya
“kamu kenapa
nak?” Tanya ibunya kuatir
“habis jatuh
tadi bu waktu berangkat”
“kamu sih
gak minum susunya jadi gak konsen dan jatuh” kata ibunya
“ini temen
kamu?” Tanya ibunya
“saya Iwan
kakak kelasnya Sevi tante”, dia memperkenalkan dirinya
“ohh,
makasih ya nak Iwan sudah mengantar Sevi pulang”
“sama-sama
tan”
“yauda ayo masuk
semuanya, ibu sudah siapkan makan siang”
“terimakasih
tan tapi saya masih ada keperluan dirumah”, tolak Iwan
“kamu bener
gak makan dulu disini”, ajak Sevi
“iya Sev aku
pulang dulu yah, kamu istirahat, tan saya pulang dulu” pamit pada keduanya
“bu aku
antar Iwan dulu kedepan yah”
“iya nak
habis itu langsung masuk ya, lalu makan”
“iya bu”
Sevi
mengantar Iwan sampai depan rumahya
“makasih ya
sekali lagi”
“jangan
makasih mulu, senyumnya mana”
“genit
banget sih, yauda aku masuk dulu”
Pukul tujuh
malam, Iwan datang kerumah Sevi sambil membawa tas sekolahnya.
Tookkk….tokkk,”permisi…”
Ibu Sevi
segera keluar dan membukakan pintunya
“temannya
Sevi yang nganter tadi yah?”
“iya tante,
saya mau belajar sama Sevi”, jawab Iwan
“iya
sebentar, saya panggilkan Sevi”, jawab ibunya ramah
Tak lama
kemudian Sevi keluar dengan terheran.
“Iwan??
Ngapain kesini???” sapa Sevi
“Aku mau
belajar nih aku udah bawa tas”, sambil tersenyum centil
Ibu Sevi
keluar lagi membawakan teh hangat dan camilan untuk tamu anaknya itu
“kalau habis
nanti ibu buatkan lagi, biar belajar kalian nyaman, ayo diminum nak Iwan”,
suruh ibunya Sevi
“iya makasih
tante”
Ibunya Sevi
masuk kedalam lagi membiarkan mereka berdua konsen belajarnya
“kamu ada
apa tumben belajar?” Tanya Sevi
“enggak juga
sih sebenernya”
“maksud
kamu?”
“aku pengen
lihat keadaan kamu aja”
“lewat
telfon kan bisa” kata Sevi lagi
“beda aja,
jadi gak plong rasanya” jawab Iwan
“kamu ini
menyusahkan diri sendiri aja”, omel Sevi
“oh yah ini
aku bawakan soup buat kamu, biar badan kamu hangat”
“soup apa?”
“soup
buatanku sendiri, kamu coba rasanya gak kalah sama buatan ibu kamu kok”
“makasih ya”
“aku suapin
yah”, kata Iwan
“enggak ah
malu sama ibu, aku makan sendiri aja
“cepat
habiskan soupnya keburu dingin”, pinta Iwan
“iya ini
juga mau aku habiskan”
Setelah
soupnya habis Iwan berpamitan pulang
“aku pulang
dulu yah, kamu langsung istirahat” pamitnya
“lho katanya
mau belajar, kita aja belum buka buku sama sekali Wan”
“enggak kok,
aku Cuma pengen lihat kamu menghabiskan soupku aja”, sambil tertawa menyeringai
“jangan
bilang didalam tas kamu gak ada bukunya”
Dan ternyata
benar saja didalam tas Iwan tak ada satupun buku.
Akhirnya
Sevi mengizinkan Iwan untuk pulang.
Ibunya yang
keluar melihat Sevi sendirian pun bingung
“temanmu
kemana nak?” Tanya ibunya
“sudah
pulang bu katanya diare mangkanya buru-buru” bohongnya
“oh ya. Yauda
kamu istirahat nak, besok gak usah sekolah ibu izinkan”
Sevi
langsung masuk kamarnya, dia mengambil tasnya dan membuka kotak yang tadi siang
diberikan Iwan padanya beserta surat yang tertempel diluarnya
“Sev, aku
mau berkata sesuatu padamu
Mungkin
aku tak berani mengatakannya secara langsung
Karena
bagiku kamulah bidadari terindah yang pernah kulihat
Melihat
senyummu sangat membuatku senang
Maukah
kamu jadi pacarku
Hari ini
dan seterusnya
Aku akan
menjadi yang terbaik buatmu
Iwan “
Begitulah
bunyi surat yang dibacanya dalam-dalam. Lalu dia membuka kotak itu dengan
perlahan. Didalam kotak itu terdapat gambar cantik, lukisan wajah Sevi yang
dihiasi dengan bunga-bunga disampingnya, serta ada juga kalung yang melingkar
indah di kotaknya bertuliskan “Bright” atau
bersinar….
Sejak Sevi
menerima pemberian itu disekolah Iwan langsung menyatakan perasaannya kepada
Sevi, untuk mengulangi lagi surat cintanya agar Sevi benar-benar percaya bahwa
itu dirinya. Iwan juga menjelaskan kepada Sevi sekitar sebulan lagi dirinya
akan pindah diluar kota, tepatnya di Semarang. Dia akan melanjutkan SMA dan
kuliahnya dikota tersebut atas permintaan kedua orang tuanya. Wajah Sevi
tertunduk sedih mendengar pernyataan Iwan, baru saja dia menerima kehadiran
seorang lelaki namun disaat itu pula dia harus merelakan lelaki itu pergi
meninggalkannya. Tak lama Sevi menjawab Iwan, dan dia menerima Iwan sebagai
pacarnya, yang sekaligus masih cinta monyetnya. Dengan perasaan campur-campur,
akankah Iwan akan kembali menemuinya? Akankah Iwan setia dengannya meskipun
jauh disana? Akankah Iwan tetap akan menjadi pelipur lara? Dan berbagai akankah
yang membuat hati Sevi gelisah tak menentu.
Melihat
wajah Sevi begitu muram hari itu Iwan mengajaknya untuk keluar bersama sepulang
sekolah. hampir setiap pulang sekolah Sevi diajaknya keluar, sehingga Sevi
memutuskan untuk mengundurkan dirinya dari kemah yang akan diadakan beberapa
minggu lagi. Dengan berat hati wali kelasnya mencari pengganti untuk Sevi.
Diajaknya di
berbagai tempat untuk menghibur kesedihan Sevi dan membuatkan kenangan yang
terindah untuk cinta monyetnya itu. Tibalah pada hari terakhir pertemuan mereka.
Pagi ini
Sevi bangun lebih awal, dia segera mandi dan memakai seragam sekolahnya. Dia
berfikir sejenak lalu mengirim pesan kepada Iwan.
‘kita jalan sekarang aja yah, aku gak papa
bolos sehari ini. ku mau seharian penuh bareng kamu, sebelum kamu pergi. Plis ‘
Tiittt…tiiii,
balesan dari Iwan sudah muncul di layar
‘oke aku jemput kamu 10 menit lagi’
Segera saja
Sevi memakai seragamnya dan memakai jaket bersiap untuk menunggu Iwan. Dia
menuju dapur dan menyiapkan berbagai makanan di kotak makannya. Ibunya yang
melihatnya menyiapkan makanan didapur terheran karena tak biasanya dia membawa
bekal.
“nak tumben
bawa bekal? Kamu pulang sore?” Tanya ibunya
“iya bu
nanti ada tambahan pelajaran soalnya”, jelasnya
“sini ibu
bantuin”. Ibunya dan dirinya menyiapkan beberapa slice roti dan selai juga susu
di botolnya, berbagai snack dibawanya juga.
“ini ibu
tambahin uang jajan kamu” ibunya menyerahkan uang 20ribuan kepada Sevi
Sevi
langsung saja memeluk ibunya, semakin membuatnya bersalah karena telah
berbohong padanya.
“makasih bu,
Sevi berangkat dulu”
Sevi masih
menanti Iwan didepan rumahnya tak beberapa lama Iwan sudah berada didepannya.
“udah siap”,
Tanya Iwan
“udah, ayo!”
Mereka
berdua melaju menuju tempat terakhir yang akan menjadi tempat terakhir mereka
untuk bersama-sama hari itu. Sevi tak banyak Tanya dia hanya mengikuti saja kemana
Iwan akan membawanya. Tibalah mereka disebuah bukit, yang bernama bukit cinta
didaerah yang cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Disana begitu indah,
bebatuan sungguh begitu tertata, pemandangan pagi itu yang masih belum terlalu
panas membuat suasana semakin hangat. Mereka berdua turun dari motor dan menuju
tempat yang nyaman untuk diduduki. Ketika mereka sampai pada sebuah tempat
dimana mereka bisa melihat pemandangan hutan dan bukit dengan eloknya, Sevi
membuka isi tasnya. Mengeluarkan bekalnya dari rumah. Mereka begitu menikmati
hari terakhir mereka sambil memakan bekal yang dibawa Sevi.
“kita akan
tetap setia meski jarak kita jauh, namun cinta bisa mendekatkan diri kita
melalui hati” kata-kata yang keluar dari mulut Iwan semakin membuat Sevi berat
untuk ditinggalkan Iwan.
“sebulan
yang lalu kita jadian namun takkan ada waktu untuk perpisahan kita”, kata Iwan
lagi. Sambil menggenggam tangan Sevi. Setelah 3 jam menikmati pemandangan
dibukit cinta mereka melaju lagi, menikmati sengatan udara siang itu yang
begitu teriknya.
Senja tiba,
waktu terasa begitu cepatnya hari ini.
“aku antar
pulang sekarang yah udah sore” ajak Iwan
“iya, kamu
hati-hati yah besok berangkatnya”
Setelah
berkendara sekitar satu jam mereka sampai didepan rumah Sevi. Ketika Iwan
hendak pulang Sevi mencegahnya.
“tunggu
disini sebentar yah” pintanya
Segera dia
masuk dan mengambil sesuatu yang ditaro didalam plastic
“ini buat
kamu”. Sevi menyerahkannya dengan mata yang berkaca
“ini apa?”
Tanya Iwan
“buka aja
dirumah”
makasih ya,
aku pulang dulu”
Sevi masih
saja melihat kepergian Iwan, punggung yang akan dilihatnya untuk yang terakhir
kalinya, dia senang bisa sempat membuatan kaos bertuliskan namanya dan Iwan dan
juga tanggal jadian mereka dikaos tersebut.
‘semoga saja dia suka dan menyimpannya
selalu’ do’aya dalam
hati
Memang
pacaran itu banyak resikonya, tapi seperti Segitiga Bermuda, walaupun berusaha
kaujauhi tetap saja ada alasan untuk mendekat…
Empat tahun
berlalu dengan beratnya, menjalani hari dengan kekasih yang jauh disana.
Sekarang Sevi sudah kelas 3 SMA. Masih sanggup sendiri. Padahal tak sedikit
yang menginginkan bersamanya. Siapa yang tak suka melihat gadis cantik dengan
kecerdasan yang patut dipertimbangkan, dari teman sekelasnya sampai kakak
kelasnya banyak yang bilang suka padanya. Sevi masih berteman dengan Tari, dan
juga sekelas dengannya.
“kamu masih
saja nungguin kak Iwan dengan tulus. Kamu yakin dia bakal balik?”
“aku yakin
kok, life is simple, you make choice and
don’t look back, dan aku memilih untuk tetap setia menantinya dan menanti
dia kembali dengan kesuksesannya”
Tari yang mendengarnya
ikut terharu, dia memeluk sahabatnya itu dengan erat tanpa berkata dan bertanya
lagi.
Sudah
seminggu ini Sevi tak berhubungan dengan Iwan, baik telepon, chatting maupun
video call. Membuatnya sangat sedih dan berfikir akankah kesetiaanya akan
terbalaskan dengan kekecewaan. Namun dia menampis prasangkanya sendiri. Dia
menuliskan status di twitternya
‘Saat aku kangen sama kamu, saat
itulah aku inget kenangan bersamamu. Akankah di sana kamu merasakan cinta,
perih, dan rindu yang sama? Semoga iya :’)’
Satu jam
setelah menuliskan statusnya itu telepon bordering. Foto dan nama yang
ditunggu-tunggu akhirnya muncul dilayar hapenya. Sevi segera mengangkatnya dan
meninggalkan bukunya dimeja.
“halo?”
“hay, kamu
ngapain disana Sev?” Tanya seseorang dari ujung telepon
“aku sedang
belajar, kamu sendiri?”
Mereka
saling bercerita panjang lebar, menceritakan kesibukan mereka masing-masing.
Memang Iwan sibuk dengan tugas kuliahnya, dia memilih melanjutkan kuliahnya di
kedokteran disebuah perguruan tinggi negeri ternama di kota yang ditinggalinya,
dan Sevi berencana ingin melanjutkan kuliah juga di kota yang sama dan bisa
bersama-sama lagi dengan seseorang yang membuatnya jatuh cinta dan
mengenalkannya pada arti kesetiaan yang indah. Tak terasa sudah jam 1
pagi.mereka masih saja di jaringan telepon dan asik bercerita.
“Sev udah
jam 1 kamu tidur dulu ya, jangan bolos lagi kayak dulu” kata Iwan yang
terdengar semakin dewasa
“nggak
pernah bolos lagi, waktu itu hanya sekali, pertama dan terakhir”, jelas Sevi
“kayak kamu
dan aku, hanya satu pertama dan yang terakhir”
Kata-kata
Iwan membuat Sevi melinangkan airmatanya
“kamu kenapa
Sev?” Tanya Iwan ketika mendengar isakan Sevi dari ujung telepon
“aku
menangis bahagia, bisa mendengar suaramu yang membuat hatiku tenang. I love
you”
“I love you
too, tunggu aku yah. Aku pasti kembali buat kamu”
“aku akan setia
menunggu kamu, sampai aku tak bisa menunggu lagi…..”
Tutt
tuuttt…. Berakhirlah telepon mereka pagi itu. Setelah seminggu tak
berkomunikasi, rasa perih itu sedikit terobati
Keesokan
harinya dia menerima pesan dari Iwan yang membuatnya begitu gembira.
‘lusa aku akan tiba disana, aku akan liburan
disana. Tunggu aku yah… sayangku…’
Dia terus
berulang – ulang membaca pesan itu, dia semakin semangat menjalani harinya. Dia
terus saja tersenyum hari itu. Melihatnya begitu merona disekolah membuat
sahabatnya terheran
“kamu kenapa
Sev kelihatan cerah banget hari ini?” Tanya Tari
“Iwan akan
kesini lusa” jelasnya antusias
“wahh bakal
ketemu perdana dong, setelah 4 tahun terpisah, selamat yah” Tari memeluk
sahabatnya itu.
Jam kosong
saat itu begitu lama, Sevi dan Tari nongkrong dikantin sampai berjam-jam.
“Sev kamu
mau ngelanjutin dimana kuliah nanti?”
“pastinya
dikota yang sama dengan Iwan, kalau kamu?” tanyanya balik
“aku bakal
ngelanjutin di kota Surabaya, aku akan melanjutkan didunia memasak”, jawab Tari
“aku yakin
suatu saat kamu bakal jadi koki hebat dan muncul di tivi”, support Sevi
“itu impian
ku Sev, bisa jadi koki aja udah syukur banget gak muluk-muluk muncul di tivi.
Takutnya nanti tivinya terbakar gara-gara ada gambar akunya… hahaa” mereka
saling bercanda waktu itu
“kamu
sendiri impian kamu jadi apa Sev?”
Sevi menghela
nafas panjang
“masa
depanku hanya satu Tar, hanya bersama orang yang kusayangi menghabiskan hidup
bersama dan memiliki anak, merawatnya bersama dan saling menyayangi hingga
senja tiba” kata Sevi yang mebuat sahabatnya ikut melinangkan air matanya untuk
Sevi
“pasti
kalian akan jadi keluarga yang sangat bahagia dengan banyak anak. Dan aku akan
iri pada kalian karena kebahagiaan kalian”
Saling
berpelukanlah mereka berdua.
Hari begitu
terasa lama, penantian Sevi menunggu kedatangan Iwan. Ketika itu sore hari, dia
sedang bersantai karena besok adalah hari minggu. Dia melihat tivi sendirian
dirumah, orang tuanya sedang keluar menjenguk saudaranya yang sedang sakit
dirumah sakit. Tiba-tiba ada breaking news yang memotong acara yang sedang di
tontonnya.
“terjadi kecelakaan pesawat dari Semarang
menuju Bandung”… dengan nomor serial
pesawat yang tertera dilayar tivi. Dia langsung shock melihat berita itu. Sevi
lupa menanyakan Iwan naik apa menuju Bandung. Tak sengaja linangan air mata
begitu derasnya.
‘enggak enggak, Iwan pasti naik
kereta kesini, dia gak naik pesawat, dia gak naik pesawat’ hiburnya dalam hati sambil terus
menangis
Triiitt…tritttt,
hapenya berdering. Tari meleponnya
“halo.. Sev
kamu udah lihat berita kan?”
“berita apa
Tar?” Sevi pura-pura tidak mengetahuinya
“kecelakaan
pesawat menuju Bandung Sev, kak Iwan gak naik pesawat kan pulangnya?”
Sevi tak
menjawabnya, dia semakin terisak
“Sev…Sev..
halo Sevi kamu masih disana???”
“ii.. iya
tar, enggak kok, dia naik kereta. Udah dulu yaaku mau istirahat”
Tiitt
tiiitt. Teleponnya terputus.
Besok adalah
hari yang dijanjikan kepulangan iwan. Sepulang sekolah dia tak keluar rumah
sama sekali, tak makan dan bahkan tidak membuka bukunya untuk belajar. Melihat
putrinya begitu muram Ibunya mencoba menghiburnya.
“nak ayo
makan dulu”
“nanti aja bu
Sevi belum lapar”, tolaknya
Ibunya
membiarkan Sevi sendiri. Namun tak tahan juga melihat Sevi begitu tak
bersemangat tak seperti biasanya
Ibunya
menelepon Tari dan menyuruhnya datang kerumahnya untuk mengajak Sevi keluar jalan-jalan.
10 menit Tari sudah didepan rumahnya
“Sev, kamu
ga papa? Ibu kamu nyuruh aku kesini”
“aku gak
papa kok Tar”
“kita keluar
yuk, cari makanan atau nongkrong-nongkrong di cafĂ©” ajak Tari
Sevi
menggelengkan kepalanya, menolak ajakan sahabatnya itu
Melihat
penolakan itu ibunya lalu datang pada mereka
“ini ibu
kasih uang, kamu jalan-jalan sama Tari biar gak sumpek, ga papa ibu gak
ngelarang kamu keluar malam,asal hati-hati dan jaga diri”
“Sevi pengen
istirahat aja bu”.
Sevi menuju
kamarnya tanpa memperhatikan sahabat dan ibunya. Hari itu seseorang yang
dinantinya belum juga muncul, dia masih menunggu. Lusa dia masih menunggu,
hingga musim pun berganti. Tak ada tanda-tanda kedatangan iwan kerumahnya. Seharusnya
liburan ini sudah usai untuk anak kuliahan. Namun Sevi masih saja menantinya.
Tiga bulan dia sangat takut menekan tombol Iwan di hapenya. Namun malam itu dia
memberanikan untuk menekan dan memanggil nomor Iwan. Dan hasilnya sangat
mengecewakan. Dia mendatangi rumah iwan yang berada di Bandung. Ketika itu ada
pengajian dirumah Iwan. Dia bertanya kepada tetangganya yang melaluinya ketika
hendak kerumah Iwan
“maaf bu,
ada pengajian yah dirumah Iwan?”
“kamu
temannya Iwan?” Tanya ibu muda itu
“iya, apa Iwan
dirumah atau belum kembali dari Semarang bu?”
“ini pengajian
buat Iwan dek, pengajian 100 harinya iwan, dia meninggal disebuah kecelakaan
pesawat 3 bulan lalu”, jelasnya
Mendengarnya
bagai tersambar petir, tak kuat lagi dia menyangga tubuhnya dan penglihatannya
tiba-tiba gelap.
Ketika sadar
dia melihat dirinya sudah dikamar tidurnya, dengan ibu dan tari menungguinya dismaping
ranjangnya.
“bu Iwan
buu… Tar Iwan…. Dia gak bener-bener ninggalin aku kan”, sambil menangis
sejadi-jadinya
“Aku sudah
menantinya hingga empat tahun ini dengan setia, dia bilang mau kesini menemui
aku. Kenapa dia belum juga tiba Tar, kenapa??????” Tari pun tak kuat menahan
air matanya
“yang sabar
Sev yang sabar, mungkin ini sudah menjadi takdir kalian” sambil memeluk tubuh
Sevi mencoba menenangkannya
Ibunya yang
tak kuat melihat putrinya seperti itu keluar dari kamar Sevi. Malam itu begitu
terasa berat, banjir air mata dimana-mana. Sevi yang tak bisa berhenti menangis
hingga dia tertidur pulas.
Hari-harinya
bagai mendung, begitu gelap dan tak ada cahaya sedikitpun. Dia melakukan
aktifitasnya dengan berat masih terngiang dengan penantiannya menunggu iwan
pulang.
Sehari…seminggu…sebulan,
dan berbulan – bulan berjalan begitu lama sekali… tibalah pengajian keseribu
hari meninggalnya iwan, dia datang kerumahnya dengan mencoba tegar. Membaca
lantunan ayat suci untuknya yang sudah dialam sana. Tak kuasa dia menahan
airmatanya, ibunya Iwan menyuruhnya berhenti membacakan surat yasin. Ketika
pengajian usai ibunya Iwan menyuruhnya untuk menginap dirumahnya bersama Tari
juga.
“tante boleh
saya tidur dikamar Iwan?” pinta Sevi
Ibunya
melinangkan airmatanta mendengar permintaan Sevi
“kalau kamu
kuat silahkan saja jangan biarkan barang-barang iwab bergeser sedikitpun, tante
masih selalu membersihkannya “. Jawab ibunya Iwan
Dia
melangkahlan kakinya menuju kamar Iwan ditemani oleh Tari. Sebelum dia membuka
pintu kamar, tangan Tari menahan tubuh Sevi
“kamu
yakin?” Tanya Tari padanya
Sevi hanya
menganggukan kepalanya. Dia membuka gagang pintu Iwan, menutup mata dan
merasakan kehadiran Iwan didepannya. Tak disanga linangan air mata itu mengucur
derasnya. ‘aku kuat, Iwan tak ingin
melihat aku menangis lagi’
“Tar bisakah
kamu tinggalkan aku sendiri?” pintanya
“aku akan
menemani kamu Sev aku gak akan ninggalin kamu sendirian merasakan perih hati”
Sevi lalu
tersenyum pada sahabatnya itu mencoba meyakinkannya lagi
“aku hanya
ingin mengenang hanya sendiri saja masa-masa indahku bersama Iwan” sambil
memegang tangan Tari
Tari
mengiyakan permintaannya dan segera pergi keluar kamarnya
Sevi
terkaget ketika membuka loker Iwan. Dia melihat tulisan tulisan Iwan mengenai
dirinya, tak sedikit pula foto yang diambil Iwan secara diam-diam. Masih
mengenakan biru putih disekolahan dan bahkan dia tak menyadari iwan sudah
menfotonya sejak dia duduk dikelas satu SMP. Begitu lamakah kamu menungguku,
setahun baru cukup bagimu untuk mengatakan perasaanmu padaku. Dia tak sengaja
melihat tulisan yang begitu kusam dilembar paling bawah sendiri
“gadis kelas satu itu imut banget lucu
Juteknya minta ampun
Harus bagaimana aku menarik
perhatiannya
Kucoba melewatinya dan meliriknya
namun dia tetap tak menyadari keberadaanku
Tapi aku yakin, bulan depan bahkan
tahun depan dia akan menjadi wanitaku
Sevia”
Semakin menyadarkan
akan besarnya cinta Iwan kepadanya
‘bahkan untuk berkenalan denganku
saja kau membutuhkan waktu setahun. Apa sejutek itukah diriku dulu padamu
kasih. Aku berjanji akan tetap menantimu, hingga senja benar-benar telah senja’
Bella Nosevia A 7 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar