BERSAMA
DUNIA ILUSIKU
“sang putri terus berlari menyelamatkan
dirinya dari prajurit istana yang mengejarnya, sampai dia tiba didalam hutan
yang begitu gelap. Munculah pangeran berkuda yang datang menyelamatkannya.
Dengan sigap sang pangeran meraih tangan putri dan segera membawanya pergi dari
hutan gelap itu. Menuju istana milik pangeran yang jauh lebih berkilau, lebih
wangi dan lebih indah dari istana sebelumnya. Disanalah dijadikannya putri
sebagai ratu….”, begitulah bait demi bait yang diceritakan ibunya
kepada putri kecilnya. Ketika sang putri kecilnya tertidur pulas barulah ibunya
keluar dari kamar putrinya. “selamat tidur putri kecilku”, sambil mengecup kening putrinya dan
meninggalkan putrinya dengan mimpi indah dimalam penuh bintang ini. . . .
“Pagi ini cerah sekali ma, tak pernah kulihat pelangi sudah menyambutku
saat membuka mata”, dengan berbinar - binar putrinya megagetkannya ketika dia sedang
menyiram bunga di taman.
“kamu sudah bangun Aurora sayang?”
Aurora hanya menganggukan kepalanya sembari membantu ibunya menyirami
bunga – bunga yang tumbuh indah dan terawat dihalaman rumahnya.
“suatu saat nanti aku akan tumbuh, mekar dan indah seperti bunga ini,
iya kan ma?” Tanya putri kecil itu
“tentu kau akan tumbuh lebih indah dari bunga ini anakku”. Senyum ibunya
“cepat mandi sana, kamu tidak mau membuat ayahmu menunggu lama kan”,
perintah ibunya
“kenapa ayah selalu sibuk, ma? Apa ngak bisa sehari saja menemani kita
menyirami bunga?”
Ibunya sambil tertawa lebar mendengar pernyataan putrinya yang masih
duduk di kelas 4 SD itu.
“seorang ayah mempunyai kewajibannya sendiri sayang, ayahmu yang membeli
bunga dan kita kaum wanita yang merawatnya”, jelas ibunya
Dia hanya mengangguk - angguk saja mendengar pernyataan ibunya, entah
apa dia mencerna dengan baik atau tidak. Setelah selesai mandi dan memakai
seragamnya Aurora diantar ayahnya di Sekolah Dasar dekat rumahnya.
“Rara masuk dulu, Yah”, sambil mencium tangan ayahnya dan melambaikan tangan
untuk ayahnya.
“hay Ra kamu udah ngerjain PR belum? Aku nyontek yah?” kata seorang
teman yang sudah menjadi temannya sejak masih TK, rumahnya pun tak jauh.
Seringnya mereka bermain bersama menjadikannya teman sepermainan.
“sudah Rem, ini”, sambil menyodorkan buku dari dalam tasnya.
Lima menit setelah itu bel masuk pun terdengar, semua murid tak
terkecuali Aurora memasuki kelasnya. Ketika gurunya masuk semua murid memberi
salam dan ketua kelas memimpin doa untuk mengawali pembelajaran dikelas.
Selesai berdoa guru itu mengucapkan salam dan menanyakan PR murid-murid.
“Rem, kembalikan bukuku”, ketika Aurora meminta bukunya Remi pun
menolaknya, karena iseng ingin menjaili Aurora.
“Rara mana buku PR kamu?” Tanya gurunya yang melihat Rara begitu ramai.
Mendadak Aurora berkata bohong demi membantu temannya. Diapun dihukum
keliling lapangan sedang murid lainnya membahas pekerjan rumah mereka. Aurora tak
langsung masuk kelasnya, dia menyendiri ditempat biasanya dia menghabiskan
camilan diwaktu istirahatnya. Tak ada yang bisa menemukan ditempat
persembunyiannya selain Revan, kakak kelasnya yang selalu memperhatikannya.
“kenapa lagi sama Remi dek?” tanyanya
“Remi pinjem buku PR ku dan aku dihukum karena dikira bu guru belum
ngerjain”, jelasnya sambil terisak.
Revan duduk sembari menemani Aurora yang masih terisak.

Setahun tak terasa, dia sudah naik di kelas 5 sedang Revan sudah lebih
dulu meninggalkan sekolah Dasar. Tiada lagi yang akan menemukannya ketika dia
diam sendirian di tempat itu.
Jam istirahat tiba semua murid berhamburan menuju kantin, tidak bagi
Aurora dia menuju tempat sepinya dan entah dia sangat merindukan sosok kakak
kelas yang selalu mengerti dirinya. Aurora menyelipkan sepucuk kertas dibawah
batu, berharap suatu saat Revan akan membacanya, yah suatu saat….. meski hanya
di alam ilusi Aurora sendiri.
Begitu cepat dia meninggalkan dunia kecilnya, masa-masa SD yang sering
dijaili Remi, dan masa-masa SMP yang biasa-biasa saja tanpa Revan.

“kamu sudah SMA sayang? Kamu lebih terlihat dewasa dengan seragam
abu-abu putih yang kamu kenakan?” puji ibunya
“makasih ma, ma bilangin ayah Rara dijemput temen hari ini jadi ayah gak
usah nganter Rara”
“siapa yang menjemputmu sayang?”
“temen Rara ma, udah Rara berangkat dulu ma”. Buru-buru dia meninggalkan
ibunya yang masak didapur.
Aurora menjadi idola baru di sekolahnya, dia gadis berambut gelombang
dengan mata yang selalu cerah berbinar, menjadi tumpuan bagi teman-temannya
yang kesusahan. Tak heran banyak kakak kelasnya yang mengajaknya pulang bareng
atau sekedar kekantin bersama.
Sesampainya diparkiran dia langsung turun dan menuju kelasnya,
“terimakasih kak, Rara masuk duluan”
“nanti pulang aku antar yah,” kata seorang cowok yang mengantarnya yang
bernama Aldo.
“iyah kak”, buru-buru dia masuk kekelasnya karena malu akan disoraki
teman-teman yang melihatnya. Dia masuk kelasnya masih jam 7 kurang 15 menit
masih tersisa waktu baginya untuk bersantai sebelum memulai aktivitas
belajarnya. Di sekolah SMA nya pun dia memiliki tempat sepi, entah dia tak bisa
lepas dari kebiasaannya dari SD, ditempat itu dia bisa berkata pada diri
sendiri, merenungkan apa yang terjadi, atau hanya berimaginasi. Meskipun dia
sangat suka pada dunianya sendiri tak membuat gadis cantik ini tidak bergaul,
dia tetap bersosialisasi dan melakukan interaksi dengan baik bersama semua
orang.
“Ra, ke kantin yuk”, ajak Mona teman sebangkunya.
“aku mau pergi dulu sebentar, kamu duluan aja”
“oh, iya nanti susul aku ya Ra”, sambil melambaikan tangan Mona pergi
meninggalkan Aurora.
Seperti biasa dia menuju ke tempat sepinya, ‘aku kangen sama dia, dia ada dimana sekarang, apakah dia masih
mengingatku sekarang ini’, dia berandai-andai akan bertemu lagi dengan
Revan, seseorang spesial dalam hatinya.
Bel terdengar Aurora segera pergi kekelasnya, dia sangat tergopoh sekali
sampai tak sengaja menabrak seseorang didepannya. Bruukkkkkkk……”maaf aku nggak
lihat kamu tadi”, Aurora membantu cowok itu mengambil bukunya.
Ketika melihat cowok tadi dia merasa sangat asing, “kamu murid baru ya?”
tanyanya
“iya”, jawabnya
“ruang kelas bahasa dimana ya?”
Tanya cowok itu
“itu kelas aku juga, kita bareng aja kesana”, ajaknya
Mereka berdua sampai didepan ruang kelas sedang wali kelas meminta murid
baru untuk memperkenalkan diri pada teman-teman barunya.
“namaku Frans pindahan dari SMA 2 Solo”
“baik frans sekarang kamu boleh duduk”, perintah wali kelasnya tersebut.
Setelah memperkenalkan murid baru dikelasnya pelajaran dimulai.
Jam istirahat terdengar, para murid bersiap menutup bukunya, dan gurunya
pergi mengakhiri mata pelajarannya.
“Mon aku gak bisa ke kantin nemenin kamu, aku ada perlu sebentar”, kata
Aurora pada teman sebangkunya tersebut
“kamu selalu ngilang Ra, ada apa sih?
“nggak kok, sebentar aja”, sambil tersenyum kepada Mona
“yauda deh, mau aku bawain makanan nanti?”
“iya, terserah. aku duluan yah”, Aurora segera meninggalkan kelasnya
menuju tempat sepinya.
‘dia bersama lelaki yang menggandeng tangannya menuju tempat pelaminan
yang semuanya berwarna serba putih. Sungguh cantik Aurora memakai gaun putih
panjang itu, sungguh cantik… Dia
berjalan perlahan dengan ayahnya diantar sampai di tempat dia akan mengucap janji
setianya bersama sang belahan jiwanya’ .
dia terkaget ketika membuka matanya sudah berdiri cowok didepannya.
“Frans, kamu ngapain disini?” tanyanya, karena sebelumnya tidak ada
seorang pun yang mengganggu ketenangannya ditempat sepinya
“kamu sendiri ngapain duduk sendiri disini?”
“aku cuma lagi berfikir aja”
“berfikir ditempat sepi kayak gini? Kamu lagi ada masalah?”
“tiap orang punya masalahnya sendiri”, jawab Aurora
“nama kamu indah, AURORA”, pujinya
Aurora tercengang mendegar pujian itu hanya 2 orang yang memuji
keindahan namanya selama ini, hanya Revan dan cowok yang baru saja dikenalnya
itu.
Pertemuan mereka sangat singkat, sering Aurora memandang Frans dari
kejauhan, dan menyelidiki kebiasaan murid baru itu.
“Mon menurut kamu gimana sih Frans?”
“dia baik anaknya”
“tahu dari mana dia baik?”
“kemarin aja dia nganterin Redo yang ban sepedanya kempes, padahal dia
gak kenal” jelas Mona
‘apa dia sebaik itu yah, kenapa aku ingin sekali dekat dengannya’
“Woooy.. Ra kamu ngelamun yah”, Mona mengagetkan Aurora yang terdiam
sesaat mendengar penjelasannya.
Jam pelajaran usai, Aurora menunggu ayahnya didepan sekolahnya. Duduk
sendirian. Sekolah terlihat sepi karena semua murid sudah meninggalkan sekolah
sejak tadi. ‘kenapa ayah lama sekali’,
batinnya. Aurora sudah menunggu ayahnya
sejam lamanya. Tiba-tiba dia dikagetkan seseorang yang dari belakang
“belum pulang?”
“Frans…”
“nunggu siapa?” tanyanya sambil melihat kesana kemari
“ayah, udah sejam aku nunggu tapi belum datang juga” jawabnya
“mau bareng nggak?”
Setelah beberapa saat berfikir kemudian Aurora mengiyakan ajakan Frans
untuk pulang bareng. Aurora mengikuti Frans menuju parkiran, “ayo masuk”,
dibukakanlah pintu mobilnya untuk Aurora.
Dijalan mereka hanya diam, meratapi kesunyian, tiba-tiba Frans membuka
percakapan untuk pertama kalinya.
“disekitar sini ada tempat bagus banget”
“oh ya, dimana?”
“mau lihat nggak?”
“boleh, aku juga lagi suntuk pulang kerumah”
Setelah berkendara selama 25 menit mereka sampai di suatu tempat,
tepatnya sebuah bukit yang sangat indah.
“mau lihat nggak kembaran kamu?” Tanya Frans
“Tapi aku gak punya saudara kembar”
“kata siapa, lihat saja nanti”, sambil menunjukan jalan kepada Aurora
Frans menunjuk jarinya disebuah langit luas, warnah merah merona yang
terpancar begitu anggun. Cahaya itu jatuh dirambut Aurora yang tergerai dan
membuatnya makin begitu terlihat cantik. “lihatlah betapa miripnya kalian”
sambil memandangi ke langit yang tak berujung itu.
Aurora entah apa yang membuatnya begitu tenang ketika Frans mengajaknya
ke tempat ini. Dia meneteskan air matanya
“mengapa kamu menangis?”
“aku hanya mengagumi keagungan alam ini, sungguh aku begitu kecil
seperti debu”
“tapi kamu tetap memancar aura kebaikanmu, Aurora”
Tak pernah ada orang yang menyebut namanya selengkap itu
“kenapa panjang sekali kamu menyebut namaku, kebanyakan orang hanya
memanggil Rara saja, katanya begitu ringkas”
“karena itu nama mu, dan itu kamu..”
Waktu sudah semakin sore, cahaya sudah ingin kembali ke singgahsananya,
meninggalkan bumi yang tak bertuah ini. Frans akhirnya mengantar Aurora
kerumahnya.
“terimakasih sudah mengantarku”
“iya, sama-sama”
Aurora turun dari mobil Frans dan segera masuk kerumahnya
Sesampainya dirumah dia dikagetkan oleh ibunya
“dari mana kamu sayang, ayahmu sudah menunggu didepan sekolah kata
satpam sekolahmu kamu sudah pulang sama temanmu”
“iya ma, tadi kelamaan nunggu ayah mangkanya aku diantar temen, Rara
masuk dulu yah ma, mau mandi dulu.”
“selesai mandi cepat makan, sayang”, teriak ibunya.

Malam begitu indah, banyak sekali bintang bertaburan menunjukan
keelokannya. Aurora duduk didekat jendela memandangi langit itu. ‘Frans kaukah
yang akan mengajakku ke siggahsana putih itu? Sungguh aku berharap kamu menjadi
pangeran didunia ilusiku’
Pagi sangat cerah, Aurora bersiap untuk sekolah. Seperti biasa ayahnya
yang mengantarnya kesekolah.
Dia berpapasan dengan Frans ketika di lapangan
“ke kelas bareng yuk”, ajak Aurora
Frans hanya menganggukan kepalanya saja. Mereka berdua berjalan bersama
menuju kelasnya.
“terimakasih kemarin mengajakku ke tempat indah itu”
“kalian berdua sama-sama indah bagiku”, sambil tersenyum simpul yang
semakin menunjukan ketampanan Frans. Aurora hanya bengong saja melihatnya
Aurora tak melihat jalannya sampai dia akan menabrak tembok didepannya.
Frans segera menghentikannya dengan menarik tubuh Aurora. “perhatikan jalanmu,
kamu bisa saja melukai dirimu”, lalu Frans segera meninggalkan Aurora dan masuk
kekelasnya. Aurora pun menyusulnya dan segera duduk dibangkunya
Bangku Aurora berada didepan Frans jadi sangat sulit baginya untuk
mencuri pandang ketika sedang jam pelajaran. Atau dia sengaja menjatuhkan
bulpennya hanya agar bisa menatap wajah Frans. Frans yang mengetahui maksudnya
hanya tersenyum saja.
Setelah jam istirahat usai Frans mendatangi Aurora. “kamu ada acara ngak
malam ini?”
“ngak ada, kenapa Frans?”
“nanti malam mau ngak aku ajak jalan-jalan, tapi naik sepeda sih”
“keliatannya asik, oke aku tunggu dirumah”
Aurora sangat tak sabar menunggu malam tiba. Sebelum Frans datang
menjemputnya dia sudah mandi dan berdandan cantik sejak sore tadi, sampai
membuat ibunya heran karena tak biasanya dia bertingkah seperti ini.
“mau pergi kemana sayang, kok tumben pakek make up?” Tanya ibunya
“apa itu ngak terlalu tebal untuk gadis seusiamu”, tambah ayahnya
“ehhh.. ayah, anak kita sudah besar dia sudah pantas pakek make up”,
bela ibunya
“mau keluar sama temen kok ma” jawabnya
“keluar kemana malam-malam begini?”
“Cuma mau jalan-jalan aja kok yah”, jelasnya
“yauda tapi jangan pulang malam-malam”, pesan ayahnya
Ketika itu mobil Frans sudah tiba didepan, Aurora segera menuinya diluar
Frans dan Aurora masuk kedalam untuk berpamitan kepada orang tua Aurora,
Aurora kembali kekamarnya untuk mengambil tas dan mereka berdua langsung pergi.
“kita mau kemana Frans?”
“nanti kamu juga tahu, oh ya kita mampir dulu kerumahku ambil sepedanya”.
Aurora menganggukan kepalanya dan mereka berdua menuju kerumah Frans.
Tiba dirumahnya Frans langsung memarkirkan mobilnya dibagasi rumahnya
dan mengambil sepedanya, “ayo naik”, ajak Frans
“kamu yakin?” Tanya Aurora karena dia tidak pernah naik sepeda
sebelumnya
“iya, buruan”
Aurora pun naik ke boncengan sepeda itu, sambil berpegangan pada
pinggang Frans karena takut terjatuh. Sedang Frans mengayuh sepedanya begitu
pelan. Mereka berdua menyusuri jalan dengan begitu santai, sambil menikmati
angin sepoi yang menyapa halus kulit mereka.
Tiba disebuah tempat yang begitu gelap, “Frans kenapa gelap sekali aku
sangat takut”
“hanya ditempat yang cukup gelap kamu bisa melihat bintang yang indah”,
katanya menenangkan Aurora.
Frans menuntun Aurora, dan mengajaknya berjalan menyusuri tempat gelap
itu. Tempat yang begitu rimba seperti hutan, mereka sampai pada tempat yang
dimaksudkan Frans.
“disini sungguh tempat yang tepat ketika mau melihat bintang-bintang”
Aurora mulai mengarahkan pandangannya pada langit luas diatasnya.
“kamu benar, bintang terlihat lebih indah disini”
Tangan Frans menggandeng lembut tangan Aurora, mereka sungguh menyatu
dalam pancaran cahaya bintang malam itu. Yah hanya cahaya bintang sebagai saksi
kebersamaan dua insan muda itu.
“waktu itu aku masih sangat kecil ketika kehilangan ibuku…”
Aurora memandang wajah Frans. Tak disangka Frans akan berkata demikian,
dia hanya mengelus pundak Frans untuk menenangkannya, karena dia tahu pasti
sangat sedih ketika dia mengingat ibunya yang sudah tiada.
“ibuku meninggal ketika melahirkan adikku?” dia melanjutkan ceritanya
“kamu punya adik sekarang?” tanya Aurora
Frans hanya menggelengkan kepalanya
“dia meninggal ketika masih didalam perut ibuku, dia belum sempat
melihat dunia yang indah ini”. Frans menitikan air matanya
Aurora memegang tangan Frans dan tersenyum padanya. “kamu bisa melalui
ini semua, mereka pasti bangga padamu”.
Malam itu rasanya bintang ikut terlarut akan cerita kesedihan Frans. Mereka
berdua menaiki sepedanya lagi menyusuri jalanan yang tenang, Frans mengajaknya
berhenti pada sebuah rombong nasi goreng pinggir jalan. Frans dan Aurora menikmati
nasi goreng mereka, sambil bersenda gurau. Tak terasa malam begitu larut Aurora
mengajak Frans untuk pulang.

Mereka berdua semakin mengenal dan saling mengerti satu sama lain, Aldo
yang dulunya dekat dengan Aurora sekarang pun menjauh, tak lama kemudian Aldo
jadian dengan Mona.
“selamat yah udah jadian sama Aldo”, Aurora berkata ketika dia dan Mona
duduk dibangkunya.
“tapi aku masih takut Ra”
“kenapa?”
“aku masih takut Aldo masih mengharapkanmu” jelas Mona
“Aldo sudah punya kamu mana mungkin dia masih memikirkan cewek lain,
percaya deh Aldo tulus sama kamu”, hiburnya
“makasih ya Ra, oh ya gimana kamu sendiri sama Frans. Udah jadian
belum?”
Aurora menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
“aku pikir kalian udah jadian kenapa begitu dekat sekali?”
“aku ngak tau Mon, yang jelas kita udah saling nyaman sama keadaan yang
sekarang”
“kamu harus resmiin hubungn kalian, kalau enggak bakal direbut sama
orang”
“kalau hati kita suda saling terikat apalagi yang mau diresmikan, itu
hanya status publik aja, kita ngak peduli soal itu”
Bel berbunyi mereka berdua memulai pelajaran, yang tak lain pelajaran
bahasa.
“baik anak-anak kalian bisa tuangkan pikiran kalian dalam sebuah puisi,
yang terbaik kita akan menempelkannya dimading sekolah”, perintah gurunya
Semua murid mulai menuliskan kata-kata pada sebuah kertas kosong,
begitupun Aurora, dia mulai dengan kata-kata dari hatinya
‘sore itu menjadi saksi bisu kita
Ditemani cahaya merah merona
Aurora yang begitu menawan
Kau kenalkan aku pada arti cinta
Bersamamu dan menggandeng tanganmu
begitu lembut
Menjadikan aku layaknya seorang putri
kerajaan
Kuberharap kaulah yang
menggandengku
Ke tempat suci tuk mengucap janji
setia itu
Bersama kita lewati hari-hari
Sampai tua menanti…’
Semua murid mengumpulkan lembaran puisi mereka, terpilihkan 3 puisi oleh
gurunya, salah satunya milik Aurora. Keesokan harinya puisi sudah terpampang
dimading sekolah.
“Ra puisinya udah terbit loh di mading”, kata Mona
“oh ya?”
“puisi kamu bagus banget, pasti buat Frans ya?”
“enggak kok Cuma lagi berimaginasi aja”, bantahnya
“halah ngaku aja deh” ledeknya
“udah ah yuk ke kantin, haus nih” ajak Aurora
Aurora menuju tempat sepinya, dia
melihat ruangan berwarna putih, juga vas bunga yang begitu indah, dia
membayangkan seorang lelaki datang padanya, ‘siapakah kau? Revan ataukah
Frans???’

Pesta proom night akan diadakan sebentar lagi, semua murid dari kelas
satu sampai kelas tiga sibuk mempersiapkannya. Panitia sudah menyiapkan band
yang akan mengisi acara dimalam tersebut. Menata panggung dan lantai dansa agar
berkesan begitu romantis dan tak dilupakan bagi seluruh peserta proom night.
“Ra nanti ke mall yuk?” ajak Mona
“ngapain?”
“beli gaun buat proom, temenin yah?” rayunya
“iya aku temenin”
“oh ya kamu datang sama Frans kan?”
“belum tahu, dia belum ngajak aku Mon”
“yaudah kamu aja yang ngajak duluan”
“nggak ah, udah yuk keburu bel masuk”.
Setelah bel pulang Aurora dan Mona langsung meluncur di salah satu mall.
Mencari-cari gaun yang cocok untuk dikenakan malam istimewa bagi semua murid.
Mona salah satu dari semua siswa yang sangat antusias menyambutnya tapi tidak
bagi Aurora, dia berfikir kenapa Frans belum juga menelfonnya untuk mengajak ke
pesta. Ketika mereka selesai membeli perlengapan, dua sahabat itu pun pulang.
Malam pun tiba, Aurora masih belum bisa memejamkan matanya. Akhirnya dia
memutuskan untuk menelfon Frans dan mengajaknya ke pesta.
“kamu mau kan ke proom night bareng aku?”
Lama tidak ada jawaban dari Frans, Aurora mengulang pertanyaan untuk
kedua kalinya…
“maaf Aurora aku nggak bisa, kamu harus pergi tanpa aku”, jawabnya yang
semakin membuat Aurora sedih.
“oke, kalau kamu nggak pergi begitupun juga aku”
“kamu harus ikut ke pesta, kamu yang akan jadi proom queen, pasti kamu
terlihat sangat anggun”
“aku gak akan berarti apa-apa tanpamu Frans”, langsung saja Aurora
mematikan sambungan telefonnya dan menangis tersedu di pojok kamarnya.
Dua minggu berlalu, pesta proom night semakin dekat, sudah nanti malam
acaranya akan dimulai. pagi siang sampai sore Aurora hanya berdiam saja
dikamarnya. Ketika itu tiba-tiba Mona datang kerumahnya.
“kamu kenapa Ra?”
“aku gak ikut ke acara proom night Mon”
“kenapa?”
“nggak papa” jawabnya singkat
“ayolah ini pesta yang ditunggu - tunggu semua murid Ra, masak kamu
nggak dateng”
Setelah beberapa saat akhirnya mona berhasil juga untuk membujuk Aurora
agar tetap datang ke proom night. Dia berdandan dan memakai gaun putih yang
selama ini disimpannya, sengaja akan dia pakai ketika acara proom bersama Frans,
namun impian itu gagal seketika ketika ajakannya ditolak oleh Frans.

Malam itu gemerlapnya lampu sungguh sangat mencolok, Mona yang sudah di
lantai dansa bersama Aldo, sedang Aurora hanya berdiri terdiam menyaksikan
kebisingan itu, akhirnya dia pun pergi keluar. Dia memandangi bintang yang
begitu indah malam itu, yang semakin membuatnya sedih karena dia sekarang
memandangi bintang-bintang itu sendirian tanpa ditemani oleh Frans. Dia
berjalan entah kemana kakinya membawanya pergi, tak terasa dia sudah berjalan
begitu jauh, sendirian dimalam yang dingin ini, dia melihat sosok yang sangat
dikenalnya dan dinantinya selama ini. Revan…
Dia segera saja berlari menuju Revan, tak disangka wanita datang
menghampirinya duluan sambil bergandengan mesrah bersama Revan. Tak terbendung
lagi air mata Aurora membasahi pipi. Malam ini sungguh begitu kejam, bahkan
ketika banyak bintang yang bertaburan dilangit tak membuat sedikitpun hati
Aurora tenang, seperti biasanya. Dia terus berjalan sambil terisak, gaunnya
yang begitu panjang membuatnya susah untuk berjalan akhirnya dia tersayut gaun
panjang dan terjatuh di jurang pinggir jalan. Malam begitu gelap tak seorang
pun melihat kejadian itu.
Sedang di sekolah SMA nya Frans datang segera menemui Mona, “Mon gimana,
berhasil??? Kemana Aurora? Mana dia Mon?” tak sabar Frans ingin bertemu dengan
Aurora. Frans ingin memberikan kejutan kepada Aurora dengan sengaja tak
mengajaknya datang ke pesta dan menolaknya ketika Aurora mengajaknya untuk
pergi bersama.
“tadi dia berdiri di sebelah lounge, coba kamu cari Frans”.
Frans segera mencari keberadaan Aurora di lounge. Dan hasilnya Nihil.
Mona yang tak mengetahui keberadaan sahabatnya itu karena asik berdansa dengan
Aldo. Tiba-tiba saja datang 3 orang warga menuju gedung tempat pesta itu. “ada
cewek jatuh di jurang”, sambil berteriak-teriak kepada semua orang memberikan
berita mengejutkan, karena yakin bahwa perempuan itu salah satu murid yang
mengikuti pesta di gedung sekolah SMA itu. Segera Frans berlari kencang menuju
jurang pinggir jalan yang disebutkan orang tadi. Mobil polisi segera datang mengerahkan
para personilnya untuk mencari seorang perempuan yang terjatuh malam itu.
Ketika polisi menemukannya salah seorang polisi memberikan laporan kepada
komandannya. “lapor, ndan kita sudah menemukannya”
“baik mari kita kesana”
Ternyata benar perempuan itu adalah Aurora. Semua teman-teman shock
melihat Aurora yang bersimbah darah diwajah cantiknya. Frans langsung memeluk
tubuh itu, merangkulnya dalam-dalam dan berharap Aurora akan kembali, dan
menemaninya seperti hari-hari sebelumnya. Tak terkecuali Mona dan Aldo mereka
menangis tersungkur di pinggir tubuh Aurora yang sudah tidak bernyawa.

Sudah setengah
tahun semenjak kematian Aurora. Frans duduk dibangku yang dulu diduduki Aurora.
Mona tiba-tiba datang menghampiri Frans. Memegang pundaknya sambil menangis.
“andai saja kejutan itu tidak kita rencanakan sebelumnya” sambil terisak,
menyesalinya tanpa henti.
“aku selalu
memikirkannya tiap malam, dia sungguh sahabat terbaik yang kumiliki”, dia terus
menangis dihadapan Frans.
“ini sudah
menjadi takdirnya, ada masa dimana kita tak bisa merubahnya, dia sudah bahagia
di singgahsananya”, sambil tersenyum, senyum yang berharap Aurora akan melihatnya.
Sore itu
hujan rintik-rintik, namun cahaya mentari tetap memaksa keluar menunjukan
keagungannya. Cahaya merah merona di ufuk barat yang sungguh indah. Disertai
pelangi yang menemaninya. Frans berdiri sendiri ditepat itu, tempat pertama
kali mengajak Aurora ke bukit indah itu, yang dinamainya bukit Aurora.
‘lihatlah kau begitu mempesona sore
ini, bahkan pelangi turut tunduk pada cahaya elokmu, AURORA….’
(Bella
nosevia A. 19 Sept’14)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar