“WANITA PENCERAHKU”
Sesaat
sebelum pergi dia meninggalkan sepucuk surat diatas meja, tepat disamping kendi
itu berada. Pergi dengan langkah gontai menuju suatu daerah yang entah
berantah. Dia seorang diri berkelana menuju kehidupan terkeras didunia ini. “aku
berjanji akan kembali membawakan sepasang sepatu untukmu sekolah nanti”. Kata2
yang diucapkannya sebelum dia benar-benar menghilang dari pandangan. Tetesan
air mata menghantarkan kepergiannya. Dia dua bersaudara yang hidup digubuk
tengah kebun sendirian. Malamnya hanya ditemani sebatang lilin. Gubuk reyot itu
yang hanya beratapkan dedaunan kering yang lapuk. Sekarang dia, adiknya hanya
sendirian menunggu sang kakak kembali membawakan janji yang terucap. Setelah
hampir 3 jam dia berdiri didepan pintu dia pun masuk kembali kerumah, rumah
yang hanya 1 kamar tidur tanpa pintu, tanpa alas tanpa apapun hanya 3 pasang
paku untuk menaruh bajunya. Dan 1 ruang lagi untuk memasak, hanya perapian
usang yang tua, dan tungku pembakaran yang sudah hitam akibat asap yang selalu
membumbung. Adiknya Saroh yang masih 7 tahun tanpa siapapun sekarang yang
menemaninya. Malam pun tiba, bulan yang cantik sudah ingin memperlihatkan
keelokan dirinya. Saroh hanya memandangi bulan dan berharap bisa dengan ibunya
menghabiskan waktu malam yang gelap ini dan merasakan kehangatan pelukan sang
bidadari. Orang tua yang sudah meninggalkannya dua tahun lalu. Tok…tok, “Saroh
kau ada dirumah nak?” suara dari depan rumah yang mengagetkannya, Saroh keluar
dengan perlahan karena sebelumnya belum ada seorangpun yang bertamu kerumahnya.
Wanita paruh baya itu pun langsung memeluk Saroh, linangan airmatanya membasahi
pipi. Wanita itu pun membuka sepucuk surat yang tertinggal dimeja itu, membaca
dengan tangan bergetar dan kedua kalinya memeluk tubuh mungil itu dengan sangat
erat. “ikut ibu nak, ibu akan merawatmu dengan baik, dan akan menyayangimu
seperti anak ibu sendiri”, kata wanita itu dengan suara payau. Saroh tak
menjawab dan hanya menangis, yang semakin membuat hati wanita itu teriris.
Wanita itu pun memasukkan pakaian Saroh kedalam tas miliknya. Tak banyak yang
dimasukannya karena pakaian yang dimiliki Saroh hanya beberapa potong saja.
Sesaat setelah itu ia pun membawa Saroh meninggalkan rumah itu. Menyusuri
jalanan hingga mereka keluar dijalan besar. Ibu menghentikkan angkot yang masih
beroperasi malam - malam untuk mengantarkannya dan Saroh menuju rumahnya. “nah
ini nak rumah ibu, sekarang Saroh tinggal disini sama ibu, yah”, kata ibu tadi
sambil membelai rambut Saroh. Saroh hanya mengangguk karena bingung entah
berkata dan berbuat apa.
Pagi pagi
buta, Saroh membuka matanya dan segera menyadari dimana dia sekarang. Ketika
membuka pintu kamarnya dia mendapati ibu yang sudah bersiap untuk sholat.
“saroh kamu sudah bangun nak?” Tanya ibu dengan lembut. “iya bu” jawabnya
singkat. “ayo segera ambil wudhu kita sholat berjamaah”. Mereka sholat dengan
khusyu’ masing masing mengucapkan doa yang berbeda. Bahwa Saroh hanya ingin
melihat abangya lagi. Dan kembali hidup seperti dulu, karena dia pun bingung siapa
wanita yang telah membawanya kerumahnya. Yang dia tahu keluarganya hanyalah
abangya seorang.
Setelah sholat
Saroh menemani ibu untuk berbelanja dipasar. “ibu kenapa belanja banyak
sekali?” tanyanya. “nanti kamu akan tahu nak, ayo sekarang bantu ibu membawanya”
pinta ibu. Sesampai dirumah ibu menjelaskan bagaimana membuat kue. “ini akan
ibu titipkan ditoko-toko, dan kita akan mengambilnya sore hari”, jelasnya. Tak
banyak tanya Saroh langsung membantu untuk membuat kue kue itu dan
mengantarkannya ke toko untuk dijual. Ia berjalan menyusuri jalan, sampai
diteras rumah ia dikagetkan dengan ibunya. “saroh kau akan sekolah, ibu akan
mendaftarkanmu sekolah besok”, dengan wajah berkaca-kaca ibunya berkata
demikian. “tapi ibu aku tidak bisa apa-apa, aku belum pernah sekolah, dan aku
tidak memiliki seragam”, tertunduklah wajah Saroh, karena dirinya pun ingin
menikmati bangku sekolahan agar bertemu banyak teman dan bisa membaca. “kita
akan cari solusinya untuk biayanya nak, sekarang kau akan mendaftar dulu di
sekolah”, peluk ibunya.
Pagi-pagi
Saroh dan ibunya pun berjalan menuju sekolah terdekat, tepatnya di SD Negeri Pagasan,
salah satu desa terpencil didaerah tersebut.
“Apakah Saroh sudah lulus taman kanak-kanak
bu?” Tanya kepala sekolah SD yang menerima pendaftaran murid baru ditengah
semester ini. “maaf bu, Saroh belum pernah duduk dibangku sekolah, tapi saya
janji akan mengajari Saroh belajar dan cepat mengikuti teman-temannya”, bela
ibunya dengan harap-harap cemas karena takut dia tidak menerima Saroh untuk
bergabung disekolahnya. “saya mohon bu, anak ini butuh sekolah, dia anak yang
cepat tanggap dan pekerja keras. Saya bisa jamin itu, dia tidak akan menjadi
murid malas disini”.
“baiklah,
saya akan lihat perkembangan Saroh, dan besok bisa mulai masuk, tetapi ibu
harus memabayar administrasi dulu agar Saroh bisa belajar disekolah ini”. Berdebar-debar hati Saroh menerima kegembiraan
ini bahwa ia bisa sekolah. Dan sekolah baginya adalah hal yang mewah, yang
sangat mustahil bahkan untuk membayangkannya. Hari-hariya lebih berwarna
seketika itu juga. Dia bangun pagi-pagi membantu ibunya didapur dan pukul 6
pagi dia siap-siap untuk berangkat sekolah. Pulang sekolah jam 12 siang dia
langsung membantu orang-orang dipasar untuk mendapat tambahan uang, sore hari dia
mengambili hasil kue yang dititipkannya di toko-toko. Dan bersiap untuk belajar
malam harinya. Aktivitas seperti itu berulang hingga tak terasa 6 tahun sudah
dia melakukan rutinitas seperti itu.
“ibu, dua
minggu lagi Saroh akan ujian Nasional bu”
“oh ya
sungguh kau sudah akan lulus SD nak” bangga ibunya, namun ibunya tak mendapati
kegembiraan pula di wajah Saroh.
“apa yang
mengganjalmu nak, coba utarakan pada ibumu ini”
Melihat
Saroh yang tak kunjung menjawab pertanyaan ibunya, ia pun langsung memeluk
Saroh. Saroh merasakan pelukan hangat dari seorang ibu, seorang ibu pula yang
membawanya keluar dari rumah gubuk itu, dan mengenalkannya pada dunia
pendidikan yang membawanya pada sebuah tempat yang terang benderang. “bu guru
tadi bilang bahwa Saroh akan mengikuti Ujian ketika usai membayar lunas SPP”,
jawabnya dengan nada murung. “baiklah nanti ibu akan kesekolahmu untuk meminta
keringanan, dan kau masih bisa ikut ujian”, hibur ibunya.
Setelah
Saroh berangkat kesekolahnya sang ibu mulai terlihat bingungnya, ‘aku sudah
bertekad membantu anak itu, aku akan membantunya sampai selesai’, ucap sang ibu
dalam hati. Ia pun membuka kotak kayu yang berdebu yang sudah lama tak
disentuhnya. ‘Ini akan cukup untuk melunasi tunggakan SPP’ ucapnya. Ibu
berjalan ke pasar menuju toko perhiasan untuk menjual perhiasannya. “245 ribu,apakah
bisa bapak memeberikanku sejumlah itu?”
“saya akan
cek dulu, boleh ibu?” Tanya si pemilik emas tersebut
Setelah
mengecek emas milik ibu dia langsung keluar dan berkata, “saya hanya berani 187ribu
saja, bagaimana bu?”
“apakah
tidak bisa naik sedikit lagi?”
“maaf bu
sudah 187ribu tidak bisa naik lagi”
Akhirnya ibu
pun menyetujui dan menyerahkan harta berharganya untuk meluluskan Saroh dari
sekolah SD nya.
Setelah
menerima uang itu langsung bergegaslah ibu menuju sekolah Saroh dan melunasi
kekurangan pembayarannya.
“Saroh
dipanggil bu Rosi di ruang guru”,kata seorang temannya.
Dengan takut Saroh melangkahkan kakinya menuju
ruang kepala sekolah, dia pun mengetuk pintu dengan perlahan, ‘semoga saja
semua guru rapat sehingga batal untuk memanggilku’ suara hatinya berkata
“masuk saja
Saroh”, panggilan gurunya yang mengagetkan dari lamunannya
“ini kartu
peserta ujianmu”, bu Rosi menyerahkan selembar kertas peserta ujian miliknya
yang tertahan karena terlambat membayar administrasi. “terimakasih bu”,
jawabnya dan segeralah dia mengambil kartu tersebut dari tangan gurunya dan
keluar dari ruang guru.
‘apa ibu
sudah membayarnya, bagaimana ibu membayarnya, apakah ibu berhutang pada
rentenir?’, berbagai fikiran berkecamuk mengelilingi otaknya. Segera setelah
bel pulang dia berlarian menuju rumahnya
“IBU….IBU….!!!”teriaknya
karena tak sabarnya mendengar penjelasan ibu
“iya Saroh
kenapa kau berteriak-teriak?” jawab ibunya
Saroh menyerahkan kartu pesertanya pada ibu,
“apakah ibu berhutang pada rentenir?”
“tidak nak,
ibu menjual perhiasan ibu, sehingga bisa melunasi sekolahmu
Berlinanglah
air mata Saroh “terimakasih bu, sudah berkorban banyak untuk Saroh, Saroh janji
akan membahagiakan ibu nanti, ibu sabar yah”
“dengan
melihat senyumanmu saja sudah sangat membahagiakan ibu” berpelukanlah mereka
berdua sebagai seorang anak dan ibu sejati
Sungguh
dunia amat keras bagi janda yang tak punya anak dan seorang anak yang sebatang
kara ini. Namun mereka saling menyayangi satu sama lain, saling melengkapi dan
berperan baik sebagai ibu dan anak.
Saroh
berusaha memahami semua materi sekolahnya. Bahkan ketika dia bekerja membantu
orang-orang berjualan dipasar di sempatkan membawa buku dan membacanya. Ia
lakukan agar mendapat nilai bagus dan tak menyia-nyiakan pengorbanan ibunya.
Senin pagi,
Saroh dan ibunya sholat berjamaah bersama –sama. “kau tidak usah membantu ibu
seminggu ini dan jangan bekerja dipasar lagi nak, kamu harus bisa fokus pada
ujianmu”
“tidak apa
bu, aku bisa bekerja sambil membawa buku”
“tidak, ibu
tidak membolehkanmu nak, ibu sudah bodoh ibu tak ingin kau menikmati masa –
masa seperti ibu, masa dimana seharusnya kau hidup tenang dan tersenyum bersama
keluargamu kelak”.
“iya bu akan
kulakukan semua perintah ibu”
“cepat ganti
seragammu dan sarapan”, perintahnya
Saroh
menghadap cermin, begitu lama entah apa yang difikirkannya. Sesekali dia
tersenyum, berpose lainnya yang membuatnya terpaku pada pantulan bayangannya
dicermin sampai dia tak mendengar panggilan ibunya. “Saroh kenapa kau begitu
lama, kau tidak ingin terlambat ujian nasionl bukan?” Tanya ibunya
“oh iya bu
maaf, Saroh akan siap-siap sekarang”
“cepat makan
nasi yang sudah ibu siapkan dimeja, dan lekaslah berangkat”
Dia berjalan
menuju sekolahnya lebih pagi agar dia mempersiapkan ujiannya dengan baik, dan
dia bisa mencari bangku ujiannya. Di jalan ia terpukau pada suatu reklame sabun
dipinggir jalan yang terpampang besar. Begitu lama ia menatap pada wanita
cantik di reklame tersebut.’aku akan berpose seperti itu juga kelak’ batinnya
dalam hati. Dia berlarian menuju sekolahnya karena terlampau lama dia menatap
pada reklame di pinggir jalan tadi.
Setelah
berlarian dia mencari kelasnya akhirnya dia menemukan bangkunya. Dia segera
memasuki ruangan dan meletakkan tasnya. Mempersiapkan alat tulisnya, alas untuk
menulis dan penghapus 2B. hari pertma ujian adalah b.Indonesia, dengan mudah
dia mengerjakannya, karena dia sudah mengikuti beberapa TRY OUT yang bahkan
lebih sulit untuk menyelesaikannya. Hari pertama begitu memuaskan baginya. Dia
pulang kerumah begitu senang dan segera memberitahukan pada ibunya.
“cepat kau
masuk kamarmu dan istirahatlah”, pinta ibunya ketia Saroh mencoba membantunya
untuk membuat pesanan kue.
“tapi bu
akhir-akhir ini ibu banyak pesanan, aku tak mungkin meninggalkan ibu sendiri”
“ibu hanya
meminta kau untuk belajar dan belajar untuk ujianmu, kau bisa membantu ibu lagi
ketika ujianmu telah usai”
“sebentar
lagi bu, yah…. Nanti pukul 3 sore aku akan berhenti membantu ibu dan belajar”,
dengan senyum di bibirnya.
“kau
benar-benar anak bandel, ya sudah pukul 3 kau harus segera belajar lagi”
Saroh pun
membantu ibunya dengan semangat, bahkan sampai pukul 3 lebih dia tetap membuat
adonan kue untuk dikukus. Dia sengaja tak melihat jam, dan ibunya pun lupa akan
itu karena saking repotnya mengerjakan 300 pesanan kue bolu untuk acara
syukuran tetangganya.
“bu kenapa
bikin 320 buah, pesanannya kan 300 saja bu?”, Tanya Saroh
“yang 10
buah ibu berikan bonus karena sudah memesan banyak, yang 10 buah untuk tetangga
agar mereka merasakan juga kue buatan ibu meskipun mereka tidak memesan”
“baiklah
bu”.
“Saroh cepat
kau masuk kekamarmu, belajarlah biar ibu yang melanjutkan sisanya”
“biarkan
Saroh bantu sampai selesai bu”
“ini hanya
tinggal dikukus saja, ibu bisa lakukan sendiri, cepatlah masuk, buatlah ibu
bangga dengan nilai bagusmu”, pesan ibunya dengan tatap mata yang lembut.
Saroh pun
tak bisa menolak, dia pun bergegas menuju kamarnya, tidak langsung mengambil
bukunya, melainkan terpaku pada kaca, lagi – lagi dia berpose menirukan model
reklame yang dilihatnya dipinggir jalan tadi.
“saroh ibu bawakan teh biar kau lebih tenang belajarnya”, Saroh langsung tersentak ketika ibunya tiba-tiba masuk. “iya bu terimakasih, Saroh akan belajar dengan giat”
Dia segera
memalingkan wajahnya dari cermin dan berkonsentrasi pada buku-bukunya.
Hari-hari
telah berlalu, keempat pelajaran yang diujikannya sudah terselesaikan dengan
baik. Tiba saatnya wisuda. Ibu dan Saroh pergi bersama-sama kesekolah
menghadiri wisuda purna siswa. Semua murid kelas 6 berdiri menyanyikan sebuah
lagu untuk dipersembahkannya pada guru-guru dan adik-adik kelas yang akan
ditinggalkannya. Tiba seorang kepala sekolah memberikan sambutannya. Setelah
itu guru yang menjadi pembawa acara mengumumkan hasil nilai terbaik disekolah
ini.
“murid
teladan tahun ini diraih oleh ananda Saroh Mela”, tepuk tangan diruangan itu
terdengar sangat riuh sekali. Tak terbendung air mata ibunya Saroh, mengalir
dengan derasnya mendengarnya. “ananda Saroh beserta wali dimohon naik keatas
panggung”, kata guru itu lagi
Saroh dan
ibunya pun bergegas naik panggung. “selamat yah bu Saroh mempertahankan
nilainya untuk menjadi ranking pertama dari kelas satu, sungguh kebanggaan
memiliki anak didik seperti dia”, tambahnya lagi. Ibunya tak mampu berkata-kata
lagi selain hanya kagum terhadap anak yang diasuhnya itu. Dia memeluk Saroh
erat sambil melinangnkan air mata kegembiraan. Diserahkannya piala dari kepala
sekolah kepada Saroh.
Sesampainya
dirumah ibunya pun bertanya pada Saroh “mengapa kau tak pernah memberitahukan
pada ibu bahwa kau selalu ranking dikelas”,
“Saroh hanya
ingin ibu mengetahuinya sendiri, Saroh rasa sesuatu yang diumbar jadinya tidak
spesial lagi bu, maafkan Saroh”
Ibunya tak
bisa berkata apa-apa lagi dan hanya memeluk Saroh. “sudah kamu makan dan cepat
ganti pakaianmu” perintah ibunya
Hari baru
telah tiba, bagi Saroh dan bagi ibunya. Malam begitu larut namun Saroh tetap
menikmati beberapa bintang yang bertabur dilangit.
‘bagaimana
aku melanjutkan hidupku? Sudah terlampau banyak beban ibu saat menyekolahkanku,
bagaimana aku sanggup memintanya untuk menyekolahkanku lagi? Terlampau tinggi cita-cita
yang kuharapkan, namun kutahu keadaanku yang berat yang menahan semua itu’
Tiba-tiba
ibunya mengagetkannya dari belakang, “Saroh kau belum tidur?” Tanya ibunya
“belum bu,
Saroh masih ingin menatap bintang indah itu”
“dulu saat
ibu seusiamu ibu adalah anak yang malas, orangtua ibu usaha membuat kue, ibu
anak tunggal, dan selalu dikatakan iya untuk semua keinginan ibu. Sampai pada
kematian ibuku, semua berubah. Ayahku yang tak sanggup menahan beban hidup tanpa
ibuku, pergi meninggalkan aku sendirian. Datang seorang wanita yang sangat
anggun dan baik. Dia memberi ibu sebungkus makanan untuk ibu, karena dia tahu
ibu sama sekali belum makan. Dia selalu datang mengunjungi ibu, disisa hidup
ibu yang sangat hancur. Ibu putus sekolah dan memulai hidup susah ibu sejak
saat itu, ketika itu ibu bertanya pada wanita itu, bagaimana mungkin dia bisa
tegar menghadapi kemiskinannya dengan selalu tersenyum dan bisa membantu orang,
dia berkata bukan kekayaan dan pangkat yang akan dilihat Tuhan tetapi seberapa
baikkah kau terhadap umat-Nya, kata-kata itu yang selalu membekas dihati ibu
sehingga ibu bisa melanjutkan hidup ibu dengan baik”. Cerita ibu pada Saroh
malam itu
“lalu,
dimanakah wanita itu sekarang bu?”
Ibu menangis
seketika mendengar pertanyaan Saroh. Ia memeluk tubuh Saroh dengan erat.
“wanita itu adalah ibumu nak, ibumu yang membantu ibu untuk tetap hidup dan
mengajarkan arti kehidupan yang sesungguhnya”. Saat kau berumur 5 tahun ketika
ibumu meninggalkanmu. Aku tak pernah berkunjung sekalipun kerumahmu dan melihat
keadaan ibumu secara langsung. Sungguh sangat teriris membalas kebaikan ibumu
dengan sikap angkuh ibu. Aku baru datang kerumahmu ketika ibumu tiada, maafkan
ibu nak, maafkan ibu……”
Malam itu
begitu terasa panjang, begitu sunyi hanya terdengar suara isakan anak dan ibu.
Bintang yang menjadi saksi bisu cerita mengharukan itu. “ayo kita masuk udara
dingin akan buruk untuk kesehatanmu”, ajak ibunya
Dengan
tertatih namun pasti ibu berusaha meningkatkan berjualan kue, hanya untuk
melanjutkan sekolah Saroh. “nak ibu akan menyekolahkanmu tahun depan, untuk
saat ini kita harus menabung terlebih dulu, bersabarlah nak”
“aku akan
membantu ibu membuat kue, aku akan tetap belajar bu”
Hari demi
hari berlalu, selain mengerjakan pesanan mereka tetap membut kue untuk dititipkannya
di toko-toko. Hari berganti minggu……. Minggu berganti bulan
Akhirnya
hari yang dinantikan pun datang juga. Saat pendaftaran murid SMP. Saroh segera
mengambil formulir untuk diberikan pada ibunya. Mereka berdua bersama-sama
menuju sekolah SMP untuk mendaftarkan Saroh. Ketika usai mengambil formulir
esoknya Saroh mengikuti beberapa tes untuk mengetahui apakah dia layak masuk
atau tidak. Saroh mengerjakannya dengan sangat antusias. Mengerahkan segala
kemampuannya untuk mengingat – ingat pelajaran setahun lalu
Tiba hari
pengumuman bagi siswa yang diterima atau gagal. Saroh mencari dengan teliti
namanya namun tak kunjung menemukannya juga. Dicarinya berulang kali pada papan
pengumuman itu namun hasilnya tetap sama. Dia berjalan perlahan pulang dengan
berat dan kecewa.
“maaf bu
Saroh gagal”, isak tangisnya memecah kesunyian dirumah itu
“tidak apa
kita bisa mendaftar disekolah lainnya nak, besok akan ibu temani kau mengambil
formulir disekolah lain, asalkan kau tetap bisa bersekolah nak, ibu akan selalu
berjuang” hibur ibunya
Saroh pun
melanjutkan disekolah swasta. Setelah mengikuti Masa Orientasi Siswa sekarang
dia telah resmi menjadi siswi SMP. Dan hari-harinya kembali berwarna seperti
dulu. Bertemu banyak teman dan belajar lagi. Sepulang sekolah Saroh tidak
langsung pulang. Dia mampir pada sebuah toko yang mencari karyawan untuk
menjaga toko sepatunya, ‘aku akan mencari pekerjaan, aku tau biaya SMP akan
lebih mahal’ katanya dalam hati
“boleh saya
melamar pekerjaan bu?” kata Saroh ketika menemui wanita pemilik toko tesebut
“kamu yakin
ingin bekerja, bukankah kamu masih SMP, bagaimana bisa bekerja disini?” kata
pemilik toko
“sepulang
sekolah saya akan langsung bekerja disini sampai malam, minggu mulai pagi saya
akan mulai bekerja”
Melihat
tekadnya pemilik toko itu pun menerima menjadi karyawannya. “baiklah besok bisa
mulai kerja” katanya dengan senyuman
Saroh tak
memberitahukan pada ibunya mengenai pekerjaannya sepulang kerja dia bergegas
membantu ibunya untuk membuat kue. Waktu istirahatnya pun sangat terbatas.
Tengah malam dia tetap belajar untuk memepertahankan nilainya.
“Saroh apa yang kau lakukan sampai malam hari
apa sekolahnmu sekarang memberimu tugas begitu banyak?” Tanya ibu ketika
melihat kebiasaan baru Saroh
“iya bu
Saroh ikut organisasi disekolah sehingga banyak kegiatan sampai malam hari”
jawabnya dengan terbata
“kau tak
bisa membohongi ibumu nak, ibu yang sudah hidup denganmu bertahun-tahun
lamanya, apa yang kau lakukan nak, jawab ibu?”
Akhirnya
Saroh pun berkata sebenarmya pada ibu. “saroh bekerja di siang sampai malam
hari bu, sepulang sekolah Saroh bergegas menjaga toko sepatu milik orang”,
jelasnya
“mengapa tak
kau katakan pada ibu?
“saroh hanya
ingin lebih mandiri dan tidak merepotkan ibu lebih banyak lagi”
Ibu hanya
memeluk Saroh dan berkata, “kalau kau lelah kau bisa beritahu ibu, ibu akan
memijitimu”
“ibu yang
lebih capek dari Saroh ibu bekerja lebih banyak dari Saroh, Saroh hanya ingin
berjuang agar tetap bisa bersekolah bu”
3 bulan
lamanya Saroh bekerja pada sebuah toko sepatu sampai akhirnya dia diberhentikan
karena penjualannya tidak begitu memuaskan, sehingga pemiliknya memutuskan untuk
menutup tokonya dan mengganti usahanya. Bingung lagi-lagi menyelimuti fikiran
Saroh. Sudah 3 bulan dia mampu memenuhi kebutuhannya dan tidak meminta uang
pada ibu untuk keperluan sekolahnya ataupun iuran sekolahnya sekarang dia harus
mencari pekerjaan lagi untuk menyambung kehidupan sekolahnya.
Ia berjalan
menyusuri jalanan dan ada sesuatu yang menghentikan langkahnya. Sekerumunan
orang dengan peralatan yang besar dan banyak mobil-mobil terparkir. Dia
berjalan mendekat dan mengamati apa yang dilakukan orang-orang itu. Dia melihat
wanita begitu cantik berbalut gaun putih sangat menawan. ‘itukan model,
ternyata mereka sangat anggun dan cantik’ batinnya
Orang-orang
menghentikan aktifitas memotretnya. Salah seorang dari mereka menghampiri Saroh
yang dari tadi mengintip dari kejauhan. “heh kau, mau gabung dengan kami” kata
lelaki besar didepannya
Langsung
dibawa Saroh pada seseorang yang tak dikenalnya sama sekali. Dia mulai mebuka
ikatan rambut Saroh dan mendandani wajah Saroh, ketika selesai mereka
mendandani diberikannya cermin pada Saroh. Tercengang Saroh melihat perubahan
wajahnya yang menjadi sangat cantik seperti model yang diidam-idamkannya. “siapa
namamu?” Tanya seseorang yang tadi menghampirinya “saroh, nama saya Saroh”
jawabnya terbata
“Baiklah
Saroh sekarang kamu menuju kesana dan kamu akan dipandu disana”
Berjalanlah
Saroh menuju tempat yang ditunjuknya tadi.
Seseorang
memberikan arahan dan mulai memotret Saroh. 3 foto pertama Saroh begitu
canggung. Dan akhirnya Saroh mulai terbiasa untuk melakukan pose dengan natural
sehingga foto yang dihasilkannya pun nampak bagus. Beberapa jam setelah pemotretan itu
kemudian Saroh diantarkannya pulang. Sebelum turun dari mobil yang
mengantarkannya Saroh diberi sebuah amplop yang dia tidak tau apa itu isinya.
Dia
menceritakan kejadian itu pada ibunya. Dengan memberikan amplop itu juga pada
ibunya. “saroh didandani dan disuruh berpose bu, ketika mereka selasai memotret
Saroh mereka memberikan amplop ini”. Ibu langsung membuka amplop itu dan
menemukan selembar ketras merah berjumlah 100ribu rupiah.
“mereka
menjadikanmu seorang model nak, tapi bagaimana kau bisa?” Tanya ibunya
“entahlah bu
aku hanya menghadap kamera dan memberikan senyum terbaikku ketika mereka
memotretku”, ceritanya dengan mata berbinar
“sungguh kau
suka melakukan hal ini nak?”
“iya bu, aku
sungguh menikmatinya”
“semoga
jalan terbaik disana sedang dipersiapkannya untukmu” doa ibunya
Esoknya dia
menjalani aktifitas seperti biasanya, pulang sekolah dia tak mendapati seseorang
yang dinantinya. Sepulang sekolah dia segera membantu ibunya didapur seperti
biasa. Karena dia sudah tak bekerja lagi sekarang dia langsung menuju rumah
ketika sekolah usai.
Sore
berganti malam. Matahari sudah ingin mengistirahatkan dirinya dan kembali ke
peraduannya. Bergilirlah bintang bulan yang keluar dari singgasananya, dan
menunjukan pose terelokknya pada umat manusia, untuk menemani jiwa-jiwa yang
tenang.
Malam sunyi
hanya ditemani hembusan angin pelan yang membelai rambutnya, Saroh duduk
diteras rumahnya, memegang lembut pipinya, memikirkan kapan masa terindah dalam
hidupnya akan menyapanya.
Sebulan
setelah kejadian itu berlangsung mobil itu datang lagi kerumahnya. Sepulang
sekolah dia dikagetkan oleh mobil yang diparkir didepan rumahnya
“nah itu
Saroh sudah pulang, langsung bapak bicarakan sendiri dengan anknya bersedia
atau tidak?” kata ibunya yang terdengar samar-samar karena dia mendengar dari
kejauhan.
Kedua orang itu
pun menyalami Saroh. Saroh ikut duduk diruang tamu bersama para tamu-tamu itu.
“begini
Saroh perusahaan kita tertarik dengan hasil foto Saroh yang kita ambil beberapa
waktu lalu, kita memang sedang membutuhkan model dengan wajah dan aura natural
untuk project kami, bila Saroh tak keberatan Saroh ikut dengan kami untuk
menerima bimbingan modeling dan bekerja pada perusahaan kami”. Panjang lebar
salah satu tamu menjelaskan maksud kedatangannya kerumahnya.
“tapi apakah
saya sanggup untuk itu,saya gadis biasa dan tak berpengalaman apa-apa”,
rendahnya
“terkadang
kita pun bisa menemuman emas bahkan digot sekalipun, pada tempat yang sungguh
tak terduga adanya”, jelas salah seorang lagi.
Saroh
memandang ibunya, dia berfikir akankah dia tega meninggalkan seorang ibu yang
sudah merawat dan mengasihinya selama hidup.
“aku takkan
meninggalkan ibu untuk hal apapun” katanya pada ibunya
“sungguh kau
tak ingin membuat ibu bahagia, nak?”
“tapi tidak
dengan membiarkan ibu mengalami semua ini seorang diri bu”
“kau akan
pergi dengan restu ibu, dan ibu akan melihatmu terbang untuk membawa ibu
ketempat lebih baik”, desak ibunya
Setelah
panjang lebar dia dan ibunya berdiskusi akhirnya berangkatlah Saroh ke Jakarta
untuk mendapatkan pelatihan modeling. Hal yang selama ini diidam-idamkan dan
selalu disimpannya dalam-dalam.
“bu, ibu
belum tidur?”
Saroh
mendatangi ibunya dikamarnya,hal yang tak pernah dilakukannya selama ini
Ibunya
tersenyum melihat kehadirannya, “sini nak malam ini tidurlah dengan ibu”
Malam itu
mereka berdua bercerita panjang lebar, seperti seseorang yang akan pergi jauh
dan tak kembali lagi, mereka menceritakan hal-hal lucu dan berbagai hal lain,
sampai waktu menunjukan pukul 2 pagi. Tak terasa sudah berjam-jam mereka
bercerita sebagai salam perpisahan.
Pagi ketika
Saroh terbangun ia tak mendapati ibunya disampingnya, dia segera keluar dan
mencari ibunya. Ternyata ia mendapati ibunya sedang menyiapkan pakaian dan
makanan untuk Saroh. “kau sudah bangun nak, cepat mandi dan bergegaslah
sarapan”
“iya bu, Saroh
ingin membantu ibu dulu”
“ibu sudah
selesai, sekarang mandilah nak”
Saroh
bersiap dengan memakai baju terbaiknya untuk dipakai berangkat ke Jakarta.
Pukul 8 pagi mobil itu pun menjemputnya.
“ibu tak
bisa memberikanmu apa-apa selain doa tulus seorang ibu, nak. Berusahalah disana
dan jangan pernah menoleh kebelakang”, pesan ibunya
“baiklah
ibu, Saroh berangkat dulu”. Berpelukanlah mereka berdua
Sekarang
tinggallah seorang janda itu sendirian menatapi mobil yang membawa putri
asuhnya keluar pulau, dan tak tahu kapan ia akan kembali lagi menemuinya.
Setelah
berjam-jam berkendara sampailah dia di ibukota. Dan tiba disebuah rumah mewah
yang akan ditinggalinya
“kau kan
tinggal disini Saroh, kalau boleh tahu nama lengkapmu siapa?, Tanya seorng pria
tadi
“Saroh Mela”
“oke
sekarang nama kamu Pamela, nama itu akan kau pakai disini” jelasnya
Saroh hanya
tertunduk mengiyakan perkataan seorang tadi.
“panggil aku
bang Jon aku yang akan mengurusi mu jika ada pemotretan diluar kota atau luar
pulau”, jelasnya
Dia memasuki
gedung itu dengan takjub, belum pernah ia memimpikan akan memasuki ruangan bak
istana ini dengan bau yang harum, sungguh dia tak ingin beranjak selangkah pun
dari pintu masuk ruangan itu.
“Pamela
buruan, kau akan tinggal di asrama ini dan ruanganmu ada diatas, ikuti aku”,
suara bang Jon mengagetkan Saroh
Saroh
mengikutinya sampai di lantai atas menaiki lift yang dia sendiri tak tahu
bagaimana mengoperasikan barang ini.
‘sungguh
dunia amat luas, banyak hal tak kuketahui bahkan untuk tempat tinggal’ batin Saroh
dalam hati
Beberapa
hari dia dikelas sungguh merasa terasingkan, tak berbicara dan tak tegur sapa
dengan teman-temannya. Sampai suatu ketika di didatangi seorang wanita cantik
berambut pirang, “hey” sapanya
“iya mbak,
bicara dengan saya?” katanya
“what’s
you’re name?”
“I am
Sar…emmmm sorry I am Pamela”
“what class
of yours?”
“I am still
new member here”
“oh good
luck in our group, hope you can still alive”
“oke thank
you”
Tak heran
Saroh bisa menggunakan sedikit ilmu di pelajaran bahasa inggrisnya, dia selalu
unggul dan memahami dalam bidang apapun termasuk bahasa. Berbulan bulan dia
menjalani kehidupan barunya, dan berbulan bulan sudah dia meninggalkan ibunya.
Sering dia mendapat cemooh, cacian dan perlakuan tak senonoh dari temannya yang
tak menyukainya, dia berpikir bagaimana seorang kampungan tinggal di asrama
ini, padahal yang mereka sebetulnya khawatirkan adalah kehebatan Saroh yang
melampaui mereka, mereka takut kehadiran Saroh merubah segalanya, dan
menjadikan mereka model nomor sekian. “Pamela, bang Jon memanggilmu”,kata Sesa
teman sekamarnya yang lumayan baik, setidaknya dia tak ikut menjahili Saroh
Dia menuju
ruangan bang Jon “kau akan kuikutkan ke fashion week Bandung, get ready”
“siapkan
fisik dan mental ini pertamamu berlenggok diatas panggung” tambahnya
“iya bang,
terimakasih”
Segera dia
balik kekamar mempersiapkan segalanya. Sampai pada suatu ketika Rini orang yang
paling membencinya disini membuat gaduh. “BAGAIMANA MUNGKIN UDIK BISA TAMPIL DI
PANGGUNG, DIA GAK BAKALAN PANTES” bantahnya dengan nada tinggi. Dia menarik
paksa tangan Saroh dan berencana menggundul rambutnya, dia sudah berhasil
memotong beberapa centi rambutnya, Sesa datang dan melerai mereka. Dia tak
berhasil menghentikannya dan dia melaporkannya pada bang Jon. Keduanya pun mendapat
sanksi, Saroh batal tampil untuk di fasihion week, dan Rini tersenyum lebar
atas kegagalan Saroh. Kejadian tak berhenti disitu banyak hal yang dilakukan
Rini untuk menjatuhkan Saroh
“Saroh”,
sapa Sesa
“iya Ses”
“bersabarlah,
aku tahu kau mampu menghadapi ini semua, terlepas dari ketidaktahuanku apa yang
membuatmu berhasil memasuki kandang macan ini, kuharap kau baik-baik saja”
segera Sesa meninggalkan Saroh sendiri
Sering Saroh
menyendiri dan mengatakan pada dirinya, bahwa kehidupan model tak lagi sama
seperti bayangannya, yang dibayangkan selalu muluk dan indah saja, hanya
metafora
Sampai suatu
ketika ia bertekad untuk bangkit dari semuanya, ia berani untuk mengungkap
segala kekesalannya, dan berani unjuk untuk tampil di fashion carnival yang
diadakan beberapa minggu lagi. Dia berlatih keras untuk berjalan sempurna, dan
berlagak layaknya model professional. Hari-hari lebih bersemangat lagi dia
dalam menjalani kehidupan modelnya. Berhasilah dia tampil di fashion carnival
yang bahkan lebih bergengsi dari fashion week mingguan. Semua dibuat tercengan
oleh model baru ini. Sering dia tampil karena kemahirannya dalam berpose
natural. Didukung oleh bentuk badannya yang idealis, tidak terlalu tinggi dan
tidak terlalu pendek, standart kecantikan perempuan Asia. Dia pun dikirim ke
luar negeri untuk berlenggok di panggung International. 6 bulan dia di
California dan akhirnya dia kembali ke Indonesia dengan segudang talenta. Dia
membuka sendiri kelas model yang langsung dibimbingnya. Dia menjalani rutinitas
sebagai model dan instruktur model yang berbakat, berbagai penghargaan telah
diraihnya, tak disangka dia telah bertahun tahun meninggalkan seorang diri sang
ibu yang ditinggalkannya. Pada suatu malam dia bermimpi dia disebuah hutan yang
rimba, kebingungan, dan seorang wanita mendekap dan menuntunnya pada sebuah
rumah. Seketika itu juga di bangun dari mimpinya. Waktu menunjukan masih pukul
3 pagi, dia tak bisa melanjutkan tidurnya lagi. Dia berfikir apa yang salah.
Akhirnya dia teringat pada ibu yang mengasuhnya. Pamela mencari waktu luang
untuk menemui ibunya, dan membutuhkan penantian berbulan-bulan untuk mengatur
jadwalnya sehingga dia mendapatkan cuti.
Dia berdebar
menuju sebuah rumah di pedesaan, akankah seorang wanita menunggunya diteras
rumah, dan akan mengajarinya lagi untuk membuat kue. Sepanjang pejalanan tak
hentinya ia mengingat sebuah memori itu yang telah lama terbuang. Sesampainya
dirumah yang sangat dikenalinya di bergegas turun dari mobil dan segera mencari
ibunya.
“BU….IBU….”
dia mencari keseluruh rumahnya dan tak mendapati apapun, selain peralatan dan
perlengkaan rumah yang menjadi saksi bisu kasih sayang seorang ibu padanya. Dia
menangis meratapinya. Berjam-jam dia tersungkur dibawah kursi yang biasanya
mereka gunakan untuk membuat kue. Dia berjalan menuju makam ibunya dengan
langkah gontai, menabur bunga dan membacakan doa untuk malaikat yang hangat
pelukannya.
Terselib
bayangan masa kecilnya, ketika dia diteras seorang yang pertama dijumpainya,
wanita pertama yang menghibur ketika pedihnya mulai terasa, wanita yang mengambil
dan mengenalkan pada dunia yang lebih baik. Wanita itu,,…….
‘sungguh kau
tak berikan aku kesempatan pun untuk membalas kebaikanmu bu sungguh kau tak sabar
menungguku pulang dan menjemputmu’
Semalaman
dia meratapi dirumah ibunya, sebulan kemudian dia kembali kerumah itu dan
merenovasi rumah ibunya, dijadikanlah kamar-kamar yang banyak, dan menampung
anak-anak yatim dan anak jalanan. Dia mengurusi sendiri pondok itu, dia beri
nama ‘pondok malaikat’. Dia abaikan dunia modelnya dan dia mulai mengabdikan
seluruh hidupnya untuk anak-anak yang bernasib sama sepertinya dulu.
“ibu aku
sudah kembali, aku sudah kembali ibu…..”
(Bella
nosevia A. September 2014)