Jumat, 10 Oktober 2014

“WANITA PENCERAHKU”

Sesaat sebelum pergi dia meninggalkan sepucuk surat diatas meja, tepat disamping kendi itu berada. Pergi dengan langkah gontai menuju suatu daerah yang entah berantah. Dia seorang diri berkelana menuju kehidupan terkeras didunia ini. “aku berjanji akan kembali membawakan sepasang sepatu untukmu sekolah nanti”. Kata2 yang diucapkannya sebelum dia benar-benar menghilang dari pandangan. Tetesan air mata menghantarkan kepergiannya. Dia dua bersaudara yang hidup digubuk tengah kebun sendirian. Malamnya hanya ditemani sebatang lilin. Gubuk reyot itu yang hanya beratapkan dedaunan kering yang lapuk. Sekarang dia, adiknya hanya sendirian menunggu sang kakak kembali membawakan janji yang terucap. Setelah hampir 3 jam dia berdiri didepan pintu dia pun masuk kembali kerumah, rumah yang hanya 1 kamar tidur tanpa pintu, tanpa alas tanpa apapun hanya 3 pasang paku untuk menaruh bajunya. Dan 1 ruang lagi untuk memasak, hanya perapian usang yang tua, dan tungku pembakaran yang sudah hitam akibat asap yang selalu membumbung. Adiknya Saroh yang masih 7 tahun tanpa siapapun sekarang yang menemaninya. Malam pun tiba, bulan yang cantik sudah ingin memperlihatkan keelokan dirinya. Saroh hanya memandangi bulan dan berharap bisa dengan ibunya menghabiskan waktu malam yang gelap ini dan merasakan kehangatan pelukan sang bidadari. Orang tua yang sudah meninggalkannya dua tahun lalu. Tok…tok, “Saroh kau ada dirumah nak?” suara dari depan rumah yang mengagetkannya, Saroh keluar dengan perlahan karena sebelumnya belum ada seorangpun yang bertamu kerumahnya. Wanita paruh baya itu pun langsung memeluk Saroh, linangan airmatanya membasahi pipi. Wanita itu pun membuka sepucuk surat yang tertinggal dimeja itu, membaca dengan tangan bergetar dan kedua kalinya memeluk tubuh mungil itu dengan sangat erat. “ikut ibu nak, ibu akan merawatmu dengan baik, dan akan menyayangimu seperti anak ibu sendiri”, kata wanita itu dengan suara payau. Saroh tak menjawab dan hanya menangis, yang semakin membuat hati wanita itu teriris. Wanita itu pun memasukkan pakaian Saroh kedalam tas miliknya. Tak banyak yang dimasukannya karena pakaian yang dimiliki Saroh hanya beberapa potong saja. Sesaat setelah itu ia pun membawa Saroh meninggalkan rumah itu. Menyusuri jalanan hingga mereka keluar dijalan besar. Ibu menghentikkan angkot yang masih beroperasi malam - malam untuk mengantarkannya dan Saroh menuju rumahnya. “nah ini nak rumah ibu, sekarang Saroh tinggal disini sama ibu, yah”, kata ibu tadi sambil membelai rambut Saroh. Saroh hanya mengangguk karena bingung entah berkata dan berbuat apa.
Pagi pagi buta, Saroh membuka matanya dan segera menyadari dimana dia sekarang. Ketika membuka pintu kamarnya dia mendapati ibu yang sudah bersiap untuk sholat. “saroh kamu sudah bangun nak?” Tanya ibu dengan lembut. “iya bu” jawabnya singkat. “ayo segera ambil wudhu kita sholat berjamaah”. Mereka sholat dengan khusyu’ masing masing mengucapkan doa yang berbeda. Bahwa Saroh hanya ingin melihat abangya lagi. Dan kembali hidup seperti dulu, karena dia pun bingung siapa wanita yang telah membawanya kerumahnya. Yang dia tahu keluarganya hanyalah abangya seorang.
Setelah sholat Saroh menemani ibu untuk berbelanja dipasar. “ibu kenapa belanja banyak sekali?” tanyanya. “nanti kamu akan tahu nak, ayo sekarang bantu ibu membawanya” pinta ibu. Sesampai dirumah ibu menjelaskan bagaimana membuat kue. “ini akan ibu titipkan ditoko-toko, dan kita akan mengambilnya sore hari”, jelasnya. Tak banyak tanya Saroh langsung membantu untuk membuat kue kue itu dan mengantarkannya ke toko untuk dijual. Ia berjalan menyusuri jalan, sampai diteras rumah ia dikagetkan dengan ibunya. “saroh kau akan sekolah, ibu akan mendaftarkanmu sekolah besok”, dengan wajah berkaca-kaca ibunya berkata demikian. “tapi ibu aku tidak bisa apa-apa, aku belum pernah sekolah, dan aku tidak memiliki seragam”, tertunduklah wajah Saroh, karena dirinya pun ingin menikmati bangku sekolahan agar bertemu banyak teman dan bisa membaca. “kita akan cari solusinya untuk biayanya nak, sekarang kau akan mendaftar dulu di sekolah”, peluk ibunya.
Pagi-pagi Saroh dan ibunya pun berjalan menuju sekolah terdekat, tepatnya di SD Negeri Pagasan, salah satu desa terpencil didaerah tersebut.
 “Apakah Saroh sudah lulus taman kanak-kanak bu?” Tanya kepala sekolah SD yang menerima pendaftaran murid baru ditengah semester ini. “maaf bu, Saroh belum pernah duduk dibangku sekolah, tapi saya janji akan mengajari Saroh belajar dan cepat mengikuti teman-temannya”, bela ibunya dengan harap-harap cemas karena takut dia tidak menerima Saroh untuk bergabung disekolahnya. “saya mohon bu, anak ini butuh sekolah, dia anak yang cepat tanggap dan pekerja keras. Saya bisa jamin itu, dia tidak akan menjadi murid malas disini”.
“baiklah, saya akan lihat perkembangan Saroh, dan besok bisa mulai masuk, tetapi ibu harus memabayar administrasi dulu agar Saroh bisa belajar disekolah ini”.  Berdebar-debar hati Saroh menerima kegembiraan ini bahwa ia bisa sekolah. Dan sekolah baginya adalah hal yang mewah, yang sangat mustahil bahkan untuk membayangkannya. Hari-hariya lebih berwarna seketika itu juga. Dia bangun pagi-pagi membantu ibunya didapur dan pukul 6 pagi dia siap-siap untuk berangkat sekolah. Pulang sekolah jam 12 siang dia langsung membantu orang-orang dipasar untuk mendapat tambahan uang, sore hari dia mengambili hasil kue yang dititipkannya di toko-toko. Dan bersiap untuk belajar malam harinya. Aktivitas seperti itu berulang hingga tak terasa 6 tahun sudah dia melakukan rutinitas seperti itu.
“ibu, dua minggu lagi Saroh akan ujian Nasional bu”
“oh ya sungguh kau sudah akan lulus SD nak” bangga ibunya, namun ibunya tak mendapati kegembiraan pula di wajah Saroh.
“apa yang mengganjalmu nak, coba utarakan pada ibumu ini”
Melihat Saroh yang tak kunjung menjawab pertanyaan ibunya, ia pun langsung memeluk Saroh. Saroh merasakan pelukan hangat dari seorang ibu, seorang ibu pula yang membawanya keluar dari rumah gubuk itu, dan mengenalkannya pada dunia pendidikan yang membawanya pada sebuah tempat yang terang benderang. “bu guru tadi bilang bahwa Saroh akan mengikuti Ujian ketika usai membayar lunas SPP”, jawabnya dengan nada murung. “baiklah nanti ibu akan kesekolahmu untuk meminta keringanan, dan kau masih bisa ikut ujian”, hibur ibunya.
Setelah Saroh berangkat kesekolahnya sang ibu mulai terlihat bingungnya, ‘aku sudah bertekad membantu anak itu, aku akan membantunya sampai selesai’, ucap sang ibu dalam hati. Ia pun membuka kotak kayu yang berdebu yang sudah lama tak disentuhnya. ‘Ini akan cukup untuk melunasi tunggakan SPP’ ucapnya. Ibu berjalan ke pasar menuju toko perhiasan untuk menjual perhiasannya. “245 ribu,apakah bisa bapak memeberikanku sejumlah itu?”
“saya akan cek dulu, boleh ibu?” Tanya si pemilik emas tersebut
Setelah mengecek emas milik ibu dia langsung keluar dan berkata, “saya hanya berani 187ribu saja, bagaimana bu?”
“apakah tidak bisa naik sedikit lagi?”
“maaf bu sudah 187ribu tidak bisa naik lagi”
Akhirnya ibu pun menyetujui dan menyerahkan harta berharganya untuk meluluskan Saroh dari sekolah SD nya.
Setelah menerima uang itu langsung bergegaslah ibu menuju sekolah Saroh dan melunasi kekurangan pembayarannya.
“Saroh dipanggil bu Rosi di ruang guru”,kata seorang temannya.
 Dengan takut Saroh melangkahkan kakinya menuju ruang kepala sekolah, dia pun mengetuk pintu dengan perlahan, ‘semoga saja semua guru rapat sehingga batal untuk memanggilku’ suara hatinya berkata
“masuk saja Saroh”, panggilan gurunya yang mengagetkan dari lamunannya
“ini kartu peserta ujianmu”, bu Rosi menyerahkan selembar kertas peserta ujian miliknya yang tertahan karena terlambat membayar administrasi. “terimakasih bu”, jawabnya dan segeralah dia mengambil kartu tersebut dari tangan gurunya dan keluar dari ruang guru.
‘apa ibu sudah membayarnya, bagaimana ibu membayarnya, apakah ibu berhutang pada rentenir?’, berbagai fikiran berkecamuk mengelilingi otaknya. Segera setelah bel pulang dia berlarian menuju rumahnya
“IBU….IBU….!!!”teriaknya karena tak sabarnya mendengar penjelasan ibu
“iya Saroh kenapa kau berteriak-teriak?” jawab ibunya
 Saroh menyerahkan kartu pesertanya pada ibu, “apakah ibu berhutang pada rentenir?”
“tidak nak, ibu menjual perhiasan ibu, sehingga bisa melunasi sekolahmu
Berlinanglah air mata Saroh “terimakasih bu, sudah berkorban banyak untuk Saroh, Saroh janji akan membahagiakan ibu nanti, ibu sabar yah”
“dengan melihat senyumanmu saja sudah sangat membahagiakan ibu” berpelukanlah mereka berdua sebagai seorang anak dan ibu sejati
Sungguh dunia amat keras bagi janda yang tak punya anak dan seorang anak yang sebatang kara ini. Namun mereka saling menyayangi satu sama lain, saling melengkapi dan berperan baik sebagai ibu dan anak.
Saroh berusaha memahami semua materi sekolahnya. Bahkan ketika dia bekerja membantu orang-orang berjualan dipasar di sempatkan membawa buku dan membacanya. Ia lakukan agar mendapat nilai bagus dan tak menyia-nyiakan pengorbanan ibunya.
Senin pagi, Saroh dan ibunya sholat berjamaah bersama –sama. “kau tidak usah membantu ibu seminggu ini dan jangan bekerja dipasar lagi nak, kamu harus bisa fokus pada ujianmu”
“tidak apa bu, aku bisa bekerja sambil membawa buku”
“tidak, ibu tidak membolehkanmu nak, ibu sudah bodoh ibu tak ingin kau menikmati masa – masa seperti ibu, masa dimana seharusnya kau hidup tenang dan tersenyum bersama keluargamu kelak”.
“iya bu akan kulakukan semua perintah ibu”
“cepat ganti seragammu dan sarapan”, perintahnya
Saroh menghadap cermin, begitu lama entah apa yang difikirkannya. Sesekali dia tersenyum, berpose lainnya yang membuatnya terpaku pada pantulan bayangannya dicermin sampai dia tak mendengar panggilan ibunya. “Saroh kenapa kau begitu lama, kau tidak ingin terlambat ujian nasionl bukan?” Tanya ibunya
“oh iya bu maaf, Saroh akan siap-siap sekarang”
“cepat makan nasi yang sudah ibu siapkan dimeja, dan lekaslah berangkat”
Dia berjalan menuju sekolahnya lebih pagi agar dia mempersiapkan ujiannya dengan baik, dan dia bisa mencari bangku ujiannya. Di jalan ia terpukau pada suatu reklame sabun dipinggir jalan yang terpampang besar. Begitu lama ia menatap pada wanita cantik di reklame tersebut.’aku akan berpose seperti itu juga kelak’ batinnya dalam hati. Dia berlarian menuju sekolahnya karena terlampau lama dia menatap pada reklame di pinggir jalan tadi.
Setelah berlarian dia mencari kelasnya akhirnya dia menemukan bangkunya. Dia segera memasuki ruangan dan meletakkan tasnya. Mempersiapkan alat tulisnya, alas untuk menulis dan penghapus 2B. hari pertma ujian adalah b.Indonesia, dengan mudah dia mengerjakannya, karena dia sudah mengikuti beberapa TRY OUT yang bahkan lebih sulit untuk menyelesaikannya. Hari pertama begitu memuaskan baginya. Dia pulang kerumah begitu senang dan segera memberitahukan pada ibunya.
“cepat kau masuk kamarmu dan istirahatlah”, pinta ibunya ketia Saroh mencoba membantunya untuk membuat pesanan kue.
“tapi bu akhir-akhir ini ibu banyak pesanan, aku tak mungkin meninggalkan ibu sendiri”
“ibu hanya meminta kau untuk belajar dan belajar untuk ujianmu, kau bisa membantu ibu lagi ketika ujianmu telah usai”
“sebentar lagi bu, yah…. Nanti pukul 3 sore aku akan berhenti membantu ibu dan belajar”, dengan senyum di bibirnya.
“kau benar-benar anak bandel, ya sudah pukul 3 kau harus segera belajar lagi”
Saroh pun membantu ibunya dengan semangat, bahkan sampai pukul 3 lebih dia tetap membuat adonan kue untuk dikukus. Dia sengaja tak melihat jam, dan ibunya pun lupa akan itu karena saking repotnya mengerjakan 300 pesanan kue bolu untuk acara syukuran tetangganya.
“bu kenapa bikin 320 buah, pesanannya kan 300 saja bu?”, Tanya Saroh
“yang 10 buah ibu berikan bonus karena sudah memesan banyak, yang 10 buah untuk tetangga agar mereka merasakan juga kue buatan ibu meskipun mereka tidak memesan”
“baiklah bu”.
“Saroh cepat kau masuk kekamarmu, belajarlah biar ibu yang melanjutkan sisanya”
“biarkan Saroh bantu sampai selesai bu”
“ini hanya tinggal dikukus saja, ibu bisa lakukan sendiri, cepatlah masuk, buatlah ibu bangga dengan nilai bagusmu”, pesan ibunya dengan tatap mata yang lembut.
Saroh pun tak bisa menolak, dia pun bergegas menuju kamarnya, tidak langsung mengambil bukunya, melainkan terpaku pada kaca, lagi – lagi dia berpose menirukan model reklame yang dilihatnya dipinggir jalan tadi.

“saroh ibu bawakan teh biar kau lebih tenang belajarnya”, Saroh langsung tersentak ketika ibunya tiba-tiba masuk. “iya bu terimakasih, Saroh akan belajar dengan giat”
Dia segera memalingkan wajahnya dari cermin dan berkonsentrasi pada buku-bukunya.
Hari-hari telah berlalu, keempat pelajaran yang diujikannya sudah terselesaikan dengan baik. Tiba saatnya wisuda. Ibu dan Saroh pergi bersama-sama kesekolah menghadiri wisuda purna siswa. Semua murid kelas 6 berdiri menyanyikan sebuah lagu untuk dipersembahkannya pada guru-guru dan adik-adik kelas yang akan ditinggalkannya. Tiba seorang kepala sekolah memberikan sambutannya. Setelah itu guru yang menjadi pembawa acara mengumumkan hasil nilai terbaik disekolah ini.
“murid teladan tahun ini diraih oleh ananda Saroh Mela”, tepuk tangan diruangan itu terdengar sangat riuh sekali. Tak terbendung air mata ibunya Saroh, mengalir dengan derasnya mendengarnya. “ananda Saroh beserta wali dimohon naik keatas panggung”, kata guru itu lagi
Saroh dan ibunya pun bergegas naik panggung. “selamat yah bu Saroh mempertahankan nilainya untuk menjadi ranking pertama dari kelas satu, sungguh kebanggaan memiliki anak didik seperti dia”, tambahnya lagi. Ibunya tak mampu berkata-kata lagi selain hanya kagum terhadap anak yang diasuhnya itu. Dia memeluk Saroh erat sambil melinangnkan air mata kegembiraan. Diserahkannya piala dari kepala sekolah kepada Saroh.
Sesampainya dirumah ibunya pun bertanya pada Saroh “mengapa kau tak pernah memberitahukan pada ibu bahwa kau selalu ranking dikelas”,
“Saroh hanya ingin ibu mengetahuinya sendiri, Saroh rasa sesuatu yang diumbar jadinya tidak spesial lagi bu, maafkan Saroh”
Ibunya tak bisa berkata apa-apa lagi dan hanya memeluk Saroh. “sudah kamu makan dan cepat ganti pakaianmu” perintah ibunya
Hari baru telah tiba, bagi Saroh dan bagi ibunya. Malam begitu larut namun Saroh tetap menikmati beberapa bintang yang bertabur dilangit.
‘bagaimana aku melanjutkan hidupku? Sudah terlampau banyak beban ibu saat menyekolahkanku, bagaimana aku sanggup memintanya untuk menyekolahkanku lagi? Terlampau tinggi cita-cita yang kuharapkan, namun kutahu keadaanku yang berat yang menahan semua itu’
Tiba-tiba ibunya mengagetkannya dari belakang, “Saroh kau belum tidur?” Tanya ibunya
“belum bu, Saroh masih ingin menatap bintang indah itu”
“dulu saat ibu seusiamu ibu adalah anak yang malas, orangtua ibu usaha membuat kue, ibu anak tunggal, dan selalu dikatakan iya untuk semua keinginan ibu. Sampai pada kematian ibuku, semua berubah. Ayahku yang tak sanggup menahan beban hidup tanpa ibuku, pergi meninggalkan aku sendirian. Datang seorang wanita yang sangat anggun dan baik. Dia memberi ibu sebungkus makanan untuk ibu, karena dia tahu ibu sama sekali belum makan. Dia selalu datang mengunjungi ibu, disisa hidup ibu yang sangat hancur. Ibu putus sekolah dan memulai hidup susah ibu sejak saat itu, ketika itu ibu bertanya pada wanita itu, bagaimana mungkin dia bisa tegar menghadapi kemiskinannya dengan selalu tersenyum dan bisa membantu orang, dia berkata bukan kekayaan dan pangkat yang akan dilihat Tuhan tetapi seberapa baikkah kau terhadap umat-Nya, kata-kata itu yang selalu membekas dihati ibu sehingga ibu bisa melanjutkan hidup ibu dengan baik”. Cerita ibu pada Saroh malam itu
“lalu, dimanakah wanita itu sekarang bu?”
Ibu menangis seketika mendengar pertanyaan Saroh. Ia memeluk tubuh Saroh dengan erat. “wanita itu adalah ibumu nak, ibumu yang membantu ibu untuk tetap hidup dan mengajarkan arti kehidupan yang sesungguhnya”. Saat kau berumur 5 tahun ketika ibumu meninggalkanmu. Aku tak pernah berkunjung sekalipun kerumahmu dan melihat keadaan ibumu secara langsung. Sungguh sangat teriris membalas kebaikan ibumu dengan sikap angkuh ibu. Aku baru datang kerumahmu ketika ibumu tiada, maafkan ibu nak, maafkan ibu……”
Malam itu begitu terasa panjang, begitu sunyi hanya terdengar suara isakan anak dan ibu. Bintang yang menjadi saksi bisu cerita mengharukan itu. “ayo kita masuk udara dingin akan buruk untuk kesehatanmu”, ajak ibunya
Dengan tertatih namun pasti ibu berusaha meningkatkan berjualan kue, hanya untuk melanjutkan sekolah Saroh. “nak ibu akan menyekolahkanmu tahun depan, untuk saat ini kita harus menabung terlebih dulu, bersabarlah nak”
“aku akan membantu ibu membuat kue, aku akan tetap belajar bu”
Hari demi hari berlalu, selain mengerjakan pesanan mereka tetap membut kue untuk dititipkannya di toko-toko. Hari berganti minggu……. Minggu berganti bulan
Akhirnya hari yang dinantikan pun datang juga. Saat pendaftaran murid SMP. Saroh segera mengambil formulir untuk diberikan pada ibunya. Mereka berdua bersama-sama menuju sekolah SMP untuk mendaftarkan Saroh. Ketika usai mengambil formulir esoknya Saroh mengikuti beberapa tes untuk mengetahui apakah dia layak masuk atau tidak. Saroh mengerjakannya dengan sangat antusias. Mengerahkan segala kemampuannya untuk mengingat – ingat pelajaran setahun lalu
Tiba hari pengumuman bagi siswa yang diterima atau gagal. Saroh mencari dengan teliti namanya namun tak kunjung menemukannya juga. Dicarinya berulang kali pada papan pengumuman itu namun hasilnya tetap sama. Dia berjalan perlahan pulang dengan berat dan kecewa.
“maaf bu Saroh gagal”, isak tangisnya memecah kesunyian dirumah itu
“tidak apa kita bisa mendaftar disekolah lainnya nak, besok akan ibu temani kau mengambil formulir disekolah lain, asalkan kau tetap bisa bersekolah nak, ibu akan selalu berjuang” hibur ibunya
Saroh pun melanjutkan disekolah swasta. Setelah mengikuti Masa Orientasi Siswa sekarang dia telah resmi menjadi siswi SMP. Dan hari-harinya kembali berwarna seperti dulu. Bertemu banyak teman dan belajar lagi. Sepulang sekolah Saroh tidak langsung pulang. Dia mampir pada sebuah toko yang mencari karyawan untuk menjaga toko sepatunya, ‘aku akan mencari pekerjaan, aku tau biaya SMP akan lebih mahal’ katanya dalam hati
“boleh saya melamar pekerjaan bu?” kata Saroh ketika menemui wanita pemilik toko tesebut
“kamu yakin ingin bekerja, bukankah kamu masih SMP, bagaimana bisa bekerja disini?” kata pemilik toko
“sepulang sekolah saya akan langsung bekerja disini sampai malam, minggu mulai pagi saya akan mulai bekerja”
Melihat tekadnya pemilik toko itu pun menerima menjadi karyawannya. “baiklah besok bisa mulai kerja” katanya dengan senyuman
Saroh tak memberitahukan pada ibunya mengenai pekerjaannya sepulang kerja dia bergegas membantu ibunya untuk membuat kue. Waktu istirahatnya pun sangat terbatas. Tengah malam dia tetap belajar untuk memepertahankan nilainya.
 “Saroh apa yang kau lakukan sampai malam hari apa sekolahnmu sekarang memberimu tugas begitu banyak?” Tanya ibu ketika melihat kebiasaan baru Saroh
“iya bu Saroh ikut organisasi disekolah sehingga banyak kegiatan sampai malam hari” jawabnya dengan terbata
“kau tak bisa membohongi ibumu nak, ibu yang sudah hidup denganmu bertahun-tahun lamanya, apa yang kau lakukan nak, jawab ibu?”
Akhirnya Saroh pun berkata sebenarmya pada ibu. “saroh bekerja di siang sampai malam hari bu, sepulang sekolah Saroh bergegas menjaga toko sepatu milik orang”, jelasnya
“mengapa tak kau katakan pada ibu?
“saroh hanya ingin lebih mandiri dan tidak merepotkan ibu lebih banyak lagi”
Ibu hanya memeluk Saroh dan berkata, “kalau kau lelah kau bisa beritahu ibu, ibu akan memijitimu”
“ibu yang lebih capek dari Saroh ibu bekerja lebih banyak dari Saroh, Saroh hanya ingin berjuang agar tetap bisa bersekolah bu”
3 bulan lamanya Saroh bekerja pada sebuah toko sepatu sampai akhirnya dia diberhentikan karena penjualannya tidak begitu memuaskan, sehingga pemiliknya memutuskan untuk menutup tokonya dan mengganti usahanya. Bingung lagi-lagi menyelimuti fikiran Saroh. Sudah 3 bulan dia mampu memenuhi kebutuhannya dan tidak meminta uang pada ibu untuk keperluan sekolahnya ataupun iuran sekolahnya sekarang dia harus mencari pekerjaan lagi untuk menyambung kehidupan sekolahnya.
Ia berjalan menyusuri jalanan dan ada sesuatu yang menghentikan langkahnya. Sekerumunan orang dengan peralatan yang besar dan banyak mobil-mobil terparkir. Dia berjalan mendekat dan mengamati apa yang dilakukan orang-orang itu. Dia melihat wanita begitu cantik berbalut gaun putih sangat menawan. ‘itukan model, ternyata mereka sangat anggun dan cantik’ batinnya
Orang-orang menghentikan aktifitas memotretnya. Salah seorang dari mereka menghampiri Saroh yang dari tadi mengintip dari kejauhan. “heh kau, mau gabung dengan kami” kata lelaki besar didepannya
Langsung dibawa Saroh pada seseorang yang tak dikenalnya sama sekali. Dia mulai mebuka ikatan rambut Saroh dan mendandani wajah Saroh, ketika selesai mereka mendandani diberikannya cermin pada Saroh. Tercengang Saroh melihat perubahan wajahnya yang menjadi sangat cantik seperti model yang diidam-idamkannya. “siapa namamu?” Tanya seseorang yang tadi menghampirinya “saroh, nama saya Saroh” jawabnya terbata
“Baiklah Saroh sekarang kamu menuju kesana dan kamu akan dipandu disana”
Berjalanlah Saroh menuju tempat yang ditunjuknya tadi.
Seseorang memberikan arahan dan mulai memotret Saroh. 3 foto pertama Saroh begitu canggung. Dan akhirnya Saroh mulai terbiasa untuk melakukan pose dengan natural sehingga foto yang dihasilkannya pun nampak  bagus. Beberapa jam setelah pemotretan itu kemudian Saroh diantarkannya pulang. Sebelum turun dari mobil yang mengantarkannya Saroh diberi sebuah amplop yang dia tidak tau apa itu isinya.
Dia menceritakan kejadian itu pada ibunya. Dengan memberikan amplop itu juga pada ibunya. “saroh didandani dan disuruh berpose bu, ketika mereka selasai memotret Saroh mereka memberikan amplop ini”. Ibu langsung membuka amplop itu dan menemukan selembar ketras merah berjumlah 100ribu rupiah.
“mereka menjadikanmu seorang model nak, tapi bagaimana kau bisa?” Tanya ibunya
“entahlah bu aku hanya menghadap kamera dan memberikan senyum terbaikku ketika mereka memotretku”, ceritanya dengan mata berbinar
“sungguh kau suka melakukan hal ini nak?”
“iya bu, aku sungguh menikmatinya”
“semoga jalan terbaik disana sedang dipersiapkannya untukmu” doa ibunya
Esoknya dia menjalani aktifitas seperti biasanya, pulang sekolah dia tak mendapati seseorang yang dinantinya. Sepulang sekolah dia segera membantu ibunya didapur seperti biasa. Karena dia sudah tak bekerja lagi sekarang dia langsung menuju rumah ketika sekolah usai.
Sore berganti malam. Matahari sudah ingin mengistirahatkan dirinya dan kembali ke peraduannya. Bergilirlah bintang bulan yang keluar dari singgasananya, dan menunjukan pose terelokknya pada umat manusia, untuk menemani jiwa-jiwa yang tenang.
Malam sunyi hanya ditemani hembusan angin pelan yang membelai rambutnya, Saroh duduk diteras rumahnya, memegang lembut pipinya, memikirkan kapan masa terindah dalam hidupnya akan menyapanya.
Sebulan setelah kejadian itu berlangsung mobil itu datang lagi kerumahnya. Sepulang sekolah dia dikagetkan oleh mobil yang diparkir didepan rumahnya
“nah itu Saroh sudah pulang, langsung bapak bicarakan sendiri dengan anknya bersedia atau tidak?” kata ibunya yang terdengar samar-samar karena dia mendengar dari kejauhan.
Kedua orang itu pun menyalami Saroh. Saroh ikut duduk diruang tamu bersama para tamu-tamu itu.
“begini Saroh perusahaan kita tertarik dengan hasil foto Saroh yang kita ambil beberapa waktu lalu, kita memang sedang membutuhkan model dengan wajah dan aura natural untuk project kami, bila Saroh tak keberatan Saroh ikut dengan kami untuk menerima bimbingan modeling dan bekerja pada perusahaan kami”. Panjang lebar salah satu tamu menjelaskan maksud kedatangannya kerumahnya.
“tapi apakah saya sanggup untuk itu,saya gadis biasa dan tak berpengalaman apa-apa”, rendahnya
“terkadang kita pun bisa menemuman emas bahkan digot sekalipun, pada tempat yang sungguh tak terduga adanya”, jelas salah seorang lagi.
Saroh memandang ibunya, dia berfikir akankah dia tega meninggalkan seorang ibu yang sudah merawat dan mengasihinya selama hidup.
“aku takkan meninggalkan ibu untuk hal apapun” katanya pada ibunya
“sungguh kau tak ingin membuat ibu bahagia, nak?”
“tapi tidak dengan membiarkan ibu mengalami semua ini seorang diri bu”
“kau akan pergi dengan restu ibu, dan ibu akan melihatmu terbang untuk membawa ibu ketempat lebih baik”, desak ibunya
Setelah panjang lebar dia dan ibunya berdiskusi akhirnya berangkatlah Saroh ke Jakarta untuk mendapatkan pelatihan modeling. Hal yang selama ini diidam-idamkan dan selalu disimpannya dalam-dalam.
“bu, ibu belum tidur?”
Saroh mendatangi ibunya dikamarnya,hal yang tak pernah dilakukannya selama ini
Ibunya tersenyum melihat kehadirannya, “sini nak malam ini tidurlah dengan ibu”
Malam itu mereka berdua bercerita panjang lebar, seperti seseorang yang akan pergi jauh dan tak kembali lagi, mereka menceritakan hal-hal lucu dan berbagai hal lain, sampai waktu menunjukan pukul 2 pagi. Tak terasa sudah berjam-jam mereka bercerita sebagai salam perpisahan.
Pagi ketika Saroh terbangun ia tak mendapati ibunya disampingnya, dia segera keluar dan mencari ibunya. Ternyata ia mendapati ibunya sedang menyiapkan pakaian dan makanan untuk Saroh. “kau sudah bangun nak, cepat mandi dan bergegaslah sarapan”
“iya bu, Saroh ingin membantu ibu dulu”
“ibu sudah selesai, sekarang mandilah nak”
Saroh bersiap dengan memakai baju terbaiknya untuk dipakai berangkat ke Jakarta. Pukul 8 pagi mobil itu pun menjemputnya.
“ibu tak bisa memberikanmu apa-apa selain doa tulus seorang ibu, nak. Berusahalah disana dan jangan pernah menoleh kebelakang”, pesan ibunya
“baiklah ibu, Saroh berangkat dulu”. Berpelukanlah mereka berdua
Sekarang tinggallah seorang janda itu sendirian menatapi mobil yang membawa putri asuhnya keluar pulau, dan tak tahu kapan ia akan kembali lagi menemuinya.
Setelah berjam-jam berkendara sampailah dia di ibukota. Dan tiba disebuah rumah mewah yang akan ditinggalinya
“kau kan tinggal disini Saroh, kalau boleh tahu nama lengkapmu siapa?, Tanya seorng pria tadi
“Saroh Mela”
“oke sekarang nama kamu Pamela, nama itu akan kau pakai disini” jelasnya
Saroh hanya tertunduk mengiyakan perkataan seorang tadi.
“panggil aku bang Jon aku yang akan mengurusi mu jika ada pemotretan diluar kota atau luar pulau”, jelasnya
Dia memasuki gedung itu dengan takjub, belum pernah ia memimpikan akan memasuki ruangan bak istana ini dengan bau yang harum, sungguh dia tak ingin beranjak selangkah pun dari pintu masuk ruangan itu.
“Pamela buruan, kau akan tinggal di asrama ini dan ruanganmu ada diatas, ikuti aku”, suara bang Jon mengagetkan Saroh
Saroh mengikutinya sampai di lantai atas menaiki lift yang dia sendiri tak tahu bagaimana mengoperasikan barang ini.
‘sungguh dunia amat luas, banyak hal tak kuketahui bahkan untuk tempat tinggal’ batin Saroh dalam hati
Beberapa hari dia dikelas sungguh merasa terasingkan, tak berbicara dan tak tegur sapa dengan teman-temannya. Sampai suatu ketika di didatangi seorang wanita cantik berambut pirang, “hey” sapanya
“iya mbak, bicara dengan saya?” katanya
“what’s you’re name?”
“I am Sar…emmmm sorry I am Pamela”
“what class of yours?”
“I am still new member here”
“oh good luck in our group, hope you can still alive”
“oke thank you”
Tak heran Saroh bisa menggunakan sedikit ilmu di pelajaran bahasa inggrisnya, dia selalu unggul dan memahami dalam bidang apapun termasuk bahasa. Berbulan bulan dia menjalani kehidupan barunya, dan berbulan bulan sudah dia meninggalkan ibunya. Sering dia mendapat cemooh, cacian dan perlakuan tak senonoh dari temannya yang tak menyukainya, dia berpikir bagaimana seorang kampungan tinggal di asrama ini, padahal yang mereka sebetulnya khawatirkan adalah kehebatan Saroh yang melampaui mereka, mereka takut kehadiran Saroh merubah segalanya, dan menjadikan mereka model nomor sekian. “Pamela, bang Jon memanggilmu”,kata Sesa teman sekamarnya yang lumayan baik, setidaknya dia tak ikut menjahili Saroh
Dia menuju ruangan bang Jon “kau akan kuikutkan ke fashion week Bandung, get ready”
“siapkan fisik dan mental ini pertamamu berlenggok diatas panggung” tambahnya
“iya bang, terimakasih”
Segera dia balik kekamar mempersiapkan segalanya. Sampai pada suatu ketika Rini orang yang paling membencinya disini membuat gaduh. “BAGAIMANA MUNGKIN UDIK BISA TAMPIL DI PANGGUNG, DIA GAK BAKALAN PANTES” bantahnya dengan nada tinggi. Dia menarik paksa tangan Saroh dan berencana menggundul rambutnya, dia sudah berhasil memotong beberapa centi rambutnya, Sesa datang dan melerai mereka. Dia tak berhasil menghentikannya dan dia melaporkannya pada bang Jon. Keduanya pun mendapat sanksi, Saroh batal tampil untuk di fasihion week, dan Rini tersenyum lebar atas kegagalan Saroh. Kejadian tak berhenti disitu banyak hal yang dilakukan Rini untuk menjatuhkan Saroh
“Saroh”, sapa Sesa
“iya Ses”
“bersabarlah, aku tahu kau mampu menghadapi ini semua, terlepas dari ketidaktahuanku apa yang membuatmu berhasil memasuki kandang macan ini, kuharap kau baik-baik saja” segera Sesa meninggalkan Saroh sendiri
Sering Saroh menyendiri dan mengatakan pada dirinya, bahwa kehidupan model tak lagi sama seperti bayangannya, yang dibayangkan selalu muluk dan indah saja, hanya metafora
Sampai suatu ketika ia bertekad untuk bangkit dari semuanya, ia berani untuk mengungkap segala kekesalannya, dan berani unjuk untuk tampil di fashion carnival yang diadakan beberapa minggu lagi. Dia berlatih keras untuk berjalan sempurna, dan berlagak layaknya model professional. Hari-hari lebih bersemangat lagi dia dalam menjalani kehidupan modelnya. Berhasilah dia tampil di fashion carnival yang bahkan lebih bergengsi dari fashion week mingguan. Semua dibuat tercengan oleh model baru ini. Sering dia tampil karena kemahirannya dalam berpose natural. Didukung oleh bentuk badannya yang idealis, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, standart kecantikan perempuan Asia. Dia pun dikirim ke luar negeri untuk berlenggok di panggung International. 6 bulan dia di California dan akhirnya dia kembali ke Indonesia dengan segudang talenta. Dia membuka sendiri kelas model yang langsung dibimbingnya. Dia menjalani rutinitas sebagai model dan instruktur model yang berbakat, berbagai penghargaan telah diraihnya, tak disangka dia telah bertahun tahun meninggalkan seorang diri sang ibu yang ditinggalkannya. Pada suatu malam dia bermimpi dia disebuah hutan yang rimba, kebingungan, dan seorang wanita mendekap dan menuntunnya pada sebuah rumah. Seketika itu juga di bangun dari mimpinya. Waktu menunjukan masih pukul 3 pagi, dia tak bisa melanjutkan tidurnya lagi. Dia berfikir apa yang salah. Akhirnya dia teringat pada ibu yang mengasuhnya. Pamela mencari waktu luang untuk menemui ibunya, dan membutuhkan penantian berbulan-bulan untuk mengatur jadwalnya sehingga dia mendapatkan cuti.
Dia berdebar menuju sebuah rumah di pedesaan, akankah seorang wanita menunggunya diteras rumah, dan akan mengajarinya lagi untuk membuat kue. Sepanjang pejalanan tak hentinya ia mengingat sebuah memori itu yang telah lama terbuang. Sesampainya dirumah yang sangat dikenalinya di bergegas turun dari mobil dan segera mencari ibunya.
“BU….IBU….” dia mencari keseluruh rumahnya dan tak mendapati apapun, selain peralatan dan perlengkaan rumah yang menjadi saksi bisu kasih sayang seorang ibu padanya. Dia menangis meratapinya. Berjam-jam dia tersungkur dibawah kursi yang biasanya mereka gunakan untuk membuat kue. Dia berjalan menuju makam ibunya dengan langkah gontai, menabur bunga dan membacakan doa untuk malaikat yang hangat pelukannya.
Terselib bayangan masa kecilnya, ketika dia diteras seorang yang pertama dijumpainya, wanita pertama yang menghibur ketika pedihnya mulai terasa, wanita yang mengambil dan mengenalkan pada dunia yang lebih baik. Wanita itu,,…….
‘sungguh kau tak berikan aku kesempatan pun untuk membalas kebaikanmu bu sungguh kau tak sabar menungguku pulang dan menjemputmu’
Semalaman dia meratapi dirumah ibunya, sebulan kemudian dia kembali kerumah itu dan merenovasi rumah ibunya, dijadikanlah kamar-kamar yang banyak, dan menampung anak-anak yatim dan anak jalanan. Dia mengurusi sendiri pondok itu, dia beri nama ‘pondok malaikat’. Dia abaikan dunia modelnya dan dia mulai mengabdikan seluruh hidupnya untuk anak-anak yang bernasib sama sepertinya dulu.
“ibu aku sudah kembali, aku sudah kembali ibu…..”
(Bella nosevia A. September 2014)


KAU SEMPURNAKAN-KU
‘ku tak ingin kau tahu
Ku tak sanggup bila harus mengatakan padamu
Suara hatiku yang selalu bergemuruh
Menyebutkan namamu
Dan selalu kusebut dalam doa malamku
Semoga engkau mendapatkan kebahagiaanmu
Bersama sang pilihanmu
Meski kutahu
Bahwa aku sungguh mengharapkanmu’
Begitulah tulisan diary Rena pada malam itu, tertanggal 20 Agustus 2006, dia seorang siswi SMA di Sekolah Negeri kotanya. Ayahnya seorang pegawai Negeri dan ibunya sebagai Ibu Rumah Tangga.
“Rena, Sherly mencarimu!” teriak ibunya  dari luar. “iya bu, sebentar” langsung dia tutup diary nya dan bergegas menemui Sherly, teman dari SMP yang masih akrab hingga sekarang. Tamunya malam itu tidak sendirian bersana Ana dan Vanny yang menjadi temannya sejak sekolah menengah atas. Waktu itu Vanny lupa membawa telur sebagai perlengkapan masa orientasi yang mengakibatkan dia akan dihukum senior, seketika itu buru-buru Rena memberikan sebutir telur miliknya karena dia membawa lebih. Pertemanan dimulai sejak saat itu. Dan Ana salah satu anak pejabat yang dikucilkan teman-temannya karena kasus korupsi pernah menyambar ayahnya. Hanya Rena dan teman-temannya yang mampu menerima apa adanya sebagai seorang teman. Persahabatan mereka sangat erat, seperi terkoneksi dalam fikiran.
“nulis puisi lagi buat Arga?” goda Ana
“emmm, enggak kok Cuma lagi baca novel aja”, bantah Rena
“kalau bohong matanya gak usah lirik kesana kemari dong” tambah Sherly “mau sampai kapan suka diem-diem gini? Kalau kamu nyatain duluan gak jadi masalah kok, dia gak bakal tau kalau kamunya introvet gini”.
“aku cuma belum ngerasa pantes Sher, aku pengen dia tahu saat aku sempurna dan pantes disandingnya”. Sambil menghela nafas panjang. “udah yuk bahas PR aja, lagian kalau telat ngumpulin tugas Pak Herman, bakalan disuruh kumpulin daun kering. Mau???? Aku sih ogah”. Rena berjalan ke kamarnya dan diikuti ketiga temannya. Ibu Rena mangantarkan minuman dan camilan untuk menemani belajar mereka. Mereka memulai mengerjakan tugas masing-masing.
“membosankan, hanya belajar dan belajar, sungguh aku akan meloncati pendidikan kuliah” keluh Ana
“kalau males belajar gimana dengan cita-citamu yang jadi menteri pendidikan?” Tanya Rena
“itu hebatnya aku, aku akan jadi menteri pendidikan tanpa gelar sarjana”
“iyah dan kamu akan jadi menteri pendidikan yang lengser dalam satu hari saja masa jabatanmu, hahaha” ledek Sherly
“sungguh aku ingin jadi menteri pendidikan karena ingin mengubah system pendidikan di negeri kita. Emang dengan system sekarang ini Negara kita jadi Negara maju?”
Mereka saling bercanda dan meledek masing-masing. Memang Ana memiliki pandangan yang lebih unik untuk sistem pendidikan Negara ini. Namun tragisnya pendidikan Ana sendiri kurang dia perhatikan, terbukti dari rankingnya yang mencapai 10 terbawah.
 Jam menunjukan pukul 9 malam, ketiga teman Rena berpamitan kepada ibu Rena. Rena masih tetap melanjutkan belajarnya ketika teman-temannya pulang. “besok dilanjut lagi belajarya, sudah malam Ren.” Tegur ibunya
“iya bu tanggung, sebentar lagi”
Memang dari ketiga temannya dialah yang paling rajin, tak heran dia menjadi siswi yang disenangi guru-gurunya.  Pagi pun tiba, alarm Rena sudah berbunyi sejak semenit yang lalu, namun dia masih enggan membuka matanya.
“Rena bangun, siap-siap untuk sekolah Ren”, sambil menggedor ibunya membangunkan putri semata wayangnya.
“iya bu, Rena bangun” dengan malas dan masih tertutup matanya dia menggerayai meja untuk mematikan alarm yang mengusik tidurnya. Dia bergegas mandi dan memakai seragamnya.
“Ren sarapan dulu, ayahmu sudah menunggu”. Sambil berteriak ibunya memanggil karena Rena tak kunjung keluar dari kamarnya. Sambil tergopoh dia memasukkan buku-buku pelajarannya dan bersiap untuk sarapan.
 “hari ini kamu naik bis saja, ayah ada sedikit urusan sehingga tidak bisa mengantarmu. Ini uang saku mu”.  Ayahnya sambil menyodorkan 50ribu diatas meja makan.
“iya yah, Rena berangkat dulu yah, ibu” sambil mencium tangan kedua orang tuanya.
Sesampainya disekolah dia bertemu Ana, yang baru saja turun dari mobil diantar oleh sopir pribadinya. “Ren, kamu diantar siapa, kenapa jalan sampai sini?” Tanya Ana
“ayahku lagi ada urusan jadi aku naik bis tadi”
“kenapa gak ngabarin aku aja kan bisa sekalian bareng”
“udah ngak papa, yang penting udah nyampek sekolah, udah yuk masuk keburu telat jam pertama” ajak Rena. Sherly dan Vanny yang sudah dari tadi duduk manis dibangku mereka masing-masing.
“baik anak-anak bawa kedepan buku kalian”. Sambutan dipagi hari yang langsung meminta buku PR para murid tiada lain adalah Pak Herman. Semuanya sudah mengumpulkan kedepan tinggal Rena saja yang masih sibuk dengan tasnya. “Ren buruan kumpulin buku kamu”. Bisik Ana
“kayaknya buku aku ketinggalan dimeja belajar, aku lupa masukinnya tadi pagi, gimana ini?”
“Rena mana buku kamu?” Tanya pak Herman yang membuatnya menghentikan pencarian bukunya di tas
Akhirnya Rena menerima hukuman mengumpulkan daun kering dilingkungan sekolahnya. ‘kenapa bisa ketinggalan, padahal aku sudah mengerjakannya semalam’ kata hatinya
Dia terus mengumpulkan daun kering sebanyak yang dia temukan.
“hay! hukuman dari pak Herman yah?” suara dari belakang yang mengaketkannya.
“i… iyah” jawabnya terbata karena dia tak mengenal sosok yang dipandangnya, dan jantungnya yang tiba-tiba berdebar kencang ketika melihat cowok didepannya.
“mau aku bantuin, aku sedang dihukum juga keluar kelas, daripada gak ada kerjaan”
“iya boleh”
Mereka berdua mengumpulkan daun kering itu bersama, sunyi tak ada yang berkata. Bahkan tak terdengar pun suara nafas mereka. Hanya degupan jantung Rena yang bergejolak entah mengapa.
“aku  Jay, nama kamu siapa?”
“namaku Rena” jawabnya singkat
“kamu anak 11 IPA 2 kan?”
Rena mengangguk, dan berpikir bagaimana cowok itu mengenalnya padahal dia tak pernah berjumpa bahkan bebicara.
“sudah cukup banyak daunnya kamu bisa membawanya pada pak Herman”
“terimakasih”, Rena langsung beranjak meninggalkan cowok tadi
‘jadi cewek itu anaknya, senang mengetahui bagian tubuhku diterima oleh cewek cantik’, batinnya
Keesokan harinya dia semakin sering bertemu dengan cowok misterius yang menolongnya kemarin, tapi hanya sekilat petir saja. Saat berpapasan atau tak sengaja melihatnya di lapangan saat cowok itu main bola.
“tahu gak siapa cowok itu?” Tanya Rena sambil menunjuk salah seorang cowok di lapangan.
“enggak pernah liat, kamu kenal?” Tanya Sherly
“enggak juga dia kemarin yang bantuin aku cari daun kering”
“dia lumayan keren, kalau dibandingin sama Arga beda tipis lah”, jawab Sherly
“bagiku tak ada bandingannya buat seorang Arga”. Jawabnya jutek
“gila! Sebegitu cintanya yah kamu sama Arga, sensi amat tiap kali sebut nama Arga”
“udah yuk ah Vannny sama Ana udah nunggu di kantin” ajak Rena
Mereka berdua pun berjalan menuju kantin, namun tak bisa dielakkan Rena masih memikirkan cowok misterius tadi, jantungnya pun tiba-tiba berdetak kencang, untuk kedua kalinya. Sesampainya di kantin Rena melihat Arga. “Sher, Arga sher Arga…….” Sambil tersenyum dia melihat  Arga didepannya
“siapa cewek disampingnya,dari potongan rambutnya kok mirip Ana yah?” kata Sherly
“gak mungkin lah Sher, mereka kan gak saling kenal”
“bisa aja kan Ren, lagian dunia ini luas mereka bisa aja ketemu dilain tempat”
“kamu bener sih Sher, tapi kalau mereka saling kenal kenapa Ana gak cerita. Dia tau aku ada rasa sama Arga”. Akhirnya Rena memutuskan untuk kembali kekelasnya. Entah dia sedikit kecewa dengan apa yang dilihatnya di kantin. “kamu aja ke kantin, aku mau balik dulu Sher”
“kamu yakin? Apa mau aku bawain makanan buat kamu?”
“ngak usah Sher, makasih”, Rena pun langsung menuju kelasnya. Berjalan sambil berfikir apa yang terjadi di kantin ‘apa mereka sudah saling kenal, kenapa begitu terlihat akrab di kantin’, bergejolak hatinya memikirkan kejadian di kantin. Dia terus saja berjalan padahal dia sudah melewati kelasnya. Dia pun tak sadar, berjalan hingga ruang perpustakaan. Sesampai didepan perpus dia pun akhirnya menyadari juga. Akhirnya dia memutuskan untuk masuk ke perpustakaan mencari bacaan yang dapat menghiburnya. Rena mencari - cari novel kesukaannya. Tiba-tiba seorang cowok dibelakang mengagetkannya
“suka baca novel?” tanyanya
“kamu??”, tiba-tiba berdebar lagi jantung Rena
“suka baca novel?” tanyanya lagi
“lumayan, kamu lagi ngapain disini?”
“ini, kamu pasti suka”, dia menyodorkan sebuah buku kepada Rena, lantas meninggalkannya
“Kau Sempurnakan-Ku” Rena mebaca judul buku yang dipegangnya. “menarik juga, kamu udah baca?”
“udah baru aja aku kembalikan ke perpus”, lantas dia meninggalkan Rena dan buku itu.
Rena mengambil buku itu dan meminjamnya untuk dibaca dirumah.
Sepulang sekolah dia membaca buku yang diberikan cowok tadi, sambil terus memikirkan apa yang menyebabkan jantungnya selalu berdetak saat bertemu cowok tadi.
Sore hari dia membantu ibunya memasak karena akan ada saudaranya yang akan datang dari Surabaya, sehingga ibunya masak sangat banyak dan menyiapkan berbagai minuman dan camilan untuk menyambut mereka.
“bu?”
“ada apa Ren?”
“ibu pernah ngak berdebar ketika melihat cowok?” tanyanya
“pernah” jawab ibunya
“siapa cowok itu bu?”
“tentu saja ayahmu, siapa lagi yang membuat ibu berdebar ketika melihat lelaki selain ayahmu. Dengar Ren kalau kamu berdebar melihat lelaki berarti dia itu jodoh kamu, lihatlah dia mampu membuat hatimu berdebar tanpa kau sadari” jelas ibunya “ayo cepat kamu bersihkan meja makan, saudaramu akan segera tiba”
Rena menyiapkan meja makan dan menata makanannya. Sore menjelang maghrib, mobil saudaranya tiba di halaman rumahnya. Rena segera memberitahukan ibunya. Saudaranya pun segera turun dari mobil dan masuk rumah Rena. Ayah Rena pun pulang cepat hari itu. Ada sepupu Rena juga yang sangat dekat dengannya, mereka saling bercerita kesibukan masing-masing dan bercerita soal pacar, maklum umur mereka tak terpaut jauh.
“bang, aku mau cerita nih”
“cerita apa dek, cerita saja sama abang, siapa tau abang bisa kasih saran”. Kata abangnya
“aku suka sama cowok udah lama bang tapi aku takut buat ngungkapin perasaanku ke dia”
“apa dia senior disekolahmu?”
“iya bang dia kakak kelasku”
“emang kamu yakin dia gak punya cewek?” Tanya abangnya
Langsung saja Rena tersentak mendengar pertanyaan abangnya, kenapa juga dia tak berfikir sejauh itu “tapi aku tak pernah melihat dia bersama cewek bang”
“belum tentu yang kamu lihat benar, gimana kalau dia menggandeng cewek saat kamu tak melihatnya, sebaiknya kamu selidiki benar-benar baru melakukan pendekatan, percuma saja kalau suka tapi dipendam, malah akan menyakiti dirimu sendiri” kata abangya
Rena memikirkan kata-kata abangnya, ‘bener juga kata abang, besok aku akan mulai menyelidikinya’ batinnya
“makasih ya bang”. Sambil memeluk abangnya
Keesokan harinya Rena mulai menyelidiki Arga dan memberanikan dirinya untuk mendekati Arga. Sesuai saran abangnya.
“boleh duduk disini?” Rena menatap Arga dan duduk disampingnya dikantin
“silahkan aja, gak ada yang nempatin juga”, jawab Arga
“kakak kenapa sendirian?” Rena memberanikan untuk memulai percakapan
Sejak saat itu Rena mulai tidak canggung lagi untuk mendekati Arga
Sudah sebulan Rena selalu ke kantin bareng Arga, dan diantar pulang Arga.
Rena menelepon teman-temannya dan bercerita mengenai pendekatannya dengan Arga. Sore-sore mereka berempat keluar untuk jalan-jalan disebuah mall.
“serius kamu deketin Arga, kenapa gak dari dulu aja?” Tanya Vanny
“udah sedekat apa kalian?” Tanya Sherly
“kamu yakin dia bakalan ngrespon kamu?” tambah Ana
“bisa ngak Tanyanya satu-satu”, sambil cengar cengir Rena menjawab pertanyaan teman-temannya
“memang susah buat memulainya tapi kalau aku gak bergerak perasaanku akan terpendam selama-lamanya”, jawabnya
Rena dan Arga sudah sering bareng, disekolah maupun janjian keluar untuk jalan-jalan. “kak, apa kakak sudah punya cewek?” tanyanya sambil malu-malu
Arga tak segera menjawab pertanyaan Rena malah mengajak Rena pergi untuk makan ice cream. Rena pun tak berani bertanya untuk kedua kalinya karena takut Arga akan marah dan tak mau lagi pergi bersama.
Hari itu hari kamis, waktunya jam olahraga untuk kelas Rena. Mereka semua bermain bola basket, Rena sungguh sangat tidak bisa dalam pelajaran ini, dia memilih untuk menunggu di UKS pura-pura sakit daripada mengikuti jam olahraga. Di UKS sangat sepi saat itu, ‘gak biasanya UKS sepi kayak gini, biasanya ada satu dua siswa yang sakit di UKS. Diapun memasuki ruangan dan membuka hp nya memainkan musik untuk mengisi waktunya sambil menunggu jam pelajararan olahraga usai. Terdengar suara kaki memasuki ruangan UKS.
“kamu sakit?” Tanya cowok itu
Berdebar lagi jantung Rena, sungguh Rena tak kuat menahan semua itu, dia langsung meninggalkan ruangan tanpa menjawab pertanyaan cowok itu. Dia pun duduk ditaman sendirian.
“Ren kamu kan sakit kenapa gak di UKS saja?” tegur teman sekelasnya saat menjumpai Rena sedang duduk ditaman.
“iyah aku lagi sakit perut nih, pengen cari udara segar biar cepet sembuh”, jawab Rena asal
Akhirnya jam pelajaran telah usai, teman-temannya mendatangi Rena ditaman. “kamu tumben nunggu disini, biasanya juga di UKS enak bisa tidur”, kata Ana
“iyah lagi suntuk aja di UKS, ketemu cowok misterius itu lagi”
“dia lagi … apa kalian pernah ada hubungan sebelumnya, kalian bisa kayak jodoh gini yah”
“ngaco aja” jawab Rena kesal
“habisnya kamu malah berebar saat bertemu cowok itu kan, bukannya Arga” jawab Sherly
“entahlah, aku sendiri bingung”
“mending kamu sama dia aja, toh Arga belum juga ngrespon kan” kata Ana
“An kamu jangan ngomong gitu dong, udah sejauh ini usaha Rena” bela Sherly
Udah 3 bulan lamanya Rena jalan bareng Arga tanpa kejelasan status, dan membuat Rena semakin risih dengan keadaan yang digantungkan Arga. Rena mengajak keluar Arga dan berencana untuk menanyakan perasaan Arga padanya. Malem pun tiba, Arga sudah menjemput Rena dirumahnya
“kak, aku mau menanyakan sesuatu”
“apa Ren?”
“kakak belum sempat menjawab pertanyaanku saat itu, soal status kakak”
Arga pun terdiam, “Ren aku senang sekali bisa jalan sama kamu, kamu cewek yang baik dan menyenangkan. Aku bisa jalan sama kamu karena aku gak bisa jalan dengan cewek aku”, jawab Arga
Mendengar pernyataan Arga hati Rena langsung hancur, bagai disambar petir disiang bolong. Tak terasa air mata itu menetes dipipi Rena. Tanpa basa basi lagi Rena langsung keluar dari mobil dan berlari sekencang-kencangnya. Dia berhenti disebuah café untuk menenangkan hatinya. Dia menangis terngiang jawaban Arga yang diluar dugaannya. Disana ia bertemu cowok misterius itu lagi, dan lagi-lagi dia berdebar tak menentu. Cowok itu menyodorkan sapu tangan miliknya kepada rena. Rena langsung mengambil dan mengusap air matanya tanpa melihat siapa yang memberinya. Setelah dia menoleh untuk berterimakasih cowok itu sudah tidak ada. Rena pulang sendirian, dan menangis dikamarnya.
‘sehari dua hari aku melihatmu
Tiga hari empat hari aku tertarik padamu
Lima hari enam hari eku menyukaimu
Dan seterusnya aku memujamu
Namun dihari ini kau patahkan hatiku
Entah apa yang membuatmu tak menyukaiku
Sudah kulakukan hal terberat dalam hatiku
Ingat saat aku mendekatimu, duduk bersamamu
Sudah aku impikan dimalamku
Untuk bersanding dan menggenggam tangamu
Siapa gadis itu, yang beruntung memiliki hatimu lebih dulu
Apakah ku tak sebaik dia
Apakah ku tak secantik dia
Apakah ku tak sepantas dia
Yang bisa memilikihatimu, dan selalu menggenggam tulus tanganmu’
Dia menutup diarynya dan menangis semalam suntuk.
Dia tiba disekolah dengan mata sembab “sudahlah Ren biarkan saja, mungkin dia bukan lelaki tepat buatmu” hibur Sherly
“kamu baik Ren, kamu akan bertemu pria baik diluar sana. Kamu hanya perlu menunggu” tambah Vanny
“tapi cinta pertamaku Arga Van, kenapa dia gak bilang dari dulu kalau dia sudah punya cewek, dan menggantungkanku selama ini. Kenapa dia begitu tega. Apakah aku punya salah sama dia?” sambil terisak dia tidak kuat menahan air matanya jatuh.
Teman-temannya menghibur Rena agar dia bisa ceria lagi dan mampu melupakan cowok yang sudah menyakitinya, cowok yang juga menjadi cinta pertamanya.
“dimana Ana yah, gak biasanya dia ngilang gini?” Tanya Vanny saat menyadari salah satu temannya tak ada.
“mungkin dia dikelas, dia tak ikut bersama kita saat kekantin tadi.” Jawab Sherly
Mereka bertiga kembali kekelas.
“Ren lihat”. Tunjuk Sherly pada seorang cewek yang bersama Arga dipinggir lapangan
“siapa dia?”
“apa mungkin dia ceweknya Arga?” kata Sherly
Tak lama Rena langsung berlari menuju mereka berdua. Dan sangat kaget melihat siapa cewek yang bersama Arga. “ANA” kata Rena sambil membelalak karena dia sangat kaget
“apa maksud kalian?” Tanya Rena
“aku mau jelasin sesuatu Ren”, kata Ana
“aku minta maaf Ren sebelumnya, semua berjalan tak terduga dan aku tak bermaksud menyakitimu” jelas Arga
“semua sudah jelas sekarang, terimakasih atas semuanya, terutama kamu Ana, pasti sulit bagimu untuk bermuka dua. Berbahagia diatas kesakitan temanmu, dan menyembunyikan rahasiamu”
“aku bisa jelasin Ren”
“kamu yang harus mendengar penjelasanku, begitukah arti teman menurutmu, HAH sungguh indah sekali” Rena langsung pergi meninggalkan mereka berdua.
“tak kusangka Ana bisa begitu” sambil mengelus pundak Rena, Sherly mencoba menenangkan Rena
“kenapa dia bisa menyembunyikan hubungan mereka dan berbuat seperti ini padamu Ren”
“sudahlah Van untuk hal seperti ini gak ada yang perlu dijelaskan lagi, memang mereka berdua yang sudah keterlaluan” jawab Sherly. Sedang Rena yang masih saja menangis menerima perlakuan ini.
Sesampainya dirumah ternyata Ana sudah menunggunya di depan rumahnya. Rena pun tak menghiraukannya dan bergegas masuk
“Ren aku mohon, aku perlu bicara”
“sudahlah An, kamu sudah berhasil kok, sudah berhasil membuatku patah hati” jawabnya
“aku mohon Ren, ini akan menjadi terakhir kalinya aku berbicara denganmu”
Rena tak menghiraukan sama sekali dan segera masuk rumahnya. Ana tetap menunggunya diluar hingga sore menjelang. “kenapa kamu tidak membiarkan masuk temanmu Ren?” Tanya ibunya
“dia sudah bukan temanku lagi bu”
“gak ada yang namanya bukan teman lagi Ren, ingat kalian selalu bersama-sama. Jangan biarkan keegoisanmu membuatmu menyesal pada akhirnya”. Saran ibunya
Setelah berpikir panjang akhirnya Rena pun mendatangi Ana yang sedari tadi menunggunya diluar. Ketika Rena berjalan keluar pagar dia tak mendapati Ana disitu, dia mencari-cari, namun yang ditemukan hanya selembar kertas dibawah batu. Rena membukanya perlahan

‘dear Rena temanku
Mungkin kamu sudah tak menganggap demikian
Namun aku bener-bener mengatakan penyesalanku yang setulus-tulusnya padamu
Andai aku bisa memperbaiki segalanya untuk memperbaiki persahabatan kita
Sudah setahun lamanya kita bersama, bercerita dan mengerjakan tugas bersama
Namun ada satu hal yang aku belum bersiap untuk menceritakan padamu
Bukan karena aku pelit, namun aku belum sempat
Waktu sungguh tak tepat ketika aku akan bercerita padamu
Aku dan Arga sesungguhnya sudah bersama sejak SMP
Namun kau tahu bagaimana keluarga Arga memandang keluargaku
Dan alesan itu yang menjadikan kita harus diam-diam begini
Aku tak bisa jalan, makan, dan pergi bersama dia, seperti yang kamu lakukan sama Arga
Ketika aku hendak mengatakannya padamu kulihat kau sangat bahagia ketika melihat Arga dari jauh
Dan besoknya kau mengatakan kalau kau menyukai Arga
Sungguh aku sangat dilema, aku berpikir bahwa mungkin aku bisa sedikit berbagi denganmu sebuah cinta.namun aku tahu itu sangat tolol kedengarannya.
Membiarkan kekasih kita menggandeng teman kita sendiri
Kalau ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk memperbaiki semuanya,
andai saja….. kau mau lagi berbicara dan menerimaku sebagai teman
salam dari temanmu
Ana
Begitulah isi surat yang dituliskan Ana untuk Rena, Rena bingung harus bagaimana, disisi lain sebenarnya niat Ana baik namun bagaimana mungkin dia tak mempermainkan perasaan Rena. Membuatnya melambung tinggi dan menjatuhkannya serendah-rendahnya. Rena merobek dan membuang surat itu. Entah dia harus berbut apa untuk Ana.
Pagi ketika sekolah Rena bertemu Ana didepan sekolahnya bersama Arga. Sungguh sangat teriris hati Rena melihat keduanya. Dia pun berlari ke teman, menyendiri untuk menenangkan dirinya dan bisa menerima kenyataan pahit ini. Ternyata Ana membuntutinya dibelakang. Ana menepuk bahu Rena,
“aku siap melepaskan Arga jika itu membuatmu lebih baik”
Rena menghela nafas panjang, “aku sudah berkorban perasaan untukmu, kamu akan lebih menyakitiku jika pengorbananku sia-sia” dia berhenti sejenak menghela nafas lagi, “jaga hubungan kalian, kalian sudah sejauh ini
“tapi aku gak bisa bersenang-senang diatas kesedihan temanku sendiri Ren, maafin aku”
“pada awalnya aku sudah menduga saat pertama melihat kedekatan kalian dikantin, namun aku menyangkalnya sendiri hanya untuk menenangkan hatiku. Arga adalah teman masa kecilku dulu. Dia sangat baik dan mengajarkanku rasa suka. Membuatku bisa menulis sajak-sajak indah sepanjang malam, memberiku mimpi indah, dan mengusir mimpi buruk yang mengusikku. Aku berpikir dia cinta pertamaku dan aku harus mendekatinya.” HAHHH Rena menghela nafas begitu panjang dan melanjutkan ceritanya lagi, sementara Ana menyembunyikan tangisnya
“aku sangat sedih ternyata cewek beruntung itu adalah sahabatku sendiri, awalnya aku berpikir kamu juga tak pantas mendapatkan hati Arga seperti aku. Namun aku menyadari bahwa cinta bukan soal kesempurnaan. Aku merelakan Arga untuk hal yang dicintainya jauh membuatku terlihat dewasa, daripada memaksanya untuk mencintaiku.”
Rena lalu tersenyum pada Ana dan memeluknya.
“terimakasih Ren, kamu benar-benar memahamiku sepenuhnya. Terimakasih sekali lagi” sambil terisak Ana memeluk temannya itu
“cepat kamu samperin Arga dia sudah menunggumu terlalu lama, jangan biarkan lagi dia menggandeng cewek lain lagi. Jangan biarkan dia menyakiti hatimu yang sudah banyak berkorban”. Ana pergi meninggalkan Rena sendirian di taman. Rena tak kuasa membendung tangisannya. Dia menangis begitu lama, dia berlari menuju belakang sekolah yang tidak satupun siswa akan mememukannya. Setelah dia puas mencurahkan kekesalannya dengan menangis dia pun menghapus air matanya dan berbalik badan untuk kembali kekelasnya. Tak disangka – sangka berdiri cowok itu dengan membawa sapu tangan. Rena pun tak tahu harus berkata, betindak apa saat itu. Dengan keadaan yang masih basah kuyub dengan air mata
“kamu betah banget nangis”. Kata cowok itu
“kamu menghabiskan 2 jam disini untuk menangis tanpa berkata dan tanpa jeda sungguh luar biasa”, cowok tersebut berkata
Entah Rena sangat tenang dengan kehadiran cowok itu, “jay, bagaimana kamu bisa tahu aku disini?”
“aneh sekali kamu manggil aku dengan sebutan nama”
“kenapa?” Tanya Rena
“entahlah, rasanya ini sangat membahagiakan bagiku, mendengarmu memanggil namaku”
Rena pun tersenyum.
“ayo aku tunjukan sesuatu” Jay menarik tangan Rena dan mengajaknya pergi ke suatu tempat.
“ini masih jam pelajaran bagaimana bisa kamu keluar kelas?” Rena pun menghentikan langkahnya
“dan ini masih jam pelajaran bagimana bisa kamu keluar kelas hanya untuk menangis dibelakang gedung sekolah” balas Jay
Rena mengikuti langkah Jay. Entah akan dibawa kemana Rena. Dia berjalan……berjalan menyusuri jalan. Tak berkata dan bertanya seakan dia membiarkan Jay untuk membawanya pergi dari kepedihan hatinya. Tiba disuatu tempat yang tak asing baginya, entahlah apa Rena pernah kesini sebelumnya. Hatinya begitu tenang melihat air yang tenang juga di danau itu. Memantulkan bayangan pohon-pohon disekitarnya, dan Jay membawanya pada bangku dipinggir danau itu.
“indah sekali Jay, kenapa aku merasa seperti sudah kesini sebelumnya. Indah sekali Jay”
Jay tak mengatakan apapun, dia ikut terhanyut menikmati pemandangan danau ini
“aku tak pernah melihat danau ini begitu indah seperti hari ini”
“mengapa demikian?” Rena penasaran
“mungkin ada bidadari yang sudah kuimpikan menemaniku di sisi danau ini, terlihat danau pun ikut bahagia” sambil tetap memandangi danau itu.
“terimakasih Jay, apa kamu selalu membawa sapu tangan tiap hari. Kenapa kebetulan sekali”
“terkadang kamu tak menyadari seseorang dibelakangmu lebih memperhatikanmu karena saking sibuknya kamu dengan hal yang kamu perhatikan sendiri”
Rena terdiam, mencerna kata-kata yang keluar dari mulut Jay. Mereka sangat lama terduduk di bangku danau. Rena mengajak Jay untuk menemaninya pergi ke suatu tempat. Disebuah rumah yang semasa kecil ia habiskan waktunya. Rena menceritakan menganai hal lucu dari dirinya, menceritakan kekesalannya, dan semuanya. Dia begitu terbuka saat itu kepada Jay. Jay menemukan sesuatu yang tak asing baginya. Dia mengambilnya, membolak baliknya untuk mengingat-ingat benda itu.
“itu pemberian Arga, kamu bisa membuangnya”. Suara Rena mengagetkannya
“sudah 10 tahun lalu, ketika dia berikan itu kepadaku, aku berharap bisa membukanya bersama-sama”
Jay masih terdiam, mencoba membukanya. Kotak dari kardus. Dia membukanya pelan-pelan sambil meniup debu yang mengotorinya. Dia sudah sangat ingat sekarang.
“kamu masih menyimpan kotak ini?” Tanya Jay
“maksud kamu?” Rena berfikir hanya dia dan Arga saja yang mengetahui kotak itu
Rena mengambil kotak itu dan membukanya. Tiba-tiba saja Jay melarangnya.
“kamu bilang tak ingin membukanya jika tak bersama Arga kan, lebih baik kamu buang saja”. Lantas Jay pergi meninggalkan Rena. Rena bingung dengan sikap Jay yang tiba-tiba aneh, padahal hari ini dia sudah merasa sangat dekat bisa bercerita panjang lebar dan menghabiskan waktu bersama Jay. ‘apa yang membuat Jay melarangku membuka kotak ini’, batinnya
Rena memutuskan membuka kotak itu dengan perlahan. Dia sangat kaget ketika membuka kotak yang sudah berumur 10 tahun itu. Disitu tertulis dengan agak buram karena termakan waktu “Jay love Rena”. Terbelalak mata Rena membaca tulisan 10 tahun itu yang terukir indah. Fikirannya bercampur aduk, ‘jadi Jay yang memberikan kotak ini 10 tahun lalu’. Segera Rena mengejar Jay namun dia tak kunjung menemukannya. Dia melihat lagi tulisan itu yang terukir di batu. Tertanggal 13 nov’1996. Tepat 10 tahun yang lalu, tepat bertepatan pada hari ini. Hari dimana kotak itu diberikan kepada Rena dan tepat untuk pertama kalinya dia merasa begitu tenang bersama Jay.
Rena mengetahui dimana menemukan Jay, dia berjalan menuju danau. Namun Jay tak ada disana. Rena tetap menunggu dan berharap jay bisa menemukannya sama seperti dia menemukannya dibelakang gedung sekolah. Jam menunjukan pukul 5 sore, sudah 2 jam lebih dia menanti kehadiran Jay, namun tak kunjung terlihat juga. Rena pulang dengan kecewa. Berfikir sepanjang jalan mengingat siapa sebenarnya Jay yang begitu memperhatikannya.
Keesokan paginya dia berangkat kesekolah, berharap bisa bertemu Jay di lapangan tempat Jay biasanya bermain bola bersama teman-temannya. Dia tak menemukan Jay di lapangan, mencari kepenjuru sekolahan. Entah dimana Jay sekarang.
Setibanya dirumah dia terlihat begitu murung tak seperti biasanya. Ibunya menghampirinya di kamarnya. “kemu terlihat murung saja Ren, cerita ke ibu”
“enggak bu, Rena Cuma lagi mikirin ujian semester depan saja”
“kamu anak ibu mana mungkin kamu bisa membohongi ibu yang sudah 9 bulan mengandungmu”
Rena akhirnya menceritakan kejadian yang menimpanya, mulai dari persahabatannya bersama Ana, mengenai Arga cowok yang disukainya, dan tentang Jay, cowok misterius yang selalu memperhatikannya.
“kamu sudah benar untuk memafkan temanmu, memang ada suatu kondisi yang kita coba menghindarnya namun tetap terjadi pada kita. Semua itu semata untuk membuat kita semakin dewasa” ibunya diam lalu menceritakan lagi sesuatu yang terjadi dulu saat Rena sakit ketika masih duduk dibangku SD
“waktu kamu kelas 3 SD kamu sakit, penyakit yang mengharuskanmu untuk tranfusi ginjal, kamu tahu sangat mahal untuk mencarikanmu pendonor. Kamu berbaring dirumah sakit sudah seminggu, gaji ayahmu tak cukup untuk memberimu kesembuhan, sampai pada suatu ketika datang seorang anak lelaki bersama ibunya. Yang mengagetkan kita semua. Anak lelakinya, dia masih seumuran denganmu ingin memberikan ginjalnya padamu. Kita semua menolak, namun alasan anak lelaki tadi sungguh membuat kita berdecak kagum. Dia berkata ‘kita tak bisa mengatur siapa yang menjadi tulang rusuk kita, namun kita bisa mengatur siapa orang yang berhak menerima sebagian tubuh kita, dan aku memilih Rena untuk memiliki sebagian tubuhku yang berharga’. Dilakukanlah operasi setelah cek kesehatan anak lelaki itu. Kita mencoba memberi imbalan kepada lelaki itu namun dia menolaknya. “kami tak ingin dibayar karena sesuatu hal seperti ini, tubuh ini adalah titipan, akan sangat beruntung jika seseorang bisa mengambilnya agar bertahan hidup” katanya. Dia bukan saudara ataupun teman yang kita kenal, namun perbuatannya sungguh terpuji, mereka tak pernah kembali lagi ketika operasi selesai. Banyak orang yang lebih memperhatikan kita bahkan lebih memperhatikan kita dari pada kita sendiri. Maka kamu jangan egois hanya mementingkan perasanmu semata” ibunya menghentikan ceritanya
“ibu tak mengingat sedikitpun tentang keluarga itu?” Tanya Rena
“tidak, namun anak lelaki itu memberikan kotak dari kardus, ibu tak membukanya. Seingat ibu, ibu letakkan disamping ranjang rumah sakit. Entahlah mungkin sudah terbuang oleh suster”. ‘kotak kardus’ rena mengingatnya lagi. Rena pun mengambil kotak tadi dan menunjukannya pada ibunya. “apakah kotak seperti ini yang ibu maksud?”
Ibunya memegang kotak itu. “iya kalau ibu tidak salah ini persis kotak yang diberikan lelaki itu”.
Rena pun kaget dengan pernyataan ibunya, dia memikirkan hal ini sepanjang malam. ‘jadi inilah yang membuatku selalu berdebar ketika bertemu denganmu, mengapa kamu tak pernah bilang kalau kamu penyelamat hidupku, kaulah puisiku selama ini, namun keterbatasanku menyadari hal yang tak kuketahui. Jay dimana kamu?’
Paginya dia sekolah seperti biasa, “Ren jalan yuk” ajar Sherly
“iya Ren kamu murung terus akhir-akhir ini, kita mau menghiburmu”. Tambah Vanny
“Ren” sapa Ana tiba-tiba
“An aku mohon kamu pergi dari sini, kamu sudah cukup membuat kami kecewa dengan ketidakjujuranmu”. Usir Vanny
“sudahlah Van, ada apa An?” Tanya Rena ramah
“aku mau pamit, aku akan pindah di Semarang, ayahku pindah tugas disana. Aku ingin kamu menerima ini” Ana menyodorkan kaos bertuliskan ‘friend never die’
“terimakasih An, tapi aku gak menerima pemberianmu” tolak Rena
“kecuali kamu memeluk kita lagi sebelum kamu pergi”, tambah Rena dengan senyum simpul dibibirnya.
Langsung berpelukanlah mereka berempat, masing-masing mengucapkan maaf, dan pergilah Ana dari sekolah untuk pindah ke Semarang mengikuti ayahnya.
Rena melihat Arga dilapangan, sambil tersenyum, dan mengingat masa itu, masa dimana dia sangat memujanya. Dia berjalan, menyusuri lorong sekolah, tibalah dia di perpustakaan. Berdiri tepat saat dimana Jay memberikan buku itu. Berjalan lagi di taman, dan dimana-mana selalu terlihat bayangan Jay. ‘sungguh kamu tak ingin memberiku kesempatan Jay, bahkan untuk mengucapkan terimakasih kepadamu’
Sudah sebulan Rena tak bertemu Jay, dia semakin sibuk dengan kegiatannya disekolahan, dia sengaja menyibukkan dirinya agar tak teringat pada Jay. Suatu ketika organisasinya, Rena tergabung dalam Pecinta Alam disekolahnya memilih lokasi untuk materi bifak. Dia mengusulkan untuk mengunjungi danau, danau dimana dirinya dan Jay menghabiskan waktu sebelum Jay menghilang entah kemana. Dia beserta semua peserta sudah berada di danau itu. Sungguh sangat mengecewakan Rena tak menemukan apapun untuk mengetahui dimana Jay berada. ‘setidaknya aku bisa mengenang hari itu bersamamu jay, aku menunggu kehadiranmu’
Sudah sore menjelang, kegiatan Pecinta Alam berakhir dan mereka semua kembali pulang. “Ren balik yuk udah sore”, ajak temannya
“iyah nanti aku nyusul”, dia masih menikmati sore yang indah di danau itu.
Ketika itu pukul 2 siang, seorang wanita menghampirinya saat dia minum es degan dipinggir jalan bersama vanny dan Sherly.
“apa kamu yang bernama Rena?” Tanya wanita sebaya itu
“saya Rena bu, ada apa ya?”
Ibu itu pun mengajak Rena kerumahnya. Rena menemukan foto didinding yang sangat dikenalnya. “ibu, ibunya Jay?” tanyanya dengan mata berbinar karena bahagia telah menemukan tempat tinggal Jay
“iya, saya ibunya Jay”
“tolong katakan dimana Jay sekarang bu? Aku ingin berterimakasih kepadanya karena sudah menolong nyawa saya, juga saya ingin berterimakasih kepada ibu atas kebaikan ibu merelakan anak ibu berkorban demi saya”.
Ibu itu memulai pembicaraannya, “Jay sangat aneh, ketika itu 10 tahun yang lalu, dia bermimpi bertemu denganmu, dalam mimpi itu katanya dia melihat bidadari yang menemaninya disebuah danau, untuk anak sekecil itu dia sudah bisa memberikan kebahagiaan untuk orang yang dicintainya. Dia selalu bercerita tentangmu. Aku senang sekali, orang yang menerima organ tubuh Jay sebaik kamu”.
“sekarang Jay dimana bu?” Tanya rena
“dia bersama ayahnya di Bandung” dia bilang akan pulang liburan nanti. Sambungnya
Liburan sudah tiba Rena sengaja tak ikut kedua orang tuanya ke Surabaya karena dia ingin menemui Jay, namun penantiannya sia-sia saja, Jay tak kunjung pulang. Dia selalu menunggu Jay dan ingin mengucapkan terimakasih atas kebaikannya, menanti dan menanti sampai akhirnya dia lupa bahwa dirinya masih menanti Jay.
Ujian Nsional akan dilaksanakan minggu depan, semua murid kelas 3 diharap hanya dirumah dan belajar, tak terkecuali Rena. Dia sangat serius dalam belajar. Sesekali Vanny dan Sherly datang kerumahnya untuk menyelesaikan soal bersama. Bagi ketiganya persiapan sangat matang sehingga tak menemui kendala saat mengerjakan soal ujian. Empat hari setelah ujian nasional kelas 3 berencana untuk berlibur ke Raja Ampat selama 3 hari. 3 hari yang menjadi hari terakhir Rena dan teman-teman sekelasnya untuk bersama, karena masing-masing dari mereka akan melanjutkan kehidupan masing-masing, melanjutkan ke jenjang kuliah, bekerja, atau menikah. Semua sudah menjadi pilihan tiap pribadi.
“kamu akan melanjutkan studymu di Surabaya saja yah Ren, kamu tinggal bersama tantemu disana”, kata ibunya saat makan malam bersama.
“iya bu, aku dengar di Surabaya juga kampusnya tak kalah bagus daripada disini”
“Lusa ayah akan mengantarmu ke Surabaya, kamu akan ditemani abangmu mencari dan mendaftar di Universitas disana”. Tambah ayahnya
Rena mulai mengemas pakaiannya dan barang-barang yang perlu dibawa, tak terasa dia sudah mengisi satu koper penuh dan satu lagi tas besar. Ibunya membantu dia untuk mempersiapkan perlengkapannya selama di Surabaya.
Tibalah hari keberangkatan Rena ke Surabaya. “Rena pamit bu, doakan agar semuanya lancar”. Sambil mencium tangan ibunya
Ayahnya yang sedari tadi menunggu dimobil karena sudah pukul 8, takut ketinggalan pesawat. “ayo Ren” ajak ayahnya
Setelah perjalanan selama berjam- jam akhirnya tibalah dia di kota pahlawan, tante, om dan abangnya telah menantinya di bandara. Tibalah dirumah tantenya, dia membereskan semua baju-bajunya dan segera mencari kampus untuknya. Rena memilih fakultas Psikologi untuk melanjutkan jenjang karirnya disalah satu kampus swasta di Surabaya.
Lima tahun berlalu begitu cepat di Surabaya, dia hendak kembali ke Jakarta. Setibanya dirumah dia langsung mengistirahatkan badannya.
“Ren tadi ada seseorang memberikan ini untukmu”, ibunya memberikan sepucuk surat tertanda dari Jay
Rena buru-buru mengambilnya dari tangan ibunya dan membacanya. “tertanggal 13 Nov 2012, aku tunggu di danau hari ini” hanya begitu saja surat dari Jay,
“pelit sekali aku pikir dia akan menulis banyak kalimat ternyata hanya sebaris kalimat ini saja” kesalnya
Langsung Rena ganti pakaian dan segera menemui Jay
“Ren kemana kamu? Istirahat sana besok baru keluar apa kamu tidak capek perjalanan dari Surabaya”, cegah ibunya
“hanya sebentar bu”
Rena pun bergegas mengendarai mobil ayahnya menuju danau. Dia berjalan perlahan, berharap seseorang itu benar-benr akan ditemuinya. Dia melihat sosok lelaki bertubuh tinggi dan atletis sedang menunggunya di bangku pinggir sungai. Perlahan dia lalu memegang bahunya, saat lelaki itu menoleh ternyata dia benar lelaki yang ditunggunya selama ini, yang membuatnya tak bisa berpindah ke lain hati, dan selalu menunggu dan menunggunya hingga detik ini. Mereka berdua duduk berdampingan dibangku ini.
“kemana saja selama ini”, Tanya Rena ketus
“hanya pergi sebentar”, jawabnya enteng yang semakin membuat Rena kesal
“sebentar katamu, 5 tahun sebentar bagimu, namun tanpa kabar tanpa tahu kamu ada dimana”
“15 tahun yang lalu aku memimpikan hal ini dan sekarang bertepatan dengan hari dimana aku memberikan kotak itu aku benar-benar bersamamu duduk didanau ini”
Rena mendengarkan semua yang akan dijelaskan Jay padanya
“kamu hadir dalam mimpiku 15 tahun yang lalu, kamu membuatku percaya akan kehadiranmu didunia ini untukku. Ketika aku melihat kamu menyukai lelaki lain itu aku tetap menunggu, menunggu … menunggu hingga saatnya kau sadar, bahwa ada lelaki yang bahkan lebih lama menantimu”. Jelasnya lagi
Hari itu begitu indah sekali, dua sejoli yang menghabiskan waktu sore hari bersama, menghitung mundur waktu tenggelamnya matahari, ikut tenggelam pula masa masa penantian mereka.
“Rambutmu tergerai indah
Bersama pantulan sinar mentari yang membuat rambutmu nan berkilau
Menerpa hatiku tanpa ampun
Menundukkan perasaanku padamu
Kau tatap dalam-dalam mataku
Kau ucapkan kata-kata cinta padaku
Menggenggam lembut jemariku
Kau belahan hidupku
Selalu indah saat memimpikanmu
Meski hanya mimpi semata
Kuyakin Tuhan punya rencana untuk kita” (13 November 1996, Jay untuk Rena teman SD ku)

(Bella nosevia A. September 2014)